Tuesday, November 15, 2005

Bila Hati Tak Sebening Embun

Mungkin saja kawanku memahami bahwa bimbang menghampiriku, kalut menyelimuti pikiranku, gundah mendekapku, dan gulana menyergapku. Ketika saat itu kusapa dia sembari bertanya tentang satu dan banyak hal kepadanya. Tentang panas yang menggerahkan rasa, tentang dingin yang membekukan suasana, tentang cinta yang tidak membiaskan makna, dan tentang banyak hal yang tidak mungkin kutuangkan semua. Lalu dia pun menuliskan:

"Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus kauambil, janganlah memilihnya dengan asal saja, tetapi duduklah dan tunggulan sesaat. Tariklah napas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu. Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah, dan pergilah ke mana hati membawamu...”.

Friday, October 21, 2005

Avi, Sampaikan Salamku!

Avi, bila kau telusuri lorong itu, lorong tanpa tanjakan dan kelokan, lorong tanpa batu dan hanya dilapisi pasir, lalu kau jumpainya, sampaikan salamku. Aku sungguh merindukannya. Karena dalam sepi dia selalu temani aku dengan senyum dan ketulusannya. Saat itu, kucoba untuk mengacuhkannya, namun semakin aku mengacuhkannya, detak rinduku semakin tak kuasa kutahan. Di lorong itu, aku duduk berbincang dan berkisah tentang apa saja yang masing-masing kita alami, dan di lorong itu aku sampaikan bahwa kepercayaan saja tidak cukup menjadi bekal kita menjalani hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda. Dalam benakku selalu terpikir bahwa di setiap jengkal jarak, selalu saja ada ruang untuk berkelit menutupi apa yang aku sebut kepercayaan itu. Selalu ada potensi untuk selalu melawan dan melacuri kepercayaan. Avi, aku sungguh tak percaya dengan yang namanya kepercayaan. Apalagi saat ini, era dan zaman ini.

Saturday, September 24, 2005

....Pun Juga Persahabatan!

Sungguh aku sadar bahwa setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Sungguh aku sadar. Yang belum, bahkan tidak, pernah aku bayangkan adalah ketika sebuah pertemanan dan persahabatan harus mengenal adanya halte dan akhir. Sungguh aku tidak pernah membayangkan. Adakah akhir dari sebuah persahabatan? Bagiku, persahabatan seperti kembara. Kita berupaya untuk mengembara ke alamnya sebagaimana dia mengembara ke alamku, tanpa tendensi, tanpa pamrih. Dan bagiku kembara tidak mengenal akhir. Sebagaimana persahabatan.

Namun aku juga sadar bahwa dalam setiap kembara tidak sedikit hambatan dan tantangan. Teringat kisah kembara Musa untuk menyelami bahtera maha luas keagungan-Nya, dan menjadikan Khidir sebagai sahabat kembaranya. “Laqad Laqina min safarina hadza nashaban”: Sungguh kita temui letih dan beratnya kembara ini, tutur Musa pada ajudannya. Bertahan dalam tantangan setiap pengembaraan sama beratnya dengan bertahan merawat tulusnya persahabatan. Lagi-lagi Musa diuji-nyali untuk bersahabat dalam kembara bersama Khidir. “Sungguh Anda tidak bakal kuasa bersabar bersamaku,” terang Khidir seolah ia mengukur nyalinya.

Kesabaran kerap menjadi penghalang utama menyusuri kembara. Percaya diri saja tidaklah cukup sebagai bekal. Percaya diri memang penting menjadi bekal, tapi bukan satu-satunya. Dan kesabaran adalah bekal paling berharga dalam menyikapi setiap halangan dan hambatan yang niscaya terjadi dalam setiap kembara.

Kesabaran bukanlah sikap defensif menyikapi tantangan. Kesabaran adalah kesadaran akan hadirnya resiko dalam setiap kembara, dan begitu resiko itu menimpa kita, kita pun kuasa dan lapang menghadapinya. Kesabaran adalah nyali itu sendiri. Kesabaran adalah nyali untuk bertarung dan nyali untuk memenangkan pertarungan, di samping kesiapan menghadapi kekalahan.

Kesabaran bukanlah membiarkan kalah tanpa ada upaya untuk bertarung. Kesabaran adalah kesiapan menerima hasil pertarungan: menang atau kalah! Bukankah tak ada yang bisa mengelak dari penderitaan atas kekalahan, sebagaimana juga kita tidak mampu mengelak dari bahagia atas keberhasilan? “Tapi lebih baik kalah dalam beberapa pertempuran demi mimpi-mimpimu daripada dikalahkan tanpa pernah tahu untuk apa kau bertempur” (Chelho: 1996). Ibarat poin melakukan ijtihad yang mendapatkan poin dua begitu ‘menang” dan meraih hanya 1 poin ketika “kalah”, maka kalah dalam pertempuran masih lebih bermakna dibandingkan dengan kalah tanpa nyali, kalah tanpa mau bertempur. Kesabaran niscaya kita dekap sebagai modal kembara.

Selain kesiapan menghadapi resiko kekalahan dan kesiapan menunaikan tanggung jawab kemenangan, ancaman “pembajak” yang tiba-tiba mengusik damai dan indahnya kembara pun semestinya diwaspadai. Membiarkan percuma tanpa persiapan dalam mengawal kembara tentu saja konyol. Kesabaran dan ketulusan adalah bekal dalam setiap kembara, pun juga persahabatan. Begitu kesabaran dan ketulusan terbajak dari diri kita, maka kembara tuna makna dan persahabatan tidak lebih dari kemunafikan. Sekali lagi: bertahan dalam tantangan setiap pengembaraan sama beratnya dengan bertahan merawat tulusnya persahabatan.[]


Pojok Semanggi II
24 September 2005

Monday, September 12, 2005

Dan Waktu Pun Terus Berlalu …(Catatan 27 tahun usiaku)

Dan waktu pun terus berlalu. Kulalui langkah dalam detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan....kini 27 tahun usiaku. Usia yang tidak lagi muda, usia yang tidak lagi layak disebut remaja, apalagi kanak-kanak. Tapi apa yang dapat aku rekam dalam laju kembara yang senantiasa berlangsung ini? Apa yang bisa aku baca dari jejak langkah yang sekian lama terlumuri debu dan tak lagi bisa kubaca?

Dan waktu pun terus berlalu. Aku tak mungkin memutar kembali keriangan masa kecilku dengan segala kepolosannya. Aku pun tak mungkin lagi kuasa menghadirkan keutuhan masa lalu dan situasiku saat ini. Waktu itu benar-benar berlalu, dan kini aku berusia 27 tahun.

Tuesday, August 30, 2005

Kau Bukan Kalin …..!???

Kau bukan Kalin. Kalin yang hidup bersama bibinya setelah kepergian dua orang tuanya dan berprofesi sebagai penjual karcis Busway itu akhirnya berkenalan dengan Lando—sang fotografer yang menderita penyakit kronis. Perkenalan yang kemudian mengantarkan Kalin menjadi bintang iklan ternama. Perkenalan yang membuat Kalin pun terpesona pada Lando, dan akhirnya tak berlanjut, walau kemudian diketahui tersisa perasaan yang nyaris sama di antara keduanya. Namun….

Film UNGU VIOLET yang berkisah tentang Kalin (diperankan Dian Sastro) pun menyisakan kesan, yang memberi inspirasi pada seseorang untuk menuangkan kenyataan dan perasaannya. “Saya nyaris seperti Kalin, memang beda, tapi ada kesamaannya,” ujarnya. “Tapi Kamu bukanlah Kalin…!” batinku.

Wednesday, August 03, 2005

Coelho, Fayyoum, dan Mesir Sebagai Ardlul Hadlarah

Fayyoum. Saya mengenalmu ketika Coelho berkisah tentangmu. Berkisah tentang seorang insan yang dengan kemauannya mengejar ambisi menggali harta karun yang konon dituturkan berada di kota tersebut. Legenda pribadi yang senantiasa ia pegangi dan turuti menyusuri impi dengan segala prahara yang diyakininya pasti terjadi. Kisah tentang impi yang pasti terpenuhi selama kemauan untuk menggapainya kekal menemani. Dan Santiago, anak manusia yang mengawali karir sebagai penggembala domba itu, pun mewujudkan mimpinya. Ia pun menyulap impinya menjadi kenyataan. Menyusuri sahara dengan segala tantangan yang dihadapi, melewati piramid yang berada di Giza, Santiago akhirnya mendapatkan harta karun itu.

Tuesday, August 02, 2005

Perpustakaan Iskandariyah: Pesona Peradaban Mesir


Dua puluh lima hari berlalu sejak saya pertama kali menginjakkan kaki di bumi kinanah, Mesir (7/7/05). Sejumlah perpustakaan di kota Kairo telah saya kunjungi. Begitu juga sejumlah toko buku ternama saya datangi. Banyak buku yang telah saya temukan, namun tidak semuanya kuasa saya dapatkan. Terbatasnya dana menjadi satu-satunya ganjalah. ”ketimbang tidak sama sekali, yang saya dapatkan lebih dari sekadar cukup,” batin saya menghibur diri. Namun masih tersisa dalam benak, keinginan untuk mengunjungi sebuah perpustakaan bersejarah, dan tentunya paling representatif di Mesir: Perpustakaan Iskandariah. Berharap untuk mendapatkan apa yang saya cari melengkapi survey bibliografis tentang studi ilmu Al-Qur’an, keinginan untuk mengunjungi perpustakaan bersejarah itu semakin menjadi-jadi. Maklum, niat utama ziarah saya ke kota seribu menara itu adalah penelitian pustaka studi ilmu Al-Qur’an di Mesir. Tentu saja, sasaran utama penelusuran itu adalah perpustakaan, di samping toko-toko buku terkemuka di Mesir.

Wednesday, July 27, 2005

Kujumpai Imam Syafi'i Walau Hanya Pusaranya


Tidak bijak kalau hanya memandang Mesir dari segi eksotisnya semata, sebagaimana tidak lengkap tanpa mengunjungi sejumlah situs bersejarah yang bertebaran di kota Mesir ini. Tidak berlebihan jika aku mengatakan bahwa Mesir menyisakan peradaban yang luar biasa dengan orang-orang besar yang turut menorehkan perannya dalam sejarah. Peradaban dalam arti yang seluas-luasnya. Bangunan-bangunan bersejarah bertebaran di mana-mana. Masjid satu di antara peninggalan sejarah itu.

Tuesday, July 26, 2005

Sebuah Malam di Tepi Nil


Malam ini saya memutuskan untuk menikmati malam di tepi Nil. Sepanjang siang, saya bersama seorang kawan—Shiddiq Thabrani—menyusuri lorong Kairo menuju kawasan Al-Azhar. Keinginan untuk menyusuri tumpukan buku di Maktabah Al-Azhar kandas. Pasalnya, gedung berlantai belasan itu sedang direnovasi. ”Perpustakaan baru dibuka untuk publik awal bulan depan”. Saya kecewa karena sasaran utama kedatangan saya di Kairo, salah satunya adalah survey di Perpustakaan kampus terkemuka, Al-Azhar.

Monday, July 25, 2005

Eksotisme dan Keganasan Sahara


Perjalananku ke Kairo memang untuk riset. Tapi, seandainya mungkin, tentu aku memanfaatkan momen ini tidak saja melacak literatur yang menjadi faktor utama kedatanganku di kota seribu menara ini. Aku pun merasa perlu untuk menikmati keindahan panorama padang pasir dengan sejumlah keajaiban alamnya. Begitu aku merasa cukup mengelilingi sejumlah perpustakaan di Kairo, bukan di seluruh Mesir, pun juga aku merasa cukup mengunjungi sejumlah maktabah (toko buku) di kawasan ini, kuputuskan sisa waktu ini untuk menikmati panorama Mesir yang tidak saja dikenal dengan sungai Nilnya, tapi juga sejumlah kawasan wisata dan tempat berziarah lainnya. Bukit Sinai dan Sharm al-Sheikh satu dari sejumlah tempat bersejarah dan kawasan wisata yang kurencanakan untuk dikunjungi.

Sunday, July 03, 2005

Episode Sejarah Kembaraku

Pada mulanya aku hanya membayangkan keinginan, memimpikan harap, dan mengandaikan asa. Fil bad’i takunu al-ahlam. Ya, mimpi itulah yang membuatku berhasrat melalui hidup yang penuh tanda tanya, penuh keajaiban, dan terkadang kejutan-kejutan. Bisa dikatakan, mimpi adalah abstrak, tak terkenali, namun terasakan. Mimpi adalah motivasi: motivasi untuk mengubahnya menjadi nyata, mengubahnya menjadi konkret.

Monday, June 27, 2005

Resonansi ….Labilitas….dan Kurebut Kembali Akal Sehat Itu

Melebur dalam dunia perasaan seolah aku dihadapakan pada sebuah labirin penuh kelok dan tanjakan. Belum lagi lubang dan benjolan lorong yang setiap langkah terasa menyentakkan. Tiba-tiba aku merasa tenggelam dalam curam dan sesekali aku merasa terbang tanpa tambang. Begitu nuansa batin ketika perasaan kubiarkan larut dalam suasana liar tanpa nalar. Resonansi, labilitas, dan apa lagi namanya menyeruak dalam senam rasa yang nyaris tanpa kendali, bahkan tanpa emosi.

Thursday, April 07, 2005

Merebut Pel(uang)!

Pagi ini, saya merasa dihibur dengan hadirnya tiga kupu-kupu hitam. Memang tidak begitu indah tampilannya, tapi tingkahnya begitu lucu, seolah hendak mengajarkan satu hal, bahkan banyak hal, kepadaku. Menari-nari di ruang sempit kamarku, dan sesekali menghinggapi wajahku, sesekali mengganggu pandanganganku yang sedang mengetukkan jemari menuliskan sesuatu, dan sesekali tampak menertawakan tingkahku.

Kebijaksanaan lokal, kalau tepat istilah ini digunakan, mengabarkan bahwa “Ada kupu-kupu, ada tamu.” Tapi saya tidak terlalu peduli dengan pesan mitos semacam itu. Saya hanya tertarik dengan mengamati, tidak pada tiga kupu-kupu hitam yang sedang beterbangan di kamarku dengan ditemani irama musik padang pasir, tapi pada hadirnya cicak yang tampaknya begitu bersemangat memanfaatkan peluang menerima kehadiran tiga kupu-kupu itu. Bukan hanya satu cicak yang muncul, tetapi jumlahnya melebihi jumlah kupu-kupu yang bertandang di kamarku. Kehadiran kupu-kupu itu tidak disia-siakan begitu saja oleh sejumlah cicak yang berkejaran di dinding kumuh kamarku. Merayapi tepian dinding, dan terkadang menyelinap di belakang rak bukuku, cicak itu bersemangat untuk menerima kehadiran kupu-kupu itu. Bukan untuk menghormatinya, alih-alih memangsanya.

Thursday, February 03, 2005

Al-Qur'an dan "Juru Bicara" Tuhan

Sebagai wahyu verbatim Tuhan, Al-Qur’an hadir tidak saja sebagai bundelan kertas tanpa pesan yang menyertainya. Sungguhpun demikian, bagi sebagian kalangan, Al-Qur’an lebih menarik untuk ditelusuri keunikan narasinya atau untuk didendangkan irama-iramanya, bahkan dijadikan aksesoris interior rumahnya. Namun sebagai kitab petunjuk, memperlakukan Al-Qur’an dengan semata-mata takjub pada pesona narasinya dan pada irama yang didendangkannya, belumlah memadai menguak dan mengungkap pesan praktis yang dikandungnya. Kekaguman semacam itu hanyalah satu hal dari pengakuan penganutnya atas sakralitas Al-Qur’an, namun berhenti pada semata-mata kagum malah menjadikan Teks yang sakral itu tertabiri dalam keunikan dan kesakralannya sendiri. Adonis—seorang pemikir dan sastrawan asal Syiria, dengan nyinyir menyatakan bahwa di kalangan khalayak luas, Al-Qur’an sebenarnya tidak “dibaca”. Ia diposisikan tidak lebih sebagai teks naratif yang diyakini atau irama yang didendangkan. Tidakkah kenyataan ini, kata Adonis, menunjukkan bahwa Al-Qur’an, Teks yang sakral ini, tertutupi oleh kesakralannya sendiri, inna al-Qur’an, hadza al-nashshu dzatuhu, mahjubun bi hadza al-taqdis dzatihi? (1993: 40).

Kritik ini cukup beralasan. Akankah kitab suci itu terus di(ter)tabiri dalam kesucian, dalam kesakralan, walau harus mengorbankan kekayaan pesan yang dikandungnya? Ataukah pengistemewaan itu hanya diwujudkan dalam bentuk “persembahan simbolik” kepada Tuhan dengan pahala sebagai pemuasnya, atau bahkan dijadikan sebagai media yang diparadekan dalam setiap ritual keagamaan? Atau mungkin Al-Qur’an kita biarkan untuk ditampilkan dan diperkenalkan sisi keindahan dan keajaibannya semata, sementara kandungan maknanya dibiarkan lepas? Tentu saja tidak. Karena, jika demikian, Al-Qur’an tak ubahnya benda antik yang terus diabadikan dalam museum dan kemudian ditempatkan dalam ruang hampa dan tanpa makna. Ia menjadi teks yang terlepas dari konteks sejarahnya. Padahal “wahyu Al-Qur’an,” kata Hassan Hanafi, “adalah realitas yang mengejawantah, dan realitas adalah wahyu yang telah mewujud (al-wahyu waqi’un yatahaqqaqa, wa al-waqi’ wahyun mutahaqqiqun). Dengan demikian amatlah naif menjadikan wahyu sebagai entitas mutlak di luar ruang dan waktu atau hanya memosisikannya semata-mata rangkaian huruf dalam teks yang terkodifikasi.

Al-Qur’an sebagai firman Tuhan memerlukan relawan-relawan yang bertindak sebagai “juru bicara” Tuhan. Juru bicara yang sejatinya mengungkapkan, “membunyikan”, dan menyuarakan apa yang dikehendaki Tuhannya. Dan umat manusia inilah yang seharusnya bertugas sebagai relawan-relawan itu. Teringat pada pernyataan Imam Ali ibn Abi Thalib yang dengan tandas mengatakan, “Al-Qur’an di antara dua sampulnya, tak bisa ‘bersuara’. Sang ‘juru bicara’ itulah yang menyuarakannya: Al-Qur’an bayna daftayi al-mushhafi la yantiqu, wa innama yatakallmu bihi al-rijal. ”

Menyuarakan atau membunyikan Al-Qur’an tentu tidak hanya berhenti pada kekaguman yang berlebihan pada rentetan narasinya. Pun juga tidak hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai dendangan dalam parade ritus yang bernuansa keagamaan. Lebih dari itu adalah menguak selubung-selubung yang menabirinya, selubung yang membuat kita terhenti untuk lebih jauh menjamah dan mencernanya, sekaligus pada saat yang sama mengangkat pesan tertingginya: “sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa.”
Sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an sejatinya ditelusuri makna terdalamnya. Menelusuri makna terdalam kitab suci adalah tugas juru bicara Tuhan. Sebagai juru bicara Tuhan memerlukan sebuah keberanian: keberanian untuk mengungkap keremangan dan keabstrakan pesan-pesan-Nya. Bukan malah keberanian untuk terus menenggelamkan makna pesan Kitab Suci, atau keberanian untuk menjajakan Kitab Suci untuk tujuan tak terpuji.

Memang, bertindak sebagai juru bicara bukanlah tanpa modal. Modal keilmuan serta perangkat-perangkat lainnya menjadi mutlak dimiliki para juru bicara itu. Dalam sebuah perbincangan dengan Nashr Hamid Abu Zayd beberapa waktu yang lalu, ia mengatakan bahwa modal atau syarat yang harus dimiliki sang “juru bicara” Tuhan itu dalam mengungkap firman-Nya, di samping mengetahui bahasa Arab—karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab—, juga adalah pengetahuan sosiologis atas situasi masa ketika Al-Qur’an diturunkan dan masa kini di mana sang juru bicara itu mencerna Kitab Sucinya. Pengetahuan tentang situasi masa ketika Al-Qur’an diturunkan menjadi penting agar konteks spesifik wahyu di mana makna otentiknya bersemayam bisa diketahui, sementara situasi kekinian sang juru bicara penting diperhatikan untuk menjembatani jarak simbolik yang memperantari antara masa turunnya wahyu dengan kekinian sang juru bicara.
***

Adalah Nabi Muhammad Saw. sebagai salah satu dari para juru bicara Tuhan itu pun mencoba menyuguhkan alternatif pembacaan-pembacaan terhadap kitab suci. Tidak keliru apabila dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah juru bicara Tuhan yang pertama yang bertugas tidak saja mendistribusikan wahyu yang diterimanya, tetapi juga menjelaskannya pada umatnya. Pejabaran Nabi itu kemudian tercermin dalam sabda dan tindakannya. Eksprementasi Nabi dalam praktik interpretatif itu sebenarnya merupakan pendidikan bagi umatnya, pun juga generasi setelahnya, bahwa Al-Qur’an benar-benar sebagai “tekstur terbuka”—meminjam istilah H.L.A. Hart. Artinya, Al-Qur’an yang tervisualisaikan secara grafis yang berisi norma-norma yang tertulis secara baku itu, terbuka untuk diinterpretasi. Demikianlah, galeri tafsir dengan beragam perpsektif dan cara baca bermunculan sebagai wujud dari kerja-kerja intelektual para juru bicara Tuhan itu dalam mencandara pengalaman hidupnya. Keragaman tafsir itu, kata Hassan Hanafi, lebih sebagai akibat beragamnya cara mencermati pengalaman hidup (al-khibrah al-hayyah) yang melingkupi teks wahyu ketimbang beragamnya teori tafsir itu sendiri. Pengalaman hidup yang turut mewarnai prapreposisi sang juru bicara Tuhan itu pun akhirnya larut dalam praktik interpretatif pesan wahyu. Singkatnya, firman Tuhan adalah satu hal, dan perkataan sang juru bicara Tuhan itu adalah hal lain.

Jika demikian kenyataannya, antara firman Tuhan dan perkataan pada juru bicara Tuhan itu tidak layak disejajarkan. Yang satu eternal sifatnya, sementara yang lainnya tidak. Pemilahan semacam ini, secara kategorial—meminjam kategorisasi Abdul Karim Sorous dan Nashr Hamid Abu Zayd—dapat dibedakan menjadi “agama” (al-din) dan “pemikiran agama” (al-fikr al-diny). Agama adalah Al-Qur’an itu sendiri yang tidak diragukan otentisitasnya, sementara pemikiran agama adalah produk interpretatif para juru bicara itu dalam mengolah dan mengungkap makna yang “dikehendaki” Tuhan. Dalam kenyataannya, kreasi para juru bicara itupun dianggap Al-Qur’an itu sendiri, dan dampaknya adalah “kesewenang-wenangan” interpretatif yang mendakwa kalam manusia sebagai kalam Tuhan yang tak bisa dibantah dan didebat.
****

Potret kesewenang-wenangan semacam ini, dalam bentuk yang berbeda, juga tampak dalam debat intelektual di tanah air. Para juru bicara Tuhan itupun, atas nama otoritasnya sendiri, mendakwa satu-satunya penebar kebenaran Tuhan dan menuding juru bicara Tuhan lainnya sebagai tidak benar, bahkan mengafirkannya. Padahal, sebagaimana disitir oleh Peter Werenfels, mengutip Ignaz Goldziher, mengatakan bahwa “Setiap orang bisa mencari pembenaran ideologisnya dalam Kitab Suci, dan setiap orang pasti mendapati apa yang dicarinya” (1983: 3). Begitu juga dengan Kitab Suci Al-Qur’an. Sebagai tekstur terbuka, tentu saja Al-Qur’an memberikan alternatif-alternatif yang beragam, termasuk alternatif dalam mencari acuan normatif dalam pembenaran ideologi tertentu. Keragaman alternatif-alternatif itulah yang memungkinkan para juru bicara Tuhan—atas nama dirinya—menimba makna atau pesan sekaligus menyeleksi pesan mana yang “lebih tepat” yang dikandung Kitab Sucinya.
Persoalannya akan berbeda ketika pemahamannya didakwa sebagai firman Tuhan itu sendiri. Dan sakralisasi pemikiran agama tidak terhindari. Pemikiran agama pun bermetamorfosa menjadi agama itu sendiri.

Pentakdisan pemikiran agama menjadi seolah-olah agama itu sendiri berdampak pada penyempitan ruang akselerasi yang demikian luas yang memang disediakan Kitab Suci. Kreativitas intelektual yang ditekankan Kitab Suci untuk difungsikan oleh para juru bicaranya secara perlahan dihambat. Sebagai gantinya, kemandulan intelektual menjadi wabah yang ujungnya menyuburkan semangat intoleran terhadap lahirnya pandangan-pandangan lain yang berbeda, atau bahkan berseberangan, dengannya. Bukankah mereka itu, meminjam ungkapan Souroush, adalah para penyusun ilmu agama yang tidak sempurna, yang perjuangan berharga mereka dalam memahami kalam Tuhan tidak akan pernah menghasilkan pengetahuan suci? Produksi interpretatif mereka hanyalah satu alternatif dari sejumlah alternatif yang dihasilkannya. Dengan demikian, tak satupun orang yang patut mendakwa diri sebagai juru bicara ‘resmi’ Tuhan. Semua manusia adalah juru bicara Tuhannya. Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan, kata Musthafa Mahmud, ibarat makhluk hidup (ka’inun hayy) yang kalimat-kalimatnya memungkinkan lahirnya makna yang beragam. Dan di situlah tugas para juru bicara-Nya untuk menawarkan alternatif dari hasil pemaknaannya.[]