Thursday, February 03, 2005

Al-Qur'an dan "Juru Bicara" Tuhan

Sebagai wahyu verbatim Tuhan, Al-Qur’an hadir tidak saja sebagai bundelan kertas tanpa pesan yang menyertainya. Sungguhpun demikian, bagi sebagian kalangan, Al-Qur’an lebih menarik untuk ditelusuri keunikan narasinya atau untuk didendangkan irama-iramanya, bahkan dijadikan aksesoris interior rumahnya. Namun sebagai kitab petunjuk, memperlakukan Al-Qur’an dengan semata-mata takjub pada pesona narasinya dan pada irama yang didendangkannya, belumlah memadai menguak dan mengungkap pesan praktis yang dikandungnya. Kekaguman semacam itu hanyalah satu hal dari pengakuan penganutnya atas sakralitas Al-Qur’an, namun berhenti pada semata-mata kagum malah menjadikan Teks yang sakral itu tertabiri dalam keunikan dan kesakralannya sendiri. Adonis—seorang pemikir dan sastrawan asal Syiria, dengan nyinyir menyatakan bahwa di kalangan khalayak luas, Al-Qur’an sebenarnya tidak “dibaca”. Ia diposisikan tidak lebih sebagai teks naratif yang diyakini atau irama yang didendangkan. Tidakkah kenyataan ini, kata Adonis, menunjukkan bahwa Al-Qur’an, Teks yang sakral ini, tertutupi oleh kesakralannya sendiri, inna al-Qur’an, hadza al-nashshu dzatuhu, mahjubun bi hadza al-taqdis dzatihi? (1993: 40).

Kritik ini cukup beralasan. Akankah kitab suci itu terus di(ter)tabiri dalam kesucian, dalam kesakralan, walau harus mengorbankan kekayaan pesan yang dikandungnya? Ataukah pengistemewaan itu hanya diwujudkan dalam bentuk “persembahan simbolik” kepada Tuhan dengan pahala sebagai pemuasnya, atau bahkan dijadikan sebagai media yang diparadekan dalam setiap ritual keagamaan? Atau mungkin Al-Qur’an kita biarkan untuk ditampilkan dan diperkenalkan sisi keindahan dan keajaibannya semata, sementara kandungan maknanya dibiarkan lepas? Tentu saja tidak. Karena, jika demikian, Al-Qur’an tak ubahnya benda antik yang terus diabadikan dalam museum dan kemudian ditempatkan dalam ruang hampa dan tanpa makna. Ia menjadi teks yang terlepas dari konteks sejarahnya. Padahal “wahyu Al-Qur’an,” kata Hassan Hanafi, “adalah realitas yang mengejawantah, dan realitas adalah wahyu yang telah mewujud (al-wahyu waqi’un yatahaqqaqa, wa al-waqi’ wahyun mutahaqqiqun). Dengan demikian amatlah naif menjadikan wahyu sebagai entitas mutlak di luar ruang dan waktu atau hanya memosisikannya semata-mata rangkaian huruf dalam teks yang terkodifikasi.

Al-Qur’an sebagai firman Tuhan memerlukan relawan-relawan yang bertindak sebagai “juru bicara” Tuhan. Juru bicara yang sejatinya mengungkapkan, “membunyikan”, dan menyuarakan apa yang dikehendaki Tuhannya. Dan umat manusia inilah yang seharusnya bertugas sebagai relawan-relawan itu. Teringat pada pernyataan Imam Ali ibn Abi Thalib yang dengan tandas mengatakan, “Al-Qur’an di antara dua sampulnya, tak bisa ‘bersuara’. Sang ‘juru bicara’ itulah yang menyuarakannya: Al-Qur’an bayna daftayi al-mushhafi la yantiqu, wa innama yatakallmu bihi al-rijal. ”

Menyuarakan atau membunyikan Al-Qur’an tentu tidak hanya berhenti pada kekaguman yang berlebihan pada rentetan narasinya. Pun juga tidak hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai dendangan dalam parade ritus yang bernuansa keagamaan. Lebih dari itu adalah menguak selubung-selubung yang menabirinya, selubung yang membuat kita terhenti untuk lebih jauh menjamah dan mencernanya, sekaligus pada saat yang sama mengangkat pesan tertingginya: “sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa.”
Sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an sejatinya ditelusuri makna terdalamnya. Menelusuri makna terdalam kitab suci adalah tugas juru bicara Tuhan. Sebagai juru bicara Tuhan memerlukan sebuah keberanian: keberanian untuk mengungkap keremangan dan keabstrakan pesan-pesan-Nya. Bukan malah keberanian untuk terus menenggelamkan makna pesan Kitab Suci, atau keberanian untuk menjajakan Kitab Suci untuk tujuan tak terpuji.

Memang, bertindak sebagai juru bicara bukanlah tanpa modal. Modal keilmuan serta perangkat-perangkat lainnya menjadi mutlak dimiliki para juru bicara itu. Dalam sebuah perbincangan dengan Nashr Hamid Abu Zayd beberapa waktu yang lalu, ia mengatakan bahwa modal atau syarat yang harus dimiliki sang “juru bicara” Tuhan itu dalam mengungkap firman-Nya, di samping mengetahui bahasa Arab—karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab—, juga adalah pengetahuan sosiologis atas situasi masa ketika Al-Qur’an diturunkan dan masa kini di mana sang juru bicara itu mencerna Kitab Sucinya. Pengetahuan tentang situasi masa ketika Al-Qur’an diturunkan menjadi penting agar konteks spesifik wahyu di mana makna otentiknya bersemayam bisa diketahui, sementara situasi kekinian sang juru bicara penting diperhatikan untuk menjembatani jarak simbolik yang memperantari antara masa turunnya wahyu dengan kekinian sang juru bicara.
***

Adalah Nabi Muhammad Saw. sebagai salah satu dari para juru bicara Tuhan itu pun mencoba menyuguhkan alternatif pembacaan-pembacaan terhadap kitab suci. Tidak keliru apabila dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah juru bicara Tuhan yang pertama yang bertugas tidak saja mendistribusikan wahyu yang diterimanya, tetapi juga menjelaskannya pada umatnya. Pejabaran Nabi itu kemudian tercermin dalam sabda dan tindakannya. Eksprementasi Nabi dalam praktik interpretatif itu sebenarnya merupakan pendidikan bagi umatnya, pun juga generasi setelahnya, bahwa Al-Qur’an benar-benar sebagai “tekstur terbuka”—meminjam istilah H.L.A. Hart. Artinya, Al-Qur’an yang tervisualisaikan secara grafis yang berisi norma-norma yang tertulis secara baku itu, terbuka untuk diinterpretasi. Demikianlah, galeri tafsir dengan beragam perpsektif dan cara baca bermunculan sebagai wujud dari kerja-kerja intelektual para juru bicara Tuhan itu dalam mencandara pengalaman hidupnya. Keragaman tafsir itu, kata Hassan Hanafi, lebih sebagai akibat beragamnya cara mencermati pengalaman hidup (al-khibrah al-hayyah) yang melingkupi teks wahyu ketimbang beragamnya teori tafsir itu sendiri. Pengalaman hidup yang turut mewarnai prapreposisi sang juru bicara Tuhan itu pun akhirnya larut dalam praktik interpretatif pesan wahyu. Singkatnya, firman Tuhan adalah satu hal, dan perkataan sang juru bicara Tuhan itu adalah hal lain.

Jika demikian kenyataannya, antara firman Tuhan dan perkataan pada juru bicara Tuhan itu tidak layak disejajarkan. Yang satu eternal sifatnya, sementara yang lainnya tidak. Pemilahan semacam ini, secara kategorial—meminjam kategorisasi Abdul Karim Sorous dan Nashr Hamid Abu Zayd—dapat dibedakan menjadi “agama” (al-din) dan “pemikiran agama” (al-fikr al-diny). Agama adalah Al-Qur’an itu sendiri yang tidak diragukan otentisitasnya, sementara pemikiran agama adalah produk interpretatif para juru bicara itu dalam mengolah dan mengungkap makna yang “dikehendaki” Tuhan. Dalam kenyataannya, kreasi para juru bicara itupun dianggap Al-Qur’an itu sendiri, dan dampaknya adalah “kesewenang-wenangan” interpretatif yang mendakwa kalam manusia sebagai kalam Tuhan yang tak bisa dibantah dan didebat.
****

Potret kesewenang-wenangan semacam ini, dalam bentuk yang berbeda, juga tampak dalam debat intelektual di tanah air. Para juru bicara Tuhan itupun, atas nama otoritasnya sendiri, mendakwa satu-satunya penebar kebenaran Tuhan dan menuding juru bicara Tuhan lainnya sebagai tidak benar, bahkan mengafirkannya. Padahal, sebagaimana disitir oleh Peter Werenfels, mengutip Ignaz Goldziher, mengatakan bahwa “Setiap orang bisa mencari pembenaran ideologisnya dalam Kitab Suci, dan setiap orang pasti mendapati apa yang dicarinya” (1983: 3). Begitu juga dengan Kitab Suci Al-Qur’an. Sebagai tekstur terbuka, tentu saja Al-Qur’an memberikan alternatif-alternatif yang beragam, termasuk alternatif dalam mencari acuan normatif dalam pembenaran ideologi tertentu. Keragaman alternatif-alternatif itulah yang memungkinkan para juru bicara Tuhan—atas nama dirinya—menimba makna atau pesan sekaligus menyeleksi pesan mana yang “lebih tepat” yang dikandung Kitab Sucinya.
Persoalannya akan berbeda ketika pemahamannya didakwa sebagai firman Tuhan itu sendiri. Dan sakralisasi pemikiran agama tidak terhindari. Pemikiran agama pun bermetamorfosa menjadi agama itu sendiri.

Pentakdisan pemikiran agama menjadi seolah-olah agama itu sendiri berdampak pada penyempitan ruang akselerasi yang demikian luas yang memang disediakan Kitab Suci. Kreativitas intelektual yang ditekankan Kitab Suci untuk difungsikan oleh para juru bicaranya secara perlahan dihambat. Sebagai gantinya, kemandulan intelektual menjadi wabah yang ujungnya menyuburkan semangat intoleran terhadap lahirnya pandangan-pandangan lain yang berbeda, atau bahkan berseberangan, dengannya. Bukankah mereka itu, meminjam ungkapan Souroush, adalah para penyusun ilmu agama yang tidak sempurna, yang perjuangan berharga mereka dalam memahami kalam Tuhan tidak akan pernah menghasilkan pengetahuan suci? Produksi interpretatif mereka hanyalah satu alternatif dari sejumlah alternatif yang dihasilkannya. Dengan demikian, tak satupun orang yang patut mendakwa diri sebagai juru bicara ‘resmi’ Tuhan. Semua manusia adalah juru bicara Tuhannya. Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan, kata Musthafa Mahmud, ibarat makhluk hidup (ka’inun hayy) yang kalimat-kalimatnya memungkinkan lahirnya makna yang beragam. Dan di situlah tugas para juru bicara-Nya untuk menawarkan alternatif dari hasil pemaknaannya.[]