Tuesday, December 28, 2004

Gelombang Air Mata

Tergeletak sejumlah koran dihadapanku. Kabarkan sebuah bencana, bencana yang tidak sederhana. "Tsunami Tewaskan 7000 orang". Angka itu bukanlah angka yang statis. Yang setiap saat bisa, dan pasti, bertambah. Aceh yang menjadi salah satu titik dari gempa itu menjadi saksi penderitaan, penderitaan yang tak kunjung usai, bahkan susul-menyusul. Pertanda apa gerangan?

Kuterdiam dalam ketertegunan. Kutak kuasa, apa yang mesti kuperbuat, saksikan potret korban yang direkam sejumlah media cetak dan elektronik itu. Apakah itu akumulasi dari linangan air mata yang tak lagi kuasa dibendung? Wallahu A'lam.

Thursday, November 25, 2004

Mengusung Agama Liberatif

Menegaskan bahwa teks berperan signifikan dalam membentuk corak keberagamaan seseorang merupakan suatu hal yang niscaya. Dalam konteks Islam, Al-Quran menjadi teks fundamental yang menempati ruang istemewa di kalangan pemeluknya. Sayangnya, pengistemewaan itu kerap diwujudkan dalam bentuk “persembahan simbolik” kepada Tuhan dengan pahala sebagai pemuasnya, atau bahkan dijadikan sebagai media yang dipertontonkan di hadapan khalayak dalam setiap ritual keagamaan. Al-Qur’an hanya ditampilkan dan diperkenalkan sisi keindahan dan keajaibannya, sementara kandungan maknanya nyaris dilupakan dan terlupakan. Al-Qur’an tak ubahnya benda antik yang terus diabadikan dalam museum dan kemudian ditempatkan dalam ruang hampa. Ia menjadi teks yang terlepas dari konteks sejarahnya.

Dan Semuanya Pasti Berubah

Kemarin, bunga itu masih kuncup dengan sedikit semerbak. Kini, bunga itu mekar dan tebar aroma surga. Besok, mungkin bunga itu kan layu. Tak ada aroma, tak ada nuansa, dan perlahan bunga-bunga itu pun berguguran. Ia pun membusuk.

Begitulah siklus alam berlangsung. Begitulah, tatkala senja tiba, malam pun hadir mengganti. Esok, pagi pun menghampiri. Begitulah cara Tuhan membina keseimbangan. Kenapa manusia tak pernah kuasa bersikap arif?

Pesantren Menjajaki Perubahan

Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Dengan menyediakan kurikulum yang berbasis agama (religion-based curriculum), pesantren diharapkan mampu melahirkan alumni yang kelak diharapkan mampu menjadi figur agamawan yang demikian tangguh dan mampu memainkan dan membiaskan peran propetiknya pada masyarakat secara umum. Artinya, akselerasi mobilitas vertikal dengan penjejalan materi-materi keagamaan menjadi prioritas, untuk tidak mengatakan satu-satunya prioritas dalam pendidikan pesantren. Akibatnya, pemberian ruang yang demikian besar pada ilmu-ilmu keagaamaan telah menciptakan penghalang mental untuk melakukan perubahan di tubuhnya sendiri.

Menggagas Islam Progresif

Fenomena mutakhir yang tergelar di jagad semesta ini memperlihatkan dan menampilkan sebuah fenomena yang cukup mengerikan. Mengerikan karena kekerasan hampir menjadi potret tunggal yang dipentaskan. Penindasan satu kelompok atas kelompok lainnya juga menjadi tontonan paling dramatis dan santapan sehari-hari. Kemanusiaan di mana keadilan dipertaruhkan pun raib, dan yang bertahan adalah logika rimba atau apa yang digambarkan Hobbes sebagai homo homini lupus. Agama pun kehilangan elan vital untuk mendakwahkan moralitas perennialnya. Alih-alih mengharapkan kedamaian dan keadilan yang menjadi muatan utama agama, malah sebaliknya, sakralitas agama pun dinodai oleh umatnya demi menuruti ambisi sesaatnya. Agama pun, sebagaimana didedahkan Charles Kimball dalam bukunya, When Religion Becomes Evil (Harper San Francisco, 2002), menjadi semacam “makhluk” menakutkan yang hanya menebar kejahatan (evil). Jika demikian, apa yang dapat diharapkan dari agama dan umatnya? Adilkah menudingkan dan melimpahkan kesalahan pada agama? Bukankah agama-agama, termasuk Islam, sama sekali tidak menuturkan apa-apa, tetapi umatnyalah yang bertindak dan bertingkah? Islam says nothing, Muslims do (Omid Safi, 2003).

Wednesday, November 24, 2004

Memanusiakan Al-Qur'an : Marhaban Ya Nashr Hamid Abu Zayd


Tidak ada yang membantah bahwa Al-Qur’an yang kita yakini saat ini adalah proses metamorfosa dari teks oral (al-nashsh al-syafahy) menjadi teks tertulis (al-nashsh al-maktûb). Proses metamorfosis ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah teks bahasa (nashshun lughawiyun), yang menggunakan bahasa Arab sebagai mediumnya. Layaknya seluruh teks yang merupakan fenomena sejarah dan memiliki konteks spesifiknya, teks Al-Qur’an pun demikian. Sebagai firman yang memanusiawi (ta’ansana), Al-Qur’an tidak lahir dalam ruang yang hampa budaya, namun lahir dalam dan ruang dan waktu yang sarat budaya. Atas dasar ini, teks Al-Qur’an, sebagimana teks-teks linguistik lainnya, adalah teks historis (nashshun târikhiyun). Historisitas teks Al-Qur’an tampak dari proses penurunannya yang menjuntai tidak kurang dari dua puluh tiga tahun, dicandra oleh Nabi dan kemudian disampaikan pada umatnya. Dalam prosesnya, teks Al-Qur’an yang disampaikan secara verbal ini termaterialkan secara grafis dalam goresan tertulis dan terkodifikasi menjadi “korpus resmi tertutup”, untuk meminjam istilah Arkoun. Dalam konteks ini, Al-Qur’an telah beralih dari eksistensinya sebagai teks ilahi (nashshan ilâhiyan) menjadi pemahaman atau teks manusiawi (fahman/nashshan insâniyan).

Adalah Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir eksil asal Mesir ini, melalui sejumlah karyanya yang cukup populer di tanah air ini menyatakan bahwa meskipun Al-Qur’an bersumber dari Tuhan, namun sakralitas firman Tuhan itu baru mendapat makna yang sesungguhnya tatkala kalam itu diposisikan secara manusiawi (tamawdha’a fîhâ basyariyan). Proses pemanusiawian ini sebenarnya telah berlangsung sejak Nabi Muhammad menuturkan firman-firman “verbal” Tuhan itu dalam Bahasa Arab, bahasa manusia di Jazirah Arab. Tanpa berpretensi mendesakralisasi teks Al-Qur’an secara mutlak, Abu Zayd sebenarnya hendak meneguhkan immanensi Al-Quran sehingga bisa dicandra oleh pemahaman manusia tanpa harus menampik asal-usul transendesialnya. Dalam konteks ini, Abu Zayd hendak mengulang ‘manifesto’ guru in absentia-nya, Amin Al-Khuli, yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah “Kitab berbahasa Arab yang luar biasa” (Kitâb al-‘arabiyah al-akbar). “Kitab berbahasa Arab” mengindikasikan immanensi Al-Qur’an dan “Kitab yang luar biasa” mengindikasikan aspek transendennya. Meyakini Al-Quran sebagai teks berbahasa Arab dan menyejarah, Abu Zayd kemudian mendudukkan Al-Qur’an sebagai teks (Al-Qur’an ka Nashshin) yang memungkinkan dianalisis melalui perangkat kajian linguistik.

Tekstualitas dan Historisitas Al-Qur’an

Kenyataan bahwa Al-Quran itu immanen dan transenden sekaligus, oleh Abu Zayd ditunjukkan dengan penjelasaannya mengenai tekstualitas dan historisitas Al-Qur’an. Menurut Abu Zayd, tekstualitas Al-Qur’an ini dapat dijelaskan melalui tiga hal, pertama, Al-Qur’an adalah pesan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui kode komunikasi bahasa Arab via Jibril. Sebagai pesan, Al-Qur’an meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai sebuah teks. Kedua, urutan-urutan Al-Qur’an yang ada di tangan kita tidak sama dengan kronologi pewahyuan (tartîb al-nuzûl). Urutan kronologis pewahyuan menunjukkan sifat realistik teks, sementara struktur kronologi pembacaan (tartib al-tilawah) yang ada sekarang menunjukkan tekstualitasnya. Ketiga, adanya kenyataan bahwa Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamât yang menjadi ‘inti’ teks, dan ayat mutasyâbihât yang harus dipahami berdasarkan ayat-ayat muhkamât itu. Oleh karena tidak ada kesepakatan dalam penentuan ayat mana yang dikategorikan muhkamât dan ayat mana yang mutasyâbihât, maka hal ini mendesakkan pembaca tidak hanya menentukan ayat-ayat mutasyâbihat, melainkan memutuskan bahwa ayat muhkamât adalah ‘kunci’ untuk melakukan penjelasan pada ayat-ayat mutasyâbihat.

Dengan menegaskan tekstualitas Al-Qur’an, Abu Zayd hendak mengaitkan kembali kajian ilmu Al-Qur’an dengan konteks studi kritik susastra. Artinya, layaknya teks-teks lain, Al-Qur’an mungkin didekati dengan perangkat-perangkat kajian tekstual modern. Sebagaimana dikatakan Abu Zayd, Al-Qur’an adalah teks bahasa (nashshun lughawiyûn) yang mungkin bisa digambarkan sebagai teks sentral (nashshan mihwariyan) dalam peradaban Arab. Jika demikian, mendudukkannya sebagai teks historis tidak berarti mereduksi ke-ilahi-an teks Al-Qur’an. Historisitas teks inilah yang menjadikan Al-Qur’an sebagai subjek pemahaman dan takwil, dan dengan demikian analisis sosio-historis diperlukan dalam proses pemahaman ini sekaligus pada saat yang sama pemanfaatan metodologi linguistik modern menjadi suatu yang niscaya dalam praktik takwil. Di sinilah arti penting tekstualitas dan historisitas Al-Qur’an. Mengabaikan tekstualitas Al-Qur’an hanya akan mengarahkan pada pembekuan makna pesan, dan ketika makna pesan (di)beku(kan) maka akan sangat mudah dilacurkan oleh arahan dan kepentingan ideologis pembaca. Begitu pula mengabaikan historitas Al-Qur’an akan berdampak pada tercerabutnya makna Al-Qur’an dari konteks yang melingkupinya. Sayangnya, kecenderungan konservatif dalam pembacaan Al-Quran kerap melakukan apa yang oleh Asma Barlas (2003), intelektual eksil asal Pakistan, “decontextualize the Qur’an teaching by dehistoricizing the Qur’an itself because of a particular view of time” Akibatnya, pesan-pesan Al-Qur’an lepas dari ruang historisnya dan menjadi terasing dari pembacanya.

Againts Authoritarian Hermeneutics

Terlepasnya pesan-pesan Al-Qur’an dari konteks yang mengitarinya sekaligus konteks historis pembacanya ditambah dengan abainya pembaca teks terhadap “maksud tekstual” malah berdampak pada kesewenangan dalam mamahami teks. Maksud tekstual yang dimaksud adalah visualisasi yang tergelar dalam struktur linguistik bahasa tersebut. Dengan menampik maksud tekstual dan struktur ektratekstual, pembaca atau interpreter terjatuh pada apa yang diistilahkan Abu Zayd sebagai pembacaan ideologis tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah). Pembacaan tendensius ideologis inilah yang melahirkan apa yang oleh Khaled Abou al-Fadl disebut sebagai hermeneutika otoriter (authoritarian hermeneutic). Bagi Abou al-Fadl, hermeneutika otoriter ini terjadi ketika mekanisme pencarian makna teks terampas dan ditundukkan dari teks ke dalam pembacaan yang subjektif dan selektif. Subjektifitas dan selektifitas yang dipaksakan dengan mengabaikan maksud tekstual dan realitas ekstratekstual inilah yang menjadikan teks digiring sesuai dengan selera pembaca. Model pembacaan semacam ini yang patut ditolak, dan Abu Zayd salah satu pemikir yang paling lantang meneriakkan penolakannya.

Oleh karena itu, di samping memperhatikan jalinan intertekstualitas teks Al-Qur’an dalam berbagai dimensinya, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mengamati faktor ektratekstualitas teks, termasuk di dalamnya adalah ragam konteks yang mengitarinya, tidak saja konteks seputar penurunan wahyu, melainkan juga konteks pada saat teks itu menyejarah dan dibaca oleh masyarakat di sepanjang waktu dan di segala ruang. Meminjam tiga langkah hermeutik Barlas, setidaknya ada tiga langkah yang patut dilakukan ketika membaca Al-Qur’an, yaitu membaca Al-Qur’an sebagai teks (to read the Qur’an as text), yaitu membaca teks Al-Qur’an dalam kerangka menangkap dan mengungkap maksud Tuhan; membaca apa yang ada dibalik teks (to read behind text), yaitu merekonstruksi konteks historis di mana teks itu lahir; dan membaca apa yang ada di hadapan teks (to read in front of text), yaitu rekontekstualisasi pesan-pesan teks dalam konteks kebutuhan saat ini. Dengan upaya semacam ini, penundukan teks demi kepentingan pembaca dapat dihindari. Dan Abu Zayd sebenarnya hendak mewartakan model pembacaan produktif sebagai lawan dari pembacaan ideologis tendensius itu. Marhaban ya Nashr Hamid Abu Zayd.

Monday, April 05, 2004

Pemilu 2004: Harapan di Tengah Kekhawatiran

Harapan akan berlanjutnya transisi menuju demokrasi kembali hadir di saat pemilu yang dijadwalkan berlangsung 5 April 2004 mendatang kian mendekat. Pemilu 1999 lalu yang menjadi awal yang baik bagi transisi demokrasi ternyata tidak membuahkan hasil, untuk tidak mengatakan gagal sama sekali. Memang, sebagaimana diingatkan Guillarmo O’ Donnell (1993) bahwa transisi menuju demokrasi tidak selalu berlangsung mulus. Pengalaman sejumlah negara yang melalui masa transisi demokrasi setelah tumbangnya rezim otoriter tidak serta merta berhasil menjadi negara demokratis. Alih-alih berhasil mencapai demokratisasi, yang terjadi malah otoritarianisme baru yang tidak kalah otoriternya dengan rezim sebelumnya. Peter Calvert (1995: 15) pun membenarkan bahwa dalam struktur politik yang mapan sekalipun, masa transisi akan melahirkan krisis legitimasi sesaat. Bahkan, kalau proses transisi tidak dikawal dengan konsolidasi, bukan tidak mungkin krisis legitimasi itu berlangsung abadi.

Tumbangnya rezim Soeharto setelah kurang lebih 32 tahun berkuasa yang kemudian dilanjutkan Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati Soekarno Putra menjadi contoh betapa Indonesia belum kuasa menangkap momentum transisi menuju demokratisasi. Ini berarti bahwa tumbangnya rezim otoriter Soeharto tidak berarti mengakhiri otoritarianisme untuk kemudian beralih pada demokratisasi. Tampaknya, menumbangkan rezim otoriter adalah satu hal, dan mengonsolidasikan serta mempertahankan demokratisasi adalah hal lain.

Kini, ingar-bingar menjelang pemilihan umum April mendatang tampak demikian terasa. Kesibukan untuk mempersiapkan segala hal terus dilakukan, mulai dari pengadaan kotak suara hingga hal-hal teknis lainnya demi kelengkapan dan keberlangsungan apa yang disebut pesta demokrasi ini. Masyarakat kembali berharap menunggu momentum ini, di samping juga khawatir jangan-jangan kegagalan masa lalu kembali terulang. Baik harapan maupun kekhawatiran merupakan fenomena wajar yang menjangkiti setiap kalangan, tidak terkecuali masyarakat Indonesia yang selalu disuguhi janji-janji dan rayuan gombal parta-partai politik. Sebenarnya, masyarakat tidak terlalu banyak berharap, kecuali pemilu 2004 bisa berlangsung aman, damai, dan dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat dan pemerintah yang berpihak kepada mereka. Tidak lebih dari itu.
Selebihnya adalah tugas pemerintah maupun penyelenggara negara yang akan mengendalikan bangsa ini untuk mewujudkan harapan-harapan warganya. Pemerintah harus mampu menangkap momentum ini agar masyarakat tidak lagi disesaki kekecewaan yang beruntun. Jika tidak, bukan tidak mungkin kepercayaan (trust) masyarakat terhadap pemerintah akan lenyap, dan jika lenyap, mustahil kepercayaan itu bisa direbut kembali.

Menebar Janji, Menanti Bukti

Membangun pemerintahan yang baik dan berwibawa (good governance) tentu menjadi harapan semua orang. Persoalannya, tidak semua orang mampu mewujudkannya, tidak terkecuali partai-partai politik yang hendak bertarung pada pemilihan umum April mendatang. Tidak kurang dari 24 partai politik lulus verifikasi dan absah mengikuti pemilu mulai tampak menebar pesona dan menabur janji. Tujuannya menjadi kabur, antara membesarkan hati masyarakat atau semata-mata mendulang suara sebanyak mungkin.

Dalam konteks ini, menarik mengutip pandangan dualistik Weber (Gerth dan Wrigh Mills, 1946: 84) tentang praktik politik: praktik politik untuk meraup untung dan praktik politik atas nama nurani. Yang pertama tampak menemukan ruang di belantika politik Indonesia. Ini terlihat dengan kenyataan bahwa hampir seluruh partai politik hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya demi meraup keuntungan ekonomi. Sementara masyarakat yang sejatinya mereka perjuangkan hanya layak untuk diperdagangkan dalam even-even kampanye.

Namun demikian, apapun kenyataannya, pemilu mutlak dilakukan sebagai salah satu instrumen politik bagi keberlangsungan proses-proses politik. Jika pemilu dianggap sebagai gerbang konstitusional yang paling realistis sebagai jalan keluar, maka menjamin agar gerbang tidak terganggu pada saatnya nanti mutlak dilakukan.
Bagi kalangan tertentu, pandangan semacam ini tampak pragmatis, dan seolah terlalu pasrah dengan keadaan. Namun perlu ditegaskan bahwa pesimisme dan apatisme yang berlebihan sebagian kalangan terhadap sistem politik sehingga dengan bangga mengusung isu penolakan pelaksanaan pemilu tampak lebih konyol lagi. Karena, di samping tidak relevan dan tidak populer, isu tersebut terkesan tidak realistis. Pemilu sebagai salah satu instrumen politik sekaligus sebagai jenjang proses regulasi kepemimpinan dan suksesi politik tampak menjadi langkah yang tidak boleh tidak harus dilalui. Memang, terlalu besar untuk berharap bahwa partai politik berjuang membesarkan hati rakyat. Tapi menampik pemilu sebagai langkah politik sama naifnya dengan membiarkan proses politik berlangsung stagnan.

Kekhawatiran

Di samping harapan, keresahan masyarakat juga tampak terasa seiring dengan dekatnya pelaksanaan pemilihan umum. Dalam laporannya, Kompas (26/02/04) menurunkan berita yang bertajuk Mereka Mengharapkan Pemilihan Umum Sukses. Dalam tulisan tersebut, ada pernyataan yang semestinya diindahkan bahwa “tugas politisi bukanlah untuk kemenangan demi kekuasaan, tetapi berpolitik demi kemakmuran bangsa harus menjadi tujuan utama.” Pernyataan ini merupakan refleksi dari harapan betapa pemilu menjadi idaman masyarakat secara keseluruhan. Harapan ini akan berganti kekhawatiran apabila pemilu yang dinantikan tidak berlangsung secara santun, beradab, dan beretika. Tak ada yang membantah bahwa pemilu mengandung makna pergantian, suksesi, dan kompetisi dalam merebut kekuasaan. Dan dalam kompetisi, kesantunan dan etika hendaknya dikedepankan. Tanpa dibekali norma-norma dan etika politik, kompetisi berujung pada kekerasan dan konflik.

Oleh karena itu, sudah seharusnya para politisi kita bertindak dewasa dan arif dalam menyikapi perbedaan, termasuk perbedaan aliran politik yang dipeganginya. Tanpa adanya kearifan dalam berpolitik, maka pemilu 2004 yang diharapkan menjadi momentum demokratisasi akan gagal dikonsolidasikan. Dan transisi demokrasi kembali menelan korban akibat krisis legitimasi yang berlarut-larut.[]

Sunday, March 14, 2004

Muhammad Syahrur: Insinyur Pembedah Kitab Suci

Persoalan otoritas kembali mengemuka tatkala Muhammad Syahrur meluncurkan buku pertamanya, Al-Kitab wa al-Qur’an:Qira’ah Mu’ashirah. Setelah Nasr Hamid Abu Zayd mengajukan pidato guru besarnya yang membincang tentang As-Syafi'i, Al-Azhar geger lantaran Abu Zayd dianggap melanggar ‘batas akademisnya’ yang semestinya membincang tentang sastra, malah membicarakan Imam As-Syafi'i: sebuah bidang kajian yang bukan otoritasnya. Begitu juga Syahrur yang sedari awal bergelut dengan disiplin ilmu eksakta, teknik sipil, malah memposisikan sebagai pengkaji kitab suci.

Bagi kalangan ortodoks, Abu Zayd maupun Syahrur dituding merampas wilayah dan otoritas ulama yang menurut mereka lebih patut mengkaji syariah dan Al-Qur’an. “Seperti halnya seorang yang berobat ke dokter umum untuk menyembuhkan penyakitnya, dan seorang arsitek yang membangun suatu rumah, untuk sesuatu mengenai Islam, seseorang hanya pergi kepada seorang spesialis yang secara formal terlatih dari segi ilmu pengetauan yang relegius (Just as one goes to a medical doctor for illness and an architect to build a house, for Islam one should go only to specialists formally trained in the religious sciences,” tegas Said Ramadlan Al-Buthi mengomentari ‘otoritas’ Syahrur dalam mengkaji kitab suci. Bahkan Sauqi Abu Khalil menilai, gagasan Syahrur tidak lebih dari perpanjangan tangan proyek zionisme (tanfidz li washiyati shahyuniyah),” tuduh Sauqi Abu Khalil.

Terlepas dari tudingan kalangan ortodoks yang menyoal otoritas penafsiran, yang jelas Syahrur begitu yakin bahwa semua orang memiliki otoritas yang sama dalam mengkaji kitab suci. Oleh karena itu, ia dengan lantang menggugat monopoli pembacaan kitab suci, alih-alih ia berambisi menyuguhkan perspektif lain dalam menggauli dan mendekati firman Tuhan tersebut.

Karena alasan ini, sesuai dengan latar akademis yang ditekuninya, Syahrur mengusulkan setidaknya dua pendekatan atau perspektif yang saling monopang dalam membaca kitab suci, yaitu perspektif semantik dan perspektif saintifik. Pertama, perspektif semantik. Dalam perspektif semantik ini, Syahrur menjadikan bahasa sebagai pijakan teoritiknya. Syahrur meyakini bahwa bahasa (Arab) tidak mengenal sinonimitas bahasa (mutaradifat), tetapi setiap kata memiliki keunikan maknanya sendiri dan setiap kata mengacu pada acuan tertentu. Keyakinan ini mengantarkannya pada kesimpulan bahwa Al-Kitab dan Al-Qur’an, sebagaimana tampak dalam judul bukunya, adalah dua kata yang memiliki makna yang berbeda.

Dengan berpedoman pada kamus Arab yang ia anggap standar, Maqayis al-Lughah al-Arabiyah karya Ibn Faris, Syahrur mengatakan bahwa Al-Kitab—yang merupakan derivasi dari kataba (k-t-b) berarti kumpulan dari sejumlah pokok persoalan yang memiliki kandungan kandungan yang saling menyempurnakan. Apa yang disebut al-kitab dalam konteks ini adalah sejumlah pokok pikiran yang merangkum ragam persoalan dalam kitab suci. Di antara pokok pikiran itu terkandung Al-Qur’an—di samping Umm al-Kitab dan Tafshilu al-Kitab. Menurut Syahrur, Al-Qur’an adalah bagian dari ‘kitab suci’ (Al-Kitab) yang menjelaskan dua hal. Di samping sisi konstan yang meliputi konsep umum tentang seluruh entitas, semisal ayat-ayat penciptaan alam, perkembangan manusia, konsep surga dan neraka, dan lain, Al-Qur’an juga berisi sisi dinamis yang meliputi jenis kelamin, warna kulit, hembusan angin, yang semua itu mungkin direkayasa oleh manusia. Singkatnya, Al-Qur’an adalah bagian dari kitab suci yang menjelaskan hukum alam, baik hukum alam yang tidak bisa direkayasa manusia maupun hukum alam yang bisa direkayasa manusia. Ayat-ayat al-Quran inilah yang ia sebut sebagai ayat Mutasyabihat atau kitab Nubuwah

Sedangkan bagian kitab suci yang membicarakan persoalan hukum yang mencakup persoalan ibadah, pesan-pesan dan etika sosial, dalam istilah Syahrur dikategorikan sebagai ayat Umm al-Kitab yang juga disebut ayat Muhkamat atau kitab Risalah. Sementara ayat tafshil al-kitab adalah ayat-ayat memerinci dan mendetailkan cakupan Al-Qur’an dan Umm al-Kitab yang tersebar dalam kitab suci. Ayat yang tersebut terakhir ini oleh Syahrur dikategorikan sebagai ayat yang bukan muhkamat dan bukan pula mutasyabihat.

Kedua, adalah perspektif saintifik. Anilisa saintifik yang dimaksud adalah pemihakan dan pemberian ruang pada akal dalam mengkaji apapun, tidak terkecuali kitab suci. Atas dasar ini, Syahrur merumuskan dua patokan yang mesti diperhatikan dalam memahami kitab suci (wahyu): wahyu tidak bertentangan dengan akal dan dengan demikian akal tidak bertentangan dengan realitas. Bertolak dari asumsi inilah Syahrur menegaskan bahwa seluruh kandungan al-kitâb dapat dibuktikan dengan nalar.
Menurut Syahrur, kegagalan Islam dalam menghadirkan jawaban solutif masanya terjadi akibat raibnya perangkat analisis saintifik. Masa lalu masih menjadi acuan otoritatif dalam menuntaskan persoalan kekinian. Padahal, sebagaimana masa lalu, masa kini pun memiliki persoalannya sendiri dan dengan dengan demikian memiliki caranya sendiri dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Mengingat berfikir saintifik-ilmiah selalu melibatkan sarana bahasa, matematika, dan statistika dalam menyampaikan gagasan, maka tidak heran apabila Syahrur dalam menyampaikan gagasan-gagasannya tidak melupakan sarana-sarana tersebut. Bahkan, di seluruh karyanya, Syahrur selalu melengkapi dengan rumus-rumus, idiom-idiom, dan skema-skema eksakta. Bagi Syahrur, matematika–sebagai salah satu medium berfikir saintifik—merupakan ragam ilmu yang termaju saat ini.

Dengan matematika, tegas Syahrur, kita bisa meneliti dengan cermat serta mampu memprediksi hal-hal yang mungkin terjadi. Bahkan lebih ekstrem lagi, Syahrur mengatakan bahwa kesempurnaan pengetahuan Allah terhadap segala sesuatu, peristiwa alam, dan fenomena alam sepenuhnya didasarkan pada ‘pengetahuan matematis’ tersebut. Salah satu logika saintifik yang digunakan Syahrur analisa ‘teori batas’ (nadzariyat al-hudud) yang menurut pengakuannya didasarkan pada analisa matematis Newton yang digambarkan dengan dua garis ordinat, vertikal (Y) dan horizontal (X). Garis Y menggambarkan perkembangan hukum yang senantiasa berubah dengan tetap mempertimbangkan ‘batas’ (had) ketuhanan, sedangkan garis X menggambarkan kondisi objektif di mana praktik hukum berlangsung. Teori batas—batas maksimal dan minimal--, bagi Syahrur tepat untuk diterapkan dalam membaca ayat-ayat umm al-kitab yang menurutnya mesti dipahami dalam konteks dalam dan antara batas (‘inda al-had), yaitu antara batas minimal dan maksimal, bukan pada batas itu sendiri (‘ala al-had). Misalnya hukum potong tangan yang disebutkan dalam Al-Qur’an (Al-Maidah [5]:38) merupakan batas maksimal (al-had al-a’la) hukuman bagi para pencuri sehingga jenis hukuman apapun bagi seorang pencuri tidak boleh melampaui potong tangan. Atau pada surat al-Nisa (4): 22-23 yang menjelaskan tentagn wanita-wanita yang haram dinikahi, dalam pandangan Syahrur ayat ini menerangkan tentang batas minimal (al-had al-adna) perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi. Artinya, di luar itu bisa jadi ada kelompok perempuan yang juga tidak boleh diperistri.
Dengan mencermati dua perspektif teoritik tersebut, kita dapat dengan mudah menduga bahwa latar belakang akademisnya sebagai insinyur teknik sipil begitu signifikan mewarnai model pembacaannya. Sementara pada perspektif semantik, kita dapat merujuk pada kedekatannya dengan Jakfar Dek, koleganya yang menekuni kajian linguistik, yang menurut pengakuan Syahrur banyak berperan dalam menyumbangkan ‘kesadaran linguistiknya’.

Tentu saja, gagasan Syahrur tidak lebih sebagai sebuah tawaran epistemologis yang layak dipertimbangkan. Penolakan secara a priori hanya akan menjadikan sebuah iklim akademis yang tidak kondusif bagi munculnya kreasi-kreasi baru. Sebagaimana ditegaskan Arkoun, memperhadapkan pesan-pesan Kitab Suci dengan ujaran-ujaran teoritis mutakhir merupakan kebutuhan intelektual, sehingga luasnya wilayah yang "tak terpikirkan" akibat pemasungan nalar sebisa mungkin diminimalisir. Dalam konteks inilah, upaya kreatif Syahrur menemukan gregetnya.

Sungguhpun demikian, upaya kreatif Syahrur tidak mudah menembus batas-batas tradisionalisme berfikir. Di samping problem otoritas yang mengganjalnya, juga gagasannya yang telah membongkar wilayah "sensitif" agama yaitu disiplin ilmu al-Quran. Sebagaimana dituduhkan Al-Jabi, qira’ah mu'ashirah Shahrur hanyalah ramalan semata (mujarradu tanjim) yang tidak memiliki landasan teoritis yang memadai, di samping kredibilitasnya sebagai orang yang concern dibidang teknik dipertanyakan ketika berupaya mengkaji Kitab Suci. Dengan berbekal hadis, "kadzdzaba al-munajjamuna walau shadaqu (tukang ramal itu tetap berdusta walaupun benar)", Al-Jabi mengukuhkan dugaannya. Belum lagi, pendekatan teoritisnya yang ditengarai mengadopsi filsafat marxian, menjadikan karyanya layak disangsikan dan "halal" dihujat.

Berbeda dengan Al-Jabi dan Sauqi, Nasr Hamid Abu Zayd menilai bahwa gagasan interpretasi kitab suci yang dirumuskan Syahrur lebih bernuansa ideologis tendensius (qiraah talwiniyah mughridlah) ketimbang hermeneutis produktif (qiraah ta'wiliyah muntijah). Penilaian ini terjadi karena interpretasi kitab suci Syahrur mengalami tiga problem mendasar. Pertama, qirâ`ah mu’ashirah-nya berusaha untuk memadukan dua kutub yang berlainan—kutub statis (shalbun tsâbitun) yaitu kekinian (al-‘ashriy) dalam konteks pembacaan itu dan kutub dinamis (rahwun wa mutaharrikun) yaitu proses reinterpretasi khazanah (turats) Islam. Syahrur dalam penerapannya tampak memaksakan penyesuaian ‘kutub kedua’ (proses reinterpretasi) pada ‘kutub pertama’ (kekinian) sesuai dengan kehendaknya. Seolah-olah kekinian menjadi titik sejarah yang mutlak dan tak mungkin berubah. Dalam konteks ini, perspektif saintifik Syahrur, betapapun rasionalistiknya, cenderung reduksionistik dan deterministik.

Kedua, pembacaan Syahrur tidak historis, dalam arti ia mengabaikan perbedaan konteks sejarah dalam arti sosiologis yang melingkari pada setiap kutub tersebut. Dan ketiga, Syahrur mengabaikan historisitas teks dan cenderung membenarkan “asumsi awalnya” dengan mekanisme pembacaan sebagaimana ia tawarkan. Dalam hal ini, Nasr Hamid Abu Zayd mengatakan bahwa proyek pembaruan tidak mungkin terlaksana hanya dengan model “pembingkaian palsu” (bi al-‏ala’ al-zâif) semisal label “mu’âshirah” dalam proyek Syahrur, melainkan dengan pemahaman yang memadai terhadap aspek kesejarahan (tarikhiyah).

Di pihak lain, Jamal Al-Banna pun menyayangkan tawaran Shahrur yang hanya berpijak pada pendekatan linguistik dan semantik dengan kamus standar Maqayis al-Lughah karya Ibn Faris. Pengabaiannya pada aspek lain, semisal hadis Nabi serta kamus-kamus bahasa Arab lainnya, menyebabkan produk pembacaannya terhadap kitab suci "kering" dari konteks Qurani. Sepertinya, gagasan yang ditawarkan Syahrur hanya berkutat pada usaha memahami Teks Suci "dari dalam" dunia makna yang ia ciptakan dan ia bangun, dan akhirnya mengabaikan pemahaman proses historis yang mengitari Teks Suci tersebut. Sehingga bingkai "kontemporer" yang melekat pada tawaran carabacanya hanyalah "bingkai palsu" sebagaimana diduga Nasr Hamid Abu Zaid.

Saturday, January 24, 2004

Kalau Saja Kau Tampung Perasaanku

Sesaat...Ketika denyut nadi lintasi semak-semak.
Dan bekas jejak itu demikian nayata. Bagaiaman kuhapus sejarah pengembaraan itu.
Sesaat...Ketika impi kugantungkan di atas singgasana sana.
Dan diam-diam sebuah bayangan menyambarnya. Bagaiamna ia berkelit darinya.
Sesaat...Ketika bisikan ombak iringi langkahmu. Dan ia pun membanjiri perasaanmu.
Bagaimana kau membendungnya.
Memang, kesesaatan bukanlah keabadian. Bila kesesaatan itu seringkali hadir,
tidakkah ia menjadi keabadian?
Memang, kesesaatan bukanlah keabadian. BIla kesesaatan itu tak kunjung sirna,
bukankah ia menjadi keabadian?
Mungkin saja tidak. Tapi, kalau saja kau tampung perasaan itu,
linangan air mata teramat pelik kuendapkan.
biarkan kuberharap, kesesaatan tetaplah menjadi kesesaatan.
Yang tak pernah berubah menjadi keabadian.
Biarlah ia hanya igauan, dalam kantuk yang tak kuasa ku tahan.
Kini ku harus melangkah. Melampauai kesesaatan
dan impikan keabadian. Yang kucipta dalam sadar
Bukan dalam impi yang melalaikan.