Sunday, March 14, 2004

Muhammad Syahrur: Insinyur Pembedah Kitab Suci

Persoalan otoritas kembali mengemuka tatkala Muhammad Syahrur meluncurkan buku pertamanya, Al-Kitab wa al-Qur’an:Qira’ah Mu’ashirah. Setelah Nasr Hamid Abu Zayd mengajukan pidato guru besarnya yang membincang tentang As-Syafi'i, Al-Azhar geger lantaran Abu Zayd dianggap melanggar ‘batas akademisnya’ yang semestinya membincang tentang sastra, malah membicarakan Imam As-Syafi'i: sebuah bidang kajian yang bukan otoritasnya. Begitu juga Syahrur yang sedari awal bergelut dengan disiplin ilmu eksakta, teknik sipil, malah memposisikan sebagai pengkaji kitab suci.

Bagi kalangan ortodoks, Abu Zayd maupun Syahrur dituding merampas wilayah dan otoritas ulama yang menurut mereka lebih patut mengkaji syariah dan Al-Qur’an. “Seperti halnya seorang yang berobat ke dokter umum untuk menyembuhkan penyakitnya, dan seorang arsitek yang membangun suatu rumah, untuk sesuatu mengenai Islam, seseorang hanya pergi kepada seorang spesialis yang secara formal terlatih dari segi ilmu pengetauan yang relegius (Just as one goes to a medical doctor for illness and an architect to build a house, for Islam one should go only to specialists formally trained in the religious sciences,” tegas Said Ramadlan Al-Buthi mengomentari ‘otoritas’ Syahrur dalam mengkaji kitab suci. Bahkan Sauqi Abu Khalil menilai, gagasan Syahrur tidak lebih dari perpanjangan tangan proyek zionisme (tanfidz li washiyati shahyuniyah),” tuduh Sauqi Abu Khalil.

Terlepas dari tudingan kalangan ortodoks yang menyoal otoritas penafsiran, yang jelas Syahrur begitu yakin bahwa semua orang memiliki otoritas yang sama dalam mengkaji kitab suci. Oleh karena itu, ia dengan lantang menggugat monopoli pembacaan kitab suci, alih-alih ia berambisi menyuguhkan perspektif lain dalam menggauli dan mendekati firman Tuhan tersebut.

Karena alasan ini, sesuai dengan latar akademis yang ditekuninya, Syahrur mengusulkan setidaknya dua pendekatan atau perspektif yang saling monopang dalam membaca kitab suci, yaitu perspektif semantik dan perspektif saintifik. Pertama, perspektif semantik. Dalam perspektif semantik ini, Syahrur menjadikan bahasa sebagai pijakan teoritiknya. Syahrur meyakini bahwa bahasa (Arab) tidak mengenal sinonimitas bahasa (mutaradifat), tetapi setiap kata memiliki keunikan maknanya sendiri dan setiap kata mengacu pada acuan tertentu. Keyakinan ini mengantarkannya pada kesimpulan bahwa Al-Kitab dan Al-Qur’an, sebagaimana tampak dalam judul bukunya, adalah dua kata yang memiliki makna yang berbeda.

Dengan berpedoman pada kamus Arab yang ia anggap standar, Maqayis al-Lughah al-Arabiyah karya Ibn Faris, Syahrur mengatakan bahwa Al-Kitab—yang merupakan derivasi dari kataba (k-t-b) berarti kumpulan dari sejumlah pokok persoalan yang memiliki kandungan kandungan yang saling menyempurnakan. Apa yang disebut al-kitab dalam konteks ini adalah sejumlah pokok pikiran yang merangkum ragam persoalan dalam kitab suci. Di antara pokok pikiran itu terkandung Al-Qur’an—di samping Umm al-Kitab dan Tafshilu al-Kitab. Menurut Syahrur, Al-Qur’an adalah bagian dari ‘kitab suci’ (Al-Kitab) yang menjelaskan dua hal. Di samping sisi konstan yang meliputi konsep umum tentang seluruh entitas, semisal ayat-ayat penciptaan alam, perkembangan manusia, konsep surga dan neraka, dan lain, Al-Qur’an juga berisi sisi dinamis yang meliputi jenis kelamin, warna kulit, hembusan angin, yang semua itu mungkin direkayasa oleh manusia. Singkatnya, Al-Qur’an adalah bagian dari kitab suci yang menjelaskan hukum alam, baik hukum alam yang tidak bisa direkayasa manusia maupun hukum alam yang bisa direkayasa manusia. Ayat-ayat al-Quran inilah yang ia sebut sebagai ayat Mutasyabihat atau kitab Nubuwah

Sedangkan bagian kitab suci yang membicarakan persoalan hukum yang mencakup persoalan ibadah, pesan-pesan dan etika sosial, dalam istilah Syahrur dikategorikan sebagai ayat Umm al-Kitab yang juga disebut ayat Muhkamat atau kitab Risalah. Sementara ayat tafshil al-kitab adalah ayat-ayat memerinci dan mendetailkan cakupan Al-Qur’an dan Umm al-Kitab yang tersebar dalam kitab suci. Ayat yang tersebut terakhir ini oleh Syahrur dikategorikan sebagai ayat yang bukan muhkamat dan bukan pula mutasyabihat.

Kedua, adalah perspektif saintifik. Anilisa saintifik yang dimaksud adalah pemihakan dan pemberian ruang pada akal dalam mengkaji apapun, tidak terkecuali kitab suci. Atas dasar ini, Syahrur merumuskan dua patokan yang mesti diperhatikan dalam memahami kitab suci (wahyu): wahyu tidak bertentangan dengan akal dan dengan demikian akal tidak bertentangan dengan realitas. Bertolak dari asumsi inilah Syahrur menegaskan bahwa seluruh kandungan al-kitâb dapat dibuktikan dengan nalar.
Menurut Syahrur, kegagalan Islam dalam menghadirkan jawaban solutif masanya terjadi akibat raibnya perangkat analisis saintifik. Masa lalu masih menjadi acuan otoritatif dalam menuntaskan persoalan kekinian. Padahal, sebagaimana masa lalu, masa kini pun memiliki persoalannya sendiri dan dengan dengan demikian memiliki caranya sendiri dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Mengingat berfikir saintifik-ilmiah selalu melibatkan sarana bahasa, matematika, dan statistika dalam menyampaikan gagasan, maka tidak heran apabila Syahrur dalam menyampaikan gagasan-gagasannya tidak melupakan sarana-sarana tersebut. Bahkan, di seluruh karyanya, Syahrur selalu melengkapi dengan rumus-rumus, idiom-idiom, dan skema-skema eksakta. Bagi Syahrur, matematika–sebagai salah satu medium berfikir saintifik—merupakan ragam ilmu yang termaju saat ini.

Dengan matematika, tegas Syahrur, kita bisa meneliti dengan cermat serta mampu memprediksi hal-hal yang mungkin terjadi. Bahkan lebih ekstrem lagi, Syahrur mengatakan bahwa kesempurnaan pengetahuan Allah terhadap segala sesuatu, peristiwa alam, dan fenomena alam sepenuhnya didasarkan pada ‘pengetahuan matematis’ tersebut. Salah satu logika saintifik yang digunakan Syahrur analisa ‘teori batas’ (nadzariyat al-hudud) yang menurut pengakuannya didasarkan pada analisa matematis Newton yang digambarkan dengan dua garis ordinat, vertikal (Y) dan horizontal (X). Garis Y menggambarkan perkembangan hukum yang senantiasa berubah dengan tetap mempertimbangkan ‘batas’ (had) ketuhanan, sedangkan garis X menggambarkan kondisi objektif di mana praktik hukum berlangsung. Teori batas—batas maksimal dan minimal--, bagi Syahrur tepat untuk diterapkan dalam membaca ayat-ayat umm al-kitab yang menurutnya mesti dipahami dalam konteks dalam dan antara batas (‘inda al-had), yaitu antara batas minimal dan maksimal, bukan pada batas itu sendiri (‘ala al-had). Misalnya hukum potong tangan yang disebutkan dalam Al-Qur’an (Al-Maidah [5]:38) merupakan batas maksimal (al-had al-a’la) hukuman bagi para pencuri sehingga jenis hukuman apapun bagi seorang pencuri tidak boleh melampaui potong tangan. Atau pada surat al-Nisa (4): 22-23 yang menjelaskan tentagn wanita-wanita yang haram dinikahi, dalam pandangan Syahrur ayat ini menerangkan tentang batas minimal (al-had al-adna) perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi. Artinya, di luar itu bisa jadi ada kelompok perempuan yang juga tidak boleh diperistri.
Dengan mencermati dua perspektif teoritik tersebut, kita dapat dengan mudah menduga bahwa latar belakang akademisnya sebagai insinyur teknik sipil begitu signifikan mewarnai model pembacaannya. Sementara pada perspektif semantik, kita dapat merujuk pada kedekatannya dengan Jakfar Dek, koleganya yang menekuni kajian linguistik, yang menurut pengakuan Syahrur banyak berperan dalam menyumbangkan ‘kesadaran linguistiknya’.

Tentu saja, gagasan Syahrur tidak lebih sebagai sebuah tawaran epistemologis yang layak dipertimbangkan. Penolakan secara a priori hanya akan menjadikan sebuah iklim akademis yang tidak kondusif bagi munculnya kreasi-kreasi baru. Sebagaimana ditegaskan Arkoun, memperhadapkan pesan-pesan Kitab Suci dengan ujaran-ujaran teoritis mutakhir merupakan kebutuhan intelektual, sehingga luasnya wilayah yang "tak terpikirkan" akibat pemasungan nalar sebisa mungkin diminimalisir. Dalam konteks inilah, upaya kreatif Syahrur menemukan gregetnya.

Sungguhpun demikian, upaya kreatif Syahrur tidak mudah menembus batas-batas tradisionalisme berfikir. Di samping problem otoritas yang mengganjalnya, juga gagasannya yang telah membongkar wilayah "sensitif" agama yaitu disiplin ilmu al-Quran. Sebagaimana dituduhkan Al-Jabi, qira’ah mu'ashirah Shahrur hanyalah ramalan semata (mujarradu tanjim) yang tidak memiliki landasan teoritis yang memadai, di samping kredibilitasnya sebagai orang yang concern dibidang teknik dipertanyakan ketika berupaya mengkaji Kitab Suci. Dengan berbekal hadis, "kadzdzaba al-munajjamuna walau shadaqu (tukang ramal itu tetap berdusta walaupun benar)", Al-Jabi mengukuhkan dugaannya. Belum lagi, pendekatan teoritisnya yang ditengarai mengadopsi filsafat marxian, menjadikan karyanya layak disangsikan dan "halal" dihujat.

Berbeda dengan Al-Jabi dan Sauqi, Nasr Hamid Abu Zayd menilai bahwa gagasan interpretasi kitab suci yang dirumuskan Syahrur lebih bernuansa ideologis tendensius (qiraah talwiniyah mughridlah) ketimbang hermeneutis produktif (qiraah ta'wiliyah muntijah). Penilaian ini terjadi karena interpretasi kitab suci Syahrur mengalami tiga problem mendasar. Pertama, qirâ`ah mu’ashirah-nya berusaha untuk memadukan dua kutub yang berlainan—kutub statis (shalbun tsâbitun) yaitu kekinian (al-‘ashriy) dalam konteks pembacaan itu dan kutub dinamis (rahwun wa mutaharrikun) yaitu proses reinterpretasi khazanah (turats) Islam. Syahrur dalam penerapannya tampak memaksakan penyesuaian ‘kutub kedua’ (proses reinterpretasi) pada ‘kutub pertama’ (kekinian) sesuai dengan kehendaknya. Seolah-olah kekinian menjadi titik sejarah yang mutlak dan tak mungkin berubah. Dalam konteks ini, perspektif saintifik Syahrur, betapapun rasionalistiknya, cenderung reduksionistik dan deterministik.

Kedua, pembacaan Syahrur tidak historis, dalam arti ia mengabaikan perbedaan konteks sejarah dalam arti sosiologis yang melingkari pada setiap kutub tersebut. Dan ketiga, Syahrur mengabaikan historisitas teks dan cenderung membenarkan “asumsi awalnya” dengan mekanisme pembacaan sebagaimana ia tawarkan. Dalam hal ini, Nasr Hamid Abu Zayd mengatakan bahwa proyek pembaruan tidak mungkin terlaksana hanya dengan model “pembingkaian palsu” (bi al-‏ala’ al-zâif) semisal label “mu’âshirah” dalam proyek Syahrur, melainkan dengan pemahaman yang memadai terhadap aspek kesejarahan (tarikhiyah).

Di pihak lain, Jamal Al-Banna pun menyayangkan tawaran Shahrur yang hanya berpijak pada pendekatan linguistik dan semantik dengan kamus standar Maqayis al-Lughah karya Ibn Faris. Pengabaiannya pada aspek lain, semisal hadis Nabi serta kamus-kamus bahasa Arab lainnya, menyebabkan produk pembacaannya terhadap kitab suci "kering" dari konteks Qurani. Sepertinya, gagasan yang ditawarkan Syahrur hanya berkutat pada usaha memahami Teks Suci "dari dalam" dunia makna yang ia ciptakan dan ia bangun, dan akhirnya mengabaikan pemahaman proses historis yang mengitari Teks Suci tersebut. Sehingga bingkai "kontemporer" yang melekat pada tawaran carabacanya hanyalah "bingkai palsu" sebagaimana diduga Nasr Hamid Abu Zaid.