Tuesday, January 05, 1999

Utopisme Islam Politik

Dalam imajinasi politik Islam ada kecenderungan untuk menghadirkan sebuah “komunitas imagener” yang kerap dilekatkan pada komunitas muslim pertama. Kecenderungan yang bercorak romantik-atavistik ini menginginkan hadirnya kembali komunitas dan sistem politik par excellence pada masa Nabi dan empat khalifah Islam pertama.

Sebagaimana tampak dalam tulisan Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwan al-Muslimin di Mesir, dan Abu al-A’la al-Maududi di Pakistan, gerakan ini mengawali gagasan pemikiran baru yang berupaya menjadikan Islam sebagai ideologi politik. Tentu saja, artikulasi politik yang diperankan ini merujuk pada “tipe ideal” negara Madinah yang dibangun Nabi. Fenomena inilah yang mewarnai panggung politik Islam mutakhir, fenomena apa yang oleh Olivier Roy, penulis buku ini, disebut sebagai Islamisme. Persoalannya, apakah gerakan Islam politik ini menawarkan alternatif baru bagi masyarakat muslim? Inilah yang menjadi fokus kajian buku ini.

Dalam buku ini, Olivier Roy yang juga penulis buku Islam and Resistance in Afghanistan menyuguhkan pembacaan serius mengenai gerakan Islam politik kontemporer. Dari pengamatannya, Olivier Roy melihat bahwa gerakan Islam politik kontemporer terfragmentasi menjadi dua kutub utama. Kutub pertama berwatak revolusioner (Islamisme) dan kutub lainnya bercorak reformis (neofundamentalisme). Kutub revolusioner ini berupaya melakukan Islamisasi masyarakat melalui panggung kekuasaan, negara Islam. Bagi kelompok ini, masyarakat yang terdiri dari orang-orang Islam saja tidak cukup, tetapi landasan maupun strukturnya pun harus Islami. Oleh karena itu, setiap orang berkewajiban memberontak terhadap negara muslim yang dinilai korup, bahkan juga keharusan untuk mengekskomunikasikan penguasa yang dinilai murtad.

Sayangnya, Islamisme ini gagal melapangkan ambisinya. Islamisme sama sekali tidak memberikan peranti konseptual dalam memikirkan realitas politik seseorang. Selain itu, Islamisme belum mampu melampaui sekat nasionalisme dan etnisitas.
Dalam kasus tertentu, pertentangan antara Syi’ah dan Sunni, misalnya, menjadi faktor determinan dalam hubungan luar negeri dan kebijakan negara-negara muslim. Di Afganistan, oposisi lama antara suku Pasthun dan non-Pasthun hingga saat ini masih mewarnai pertarungan politik setempat. Di Malaysia, Islamisme menjadi ekspresi ketegangan etnis dengan Cina. Di Aljazair, arabisasi yang diagungkan-agungkan FIS (Front Penyelamat Islam) ternyata merugikan suku tertentu, suku Kabyle.
Gagalnya menyuguhkan peranti konseptual ditambah dengan belum mampunya melampaui sekat nasionalisme dan etnisitas, Islamisme akhirnya mengalami metamorfosa menjadi neofundamentalisme.

Berbeba dengan Islamisme, neofundamentalisme lebih bertujuan melakukan reislamisasi masyarakat dari bawah. Kendatipun memiliki tujuan yang tidak jauh berbeda dengan Islamisme, yaitu membentuk negara Islam, neofundamentalisme lebih melakukan dakwah agar orang kembali mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Dengan kampanye prosyariat, mereka layaknya para mullah fundamentalis yang bermimpi menciptakan tatanan masyarakat yang benar-benar Islami. Di tangan kaum neofundamentalis inilah politik, meminjam tesis Ulil Absar Abdalla, mengalami semacam ritualisasi, pengibadatan. Oleh karena itu, jangan heran apabila konsep politik dalam Islam lebih menekankan moralitas pemimpin, atau lebih tepatnya kesalehan dan ketakwaan pemimpinnya. Alih-alih menciptakan bentuk politik baru, yang terjadi adalah konservatifasi politik dan lebih berkutat pada perbincangan mengenai kualitas dan kesalehan pemimpin, sementara perbincangan pembentukan institusi berhenti hanya pada tataran perencanaan saja. Singkatnya, gerakan ini tidak lebih sebagai praktik tautologis yang sama sekali tidak memberikan artikulasi sistem politik baru. Politik Islam, meminjam istilah Bahtiar Effendi dalam pengantar buku ini, mengalami disartikulasi.
***

Meskipun buku ini tidak memotret secara khusus fenomena Islam politik di Indonesia, buku ini dapat dijadikan studi perbandingan dalam mencermati fenomena aktivisme religius di tanah air. Maraknya desakan legislasi syariat Islam di berbagai penjuru tanah air, misalnya, menjadi indikasi mengentalnya semangat Islamisasi politik. Menurut Olivier Roy, legislasi syariat tidak lebih sebagai bentuk kemunafikan, atau dalam istilah yang digunakannya, hile shar’i: akal-akalan hukum yang pada akhirnya memungkinkan umat mengelak dari larangan syariat tanpa terbebani dosa.
Selain itu, menjamurnya bank-bank yang berlabel “syariah” di tanah air juga dapat dibaca sebagai indikasi semangat serupa. Sungguhpun, tegas Olivier Roy, bank Islam (syariah) hanyalah strategi pemasaran dan bukanlah suatu pola tatanan sistem perekonomian baru. Label syariah hanyalah dijadikan sebagai produk menggiurkan di tengah-tengah fenomena bangkitnya aktivisme religius di tanah air, bukan sebagai alternatif sistem ekonomi baru.

Buku ini layak dibaca siapa saja yang mendalami peta politik Islam di dunia, tidak terkecuali politik Islam di tanah air. Dengan kajian yang serius dan dan dilengkapi data yang akurat, Olivier Roy melalui buku ini hadir sebagai pengamat gerakan Islam politik yang tak tertandingi. Tentu saja kita berhak untuk membantah dan mendebatnya, sebagaimana kita juga berhak menyetujuinya.[Resensi Buku "Gagalnya Islam Politik" karya Oliver Roy, namun gagal dimuat di media. :(]