Indonesia merupakan negara-bangsa yang menghimpun beragam suku, budaya, bahasa, bahkan agama. Dalam satu payung negara kesatuan inilah, keragaman itu menemukan tempat bersemainya. Indonesia yang dihuni beragam suku bangsa serta beragam agama menjadi ujian yang sungguh berat sekaligus berkah bagi kebangsaan kita.
Menjadi ujian karena tampaknya keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama kerap menjadi pemicu lahirnya konflik etnis dan agama. Sementara menjadi berkah karena kenyataan itu menjadi kekayaan yang patut diselamatkan sehingga kita bisa saling memahami dan menghargai sesama atas dasar kesamaan bangsa, yaitu bangsa Indonesia.
Dalam konteks ini, bangsa Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologi negaranya memang sedang diuji. Indikasi retaknya kebangsaan kita mulai menyembul ke permukaan, misalnya dengan apa yang disebut bangkitnya politik identitas. Bagi saya, menguapnya politik identitas terjadi akibat melunturnya kewibawaan negara dalam mengimplementasikan keinginan warganya. Sehingga yang terjadi, warga negara mengambil inisiatif sendiri karena negara dinilai tidak lagi mampu menampilkan sosoknya sebagai otoritas yang paling berwenang mewujudkan kepentingan warga negaranya.
Padahal, inisiatif warga yang tidak terkontrol pun bisa menjadi semacam ancaman tersendiri bagi keutuhan bangsa ini yang telah melewati masa-masa kemerdekaannya. Ini diperkuat dengan bangkitnya eskalasi komunalisme dan sektarianisme yang tampaknya tidak berbanding lurus dengan pemahaman wawasan kebangsaan warganya. Alih-alih, wawasan kebangsaan itu mulai memudar.
Jika demikian, maka nasionalisme benar-benar terancam. Adalah tugas seluruh elemen bangsa ini untuk segera mengambil inisiatif dan berbenah merajut kembali semangat kebangsaan yang mulai koyak.
Jika tidak, ini menjadi batu sandungan bagi keutuhan bangsa. Menguatnya komunalisme dan sektarianisme akan berdampak pada memudarnya wawasan kebangsaan dengan munculnya apa yang disebut nasionalisme etinisitas. Jika wawasan kebangsaan tidak ditanamkan sejak dini, maka dipastikan kita tidak akan berhasil mengatasi komunalisme dan sektarianisme yang semakin hari kian mengemuka.
Sejarah Pahit
Enam puluh satu tahun Indonesia merdeka, komitmen kebangsaan kembali disoal. Ini terjadi karena ternyata kebangsaan yang menjadi penyangga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menghadapi ancaman yang tidak sederhana. Pengalaman pahit lepasnya Timor Timur pasca referendum 1998 dari NKRI, ditambah riak-riak gelombang pemisahan diri dari NKRI di perbagai daerah kembali menghantui bangsa ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa ikatan kebangsaan kita sungguh rapuh (fragile).
Fragilitas ikatan kebangsaan ini kian mengukuhkan bahwa jahitan kebangsaan kita tidak sungguh solid. Nasionalisme menciut digantikan oleh semangat komunalisme dan sektarianisme. Indikasi menguatnya komunalisme dan sektarianisme ini kian tampak di pelbagai daerah yang belakangan kembali mengagung-agungkan identitas komunalnya.
Konflik antarsuku di Papua, misalnya, hingga kini belum kunjung berakhir. Kasus lain adalah fenomena massifnya produksi "perda syariat" di sejumlah daerah yang ini menunjukkan betapa koridor kebangsaan yang telah dirumuskan selama ini ternyata tidak lagi kuasa menampung keragaman warganya. Hasilnya, sebagian kelompok mencoba menarik kembali identitas agamanya ke ruang publik dengan harapan memenuhi hasrat itu. Memang, sebagaimana diakui John Breuilly, bahwa nasionalisme selalu menekankan sifat ganda. Di satu sisi ia bersifat integratif, namun di sisi yang lain bersifat disintegratif
Potensi disintegratif nasionalisme itu sejatinya perlu diwaspadai. Jika tidak, maka NKRI yang menjadi komitmen bersama menghadapi ancaman serius. Oleh karena itu, sudah seharusnya wawasan kebangsaan dipupuk dan ditanamkan pada warga negara agar mereka bisa lebih mencintai tanah airnya. Cara ini sekaligus bisa menangkal ancaman komunalisme dan sektarianisme yang semakin hari semakin mengemuka.
Selain itu, pengembangan kehidupan yang berorientasi kepada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai kebebasan pendapat dan menjamin kebebasan berserikat, harus benar-benar dibuktikan oleh aparatur negara ini. Prinsip 'tebang-pilih' dalam masalah hukum sebagaimana ditengarai banyak kalangan hendaknya tidak terjadi. Law enforment sejatinya menjadi prinsip, dan mengikat seluruh warga negara tanpa memberi privilege pada sebagian kelompok tertentu.
Munculnya beragam masalah kebangsaan ini seharusnya segara dicarikan formulasi penyelesaiannya. Di tengah indikasi raibnya identitas keindonesiaan ditambah dengan dangkalnya wawasan kebangsaan, maka upaya untuk menanamkan semangat dan wawasan kebangsaan sudah seharusnya dimulai sejak dini.
Salah satu upaya untuk membentuk rasa kebangsaan adalah lewat jalur pendidikan. Dan pendidikan menjadi sarana efektif untuk menyosialisasikan dan mendalami wawasan kebangsaan.
Selain itu, beberapa hal yang patut ditanamkan adalah apresiasi terhadap kearifan lokal (local wisdom), penanaman wawasan kebangsaan, serta penguatan harmoni dan toleransi antara kelompok suku, agama, dan ras yang berbeda. Apresiasi terhadap kearifan lokal ini penting untuk menggali nilai dan semangat yang terkandung dalam nilai budaya yang beragam untuk kemudian diangkat dalam konteks nasional dan kemudian didayagunakan dalam membentuk karakter masyarakat atau bangsa.
Begitu juga dengan penanaman wawasan kebangsaan. Terbentuknya Indonesia melalui proses yang cukup panjang, dan dengan mengerti sejarah lahir dan perjalanan bangsa ini, warga negara tidak mengalami kesenjangan dengan sejarah bangsanya sendiri. Karena eksistensi suatu bangsa tidak lepas dari kesinambungan historis dengan masa lalunya. Dengan belajar dari sejarah, kesadaran berbangsa akan menguat sehingga kita berpijak pada realitas kekinian dengan kukuh untuk membangun masa depan yang gemilang.
Di samping itu adalah penguatan toleransi dan harmoni antar beragam entitas budaya, agama, dan suku. Di tengah merebaknya sektarianisme, maka sudah seharusnya masyarakat dibekali dengan pemahaman yang utuh mengenai keragaman entitas bangsa yang terdiri dari beragam agama, budaya, dan suku. Bukannya menunggalkan, tapi malah memberikan pengertian bahwa di dalam keragaman ini, toleransi dan dialog menjadi semangat yang senantiasa dikedepankan. Dengan upaya ini, lunturnya wawasan kebangsaan yang mulai tampak akhir-akhir terselamatkan.
Momentum Musyawarah Kerja Nasional Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Nahdlatul Ulama (Mukernas Lakpesdam NU) di Palembang 12-14 Desember 2006 seharusnya menjadi ruang bagi NU untuk memperteguh semangat kebangsaan dalam bingkai mode- ratisme dan toleransi antarumat beragama.
Dimuat Suara Pembaruan, 13 Desember 2006