Monday, December 10, 2007

Temu Tengkar Agama dan Tradisi Lokal



Dapat dikatakan bahwa seluruh agama samawi yang berkembang di tanah air ini adalah agama impor. Ia hadir dari suasana dan kesadaran psikologis yang berbeda dengan suasana dan kesadaran psikologis masyarakat di tanah air. Menarik diulas bagaimana ‘agama pendatang’ ini mengkomunikasikan dirinya dalam sebuah komunitas dengan keyakinan lokal yang telah menggumpal. Dalam tulisan berikut akan terlihat ada proses komunikasi yang sesekali terbuka, namun sering kali juga tertutup. Kehadiran Islam dan Kristen ke Jawa dan ke beberapa daerah di tanah air misalnya dapat dijadikan ilustrasi dalam menggambarkan pola relasi dan tarik ulur antara ‘agama pendatang’ di satu sisi dan tradisi lokal di sisi yang lain.

Wednesday, November 14, 2007

KH. Abdullah Sajjad: Membela Bangsa dari Pesantren

Kiai Abdullah Sajjad adalah putra Kiai Syarqawi dari Nyai Qamariyah. Dilahirkan di Guluk-Guluk Sumenep Madura. Tanggal dan tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, nama besarnya tidak bisa dilupakan siapa pun. Beliau adalah pahlawan kemerdekaan yang hidup di pinggiran kota yang bagi sebagian orang kurang begitu tertarik untuk mengungkapnya. Memang beliau bukanlah sosok yang haus sanjungan dan bangga dengan publikasi. Tanpa publikasi sekalipun, semerbak kemasyhurannya dikenal banyak orang. Itu semua karena kebesaran dan peran sosial politiknya yang tidak sederhana. Ia adalah tokoh fenomenal: pendidik, pejuang, dan penulis sekaligus.

KH. Muhammad Ilyas Syarqawi: Sosok Santun dan Menghindari Perpecahan

Sketsa Biografi Intelektual

Kiai Mohammad Ilyas Syarqawi dilahirkan di Guluk-Guluk melalui pasangan Kiai Syarqawi dan Nyai Qamariyah. Tidak diketahui secara pasti kapan beliau dilahirkan. Namun dilihat dari tahun wafatnya, 1959–sementara beliau berusia 70 tahun—maka dapat katakan bahwa beliau lahir pada tahun 1889.

Pendidikan pertamanya dimulai dari asuhan langsung orang tuanya, Kiai Syarqawi. Namun, setelah beranjak dewasa, oleh ayahnya Kiai Mohammad Ilyas dianjurkan untuk
menimba ilmu ke berbagai pesantren, misalnya Pesantren Kademangan asuhan Syaichona Kholil, Pondok Pesantren Tebuireng asuhan KH. Hasyim Asy’ari, dan beberapa tahun belajar di Mekkah.

Almaghfurlah KH. Muhammad Syarqawi : Membabat Guluk-Guluk, Merintis Annuqayah

Sekitar akhir paroh pertama atau awal paroh kedua abad ke-19, sosok mungil yang kelak menyinari bumi Guluk-Guluk, lahir di sebuah kota yang terletak 40 kilo meter sebelah timur Semarang, Jawa Tengah. Kudus, demikian orang menyebut kota tersebut. Oleh orang tuanya, Kiai Shidiq Romo, atau dalam riwayat lain disebut dengan Kiai Sudi Kromo, sosok mungil itu diberi nama Muhammad Syarqawi. Peristiwa kelahirannya tidak tercover secara detail. Tidak adanya sumber data yang memadai, menjadikan data-data dan sejarah kehidupannya lebih didominasi sejarah lisan yang diperoleh dari keturunannya. Kecuali itu, Huub de Jonge dalam bukunya, Madura dalam Empat Zaman, sedikit menjelaskan siapa sesungguhnya Kiai Syarqawi itu. Kiai Shidiq Romo, ayah Kiai Syarqawi, dan Kiai Kanjeng Sinuwun, kakeknya, demikian Jonge, merupakan ulama terkemuka yang pengaruhnya meluas di sekitar kota Kudus. Kudus yang saat itu, bahkan saat ini, merupakan pusat dagang dan pusat perkembangan Islam terpenting di Jawa. Letak geografisnya yang membentang di sepanjang Pantai Utara merupakan jalur strategis perdagangan saat itu. Aset ekonomi wilayah itu dikuasai oleh sejumlah pedagang saleh dan kaya, dan di kalangan mereka terbina hubungan yang harmonis dengan elite keagamaan setempat. Hubungan yang harmonis semacam inilah yang menjadikan kerja sama yang baik antara pemuka agama di satu pihak dan pemilik kapital (baca: pedagang) di pihak lain.

Tuesday, November 13, 2007

Membincang Manhaj Fikr NU


Ketika Kang Said Aqil Siradj mengatakan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) bukan madzhab melainkan manhaj, silang pendapat di lingkungan nahdliyin tidak terbendung. Bagi Kang Said, alasannya sangat sederhana: bagaimana mungkin di dalam madzhab ada ‘sekoci’ madzhab lagi? Namun bukan tempatnya mengulang kembali debat klasik ini dalam tulisan berikut. Yang patut ditegaskan di sini adalah bagaimana menjadikan Aswaja sebagai manhaj, gugusan paradigmatik-konseptual yang memungkinkannya menjadi alat dan perangkat (tool)baik dalam berpikir maupun bertindak di kalangan nahdliyin.

Tuesday, October 30, 2007

NU dan Semangat Kebangsaan

Indonesia merupakan negara-bangsa yang menghimpun beragam suku, budaya, bahasa, bahkan agama. Dalam satu payung negara kesatuan inilah, keragaman itu menemukan tempat bersemainya. Indonesia yang dihuni beragam suku bangsa serta beragam agama menjadi ujian yang sungguh berat sekaligus berkah bagi kebangsaan kita.

Menjadi ujian karena tampaknya keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama kerap menjadi pemicu lahirnya konflik etnis dan agama. Sementara menjadi berkah karena kenyataan itu menjadi kekayaan yang patut diselamatkan sehingga kita bisa saling memahami dan menghargai sesama atas dasar kesamaan bangsa, yaitu bangsa Indonesia.

Di Hari yang Fitri, Aku Kembali, Menemuimu Lagi




Sungguh letih aku menyepi, menjauh darimu. Kini, aku kembali, menemuimu lagi, setelah dulu mereka datang untuk mengapresiasi dan lainnya menghujatku. Kuucapkan terima kasih atas semuanya.

Setelah puluhan pekan aku menjauh, kini aku kembali menemuimu lagi, tanpa dengki dan tanpa emosi. Mari kita bersama, mencari dan memaknai hidup ini. Dan izinkan aku ucapkan kepadamu, Selamat Ied Fitri 1428 H, MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN.