Tuesday, August 05, 2008

Ekstremisme Musuh Agama-Agama

Dalam forum KTT luar biasa OKI tiga tahun lalu, Raja Abdullah ibn Abdul Aziz menegaskan perlunya kerja kolektif umat Islam memerangi ekstremisme dan keterbelakangan. Menurutnya, upaya ini hanya mungkin dilakukan dengan meluruskan dan membersihkan nalar dari pandangan yang menyimpang, bukan dengan tindakan kekerasan (Ahram/8/12/05).

Tuesday, July 08, 2008

Ketika Kekerasan Menjadi Jawaban

Semua bersepakat bahwa tindakan kekerasan merupakan musuh umat manusia. Hanya yang kehilangan akal dan nurani yang membenarkan kekerasan, bahkan kekerasan mengatasnamakan agama sekalipun. Tapi sayangnya, kekerasan terus saja terjadi, bahkan kuantitas dan kualitasnya kian meningkat. Institut Titian Perdamaian (ITP), salah satu lembaga yang bergelut dalam pembangunan perdamaian dan mempromosikan budaya anti kekerasan, mencatat bahwa sepanjang Januari-April 2008 ini, setidaknya 246 konflik dan aksi kekerasan terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kekerasan itu dipicu banyak faktor, baik politik, perebutan sumber daya, hingga tawuran.

Thursday, June 12, 2008

Menjadi Santri (4)

Mengaji Kitab Gundul

Setelah tiga tulisan pendek tentang menjadi santri saya posting, lalu saya terdiam. Tak lagi mampu menuliskan pengalaman masa lalu itu. Tiba-tiba saja saya terlupa kisah ketika 18 tahun yang lalu saya meresmikan diri untuk menjadi santri. Banyak yang saya alami, tapi banyak pula yang saya lupa. Memori masa lalu itu telah terlapisi banyak hal, bahkan banyak 'beban'. Sehingga ia tertindih tanpa mampu terungkap lagi.

Genre Baru Intelektual NU


Jika dulu mencari sarjana di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) ibarat mencari es di tengah malam, maka kini fakta itu telah berubah. Booming intelektual yang terjadi di lingkungan NU, utamanya di penghujung tahun 80-an, menjadi fakta baru di lingkungan komunitas yang secara pejoratif dilabeli tradisional, sarungan, dan pemuja takhayul, khurafat, serta bidah. Diversifikasi pengetahuan yang dimiliki komunitas pesantren ini menandai era baru dalam gerakan intelektual dan gerakan sosial di lingkungan NU. Apa yang disebut dengan gerakan sosial dan intelektual baru ini memilih jalur kultural sebagai paradigma gerakannya.

Tuesday, June 10, 2008

Telah Lahir Bidadari Kecilku






بسم الله الرحمن الرحيم

Alhamdulillah telah lahir anak kami yang pertama dengan selamat pada Rabu, 21 Mei 2008/15 Jumadil Ula 1429 H jam 05:50 WIB
نايفة أرفه نجاة
NAYEVA ARFAHNEJAT (NEIVA)

Mohon doa semoga panjang umur, sehat, sejahtera, menjadi anak shalihah, dan selalu diberkati Allah

Kami yang berbahagia
Ahmad Fawaid & Ulya Fikriyati

Ikut berbahagia
Keluarga A. Sjadzili Hasan &
Keluarga Fathur Rohman

Pesan Toleran Al-Qur'an



Menegaskan bahwa teks agama berperan signifikan dalam membentuk corak keberagamaan penganutnya merupakan suatu hal yang niscaya. Dalam konteks Islam, Al-Quran menjadi teks fundamental yang menempati ruang istemewa di kalangan pemeluknya. Sayangnya, pengistemewaan itu kerap diwujudkan dalam bentuk “persembahan simbolik” kepada Tuhan dengan pahala sebagai pemuasnya, atau bahkan dijadikan sebagai media yang dipertontonkan di hadapan khalayak dalam setiap ritual keagamaan. Al-Qur’an hanya ditampilkan dan diperkenalkan sisi keindahan dan keajaibannya, sementara kandungan maknanya nyaris dilupakan dan terlupakan. Al-Qur’an tak ubahnya benda antik yang terus diabadikan dalam museum dan kemudian ditempatkan dalam ruang hampa. Ia menjadi teks yang terlepas dari konteks sejarahnya.

Tuesday, February 05, 2008

Menjadi Santri (3)

Jum’at Pagi, Ziarah ke Makam Pengasuh

Memang bukan kewajiban. Tapi begitulah tradisi yang menjadi rutinitas para santri setiap jum’at pagi. Usai Shubuh di hari Jum’at, jadual mengaji Al-Qur’an ke guru masing-masing diliburkan. Sebagai gantinya, sebagian besar santri melakukan ziarah ke makam pengasuh. Iring-iringan santri memadati dua lokasi makam pengasuh (kini tiga lokasi). Riuh bacaan surah Yasin, ditambah tahlil, bahkan juga ayat-ayat yang terangkum dalam surah munjiyat, dibacaKan para penziarah yang notabene para santri. Mereka larut dalam syahdu, menyenandungkan tawassul dan doa, sembari terobsesi dengan perjuangan pengasuh yang telah mendahuluinya.

Wednesday, January 16, 2008

Menjadi Santri (2)

Mandiri dalam Semangat Kebersamaan

Syukuran dan selametan. Itu ritual pertama untuk mengantarkan seseorang menjadi santri. Begitu juga aku. Karena di rumahku ada langgar tempat aku dan kawan-kawan mengaji, maka aku tidak perlu izin perpisahan dengan nenekku yang menjadi sesepuh di langgar itu. Tidak seperti kawan-kawanku yang juga mengaji bersama di langgar itu. Mereka minta restu begitu hendak melanjutkan studi dan menjadi santri. Begitu restu telah diberikan, slametan ala kadarnya dilakukan sebelum berangkat menjadi santri.

Dalam Sebuah Sidang Akademis…..

Banyak kawan beranggapan bahwa sidang akademis merupakan forum untuk menjatuhkan. Oleh karena itu, banyak kawan selalu mengingatkan, “Hati-hati, tidak semua penguji punya i’tikad baik. Karena kerap kali sidang menjadi ajang balas dendam pengalaman masa lalunya.”

Saya termasuk orang yang tidak meyakini asumsi dan tuduhan banyak kawan tersebut. Tapi biarkan kawan-kawan saya berkeyakinan semacam itu, karena mungkin saja dia tahu betul gelagat penguji atau pernah mengalami, atau bahkan sebagian orang yang bertugas menguji keceplosan mengakuinya. Bagi saya, sidang akademis, atau juga disebut munaqasyah, merupakan forum yang memungkinkan untuk menimba pengetahuan dengan mempertimbangkan masukan-masukan sidang penguji. Dengan keyakinan semacam itu, tentu kita bisa terbuka menerima kritik, yang kritik itu tidak lain adalah masukan itu sendiri.

Tapi diam-diam saya mengafirmasi grundelan banyak kawan tersebut. Lantaran suatu waktu saya menghadiri promosi doktor seorang kawan. Promosi ini menarik bukan karena tema yang dibahasnya. Bukan karena kawan yang sedang mempromosikan gagasannya. Yang menarik adalah ‘pertarungan’ diam-diam di kalangan penguji di satu pihak, dan pertarungan penguji dengan promovendus di pihak lain. Saya terpaksa menggunakan istilah ‘pertarungan’ ini lantaran fakta yang terang benderang di hadapan saya.

Kisahnya begini. Usai promovendus menyampaikan paparan singkat penelitiannya, ketua sidang menyampaikan pernyataan lantaran ada salah seorang penguji yang menuliskan bacaan kritisnya terhadap hasil penelitian itu. “Hadirin sekalian, tim punguji tidak berhak menunda kelulusan siapa pun sepanjang bisa dipertanggungjawabkan. Kelulusan tidak bisa ditunda hanya lantaran perbedaan perspektif antara penguji dan penulis.” Kurang lebih begitu statemen singkat ketua sidang sebelum mempersilahkan penguji menyampaikan catatannya. Catatan tertulis itu pun disampaikan oleh penguji pertama, yang isi kurang lebih begini, “Penelitian tersebut tidak ilmiah lantaran penulisnya tidak imbang dalam mengutip sumber. “Hanya yang sesuai dengan pendapatnya yang dikutip, sementara yang tidak mendukung penelitiannya diabaikan.”

Dalam kesempatan lain, dalam sebuah sidang akademis, suasana serupa juga terjadi. Penguji dengan semangatnya meragukan akurasi hasil penelitian lantaran ada asumsi yang tidak disukainya dalam kesimpulan kajian sang mahasiswa. Tak ada ruang jawab dalam forum itu. Yang ada hanyalah POKOKNYA. “Anda tidak fair dan tidak imbang. Anda telah menuduh orang, dan banyak perkataan lain.” Saya melihat, memang kajiannya rapuh.Tapi tudingan bahwa tidak ilmiah, tidak imbang, dan ungkapan POKOKNYA sejatinya tidak muncul dalam sidang akademis. Saya masih berkeyakinan bahwa sidang akademis sejatinya menjadi ruang diskusi untuk saling melengkapi dan berdiskusi secara terbuka. Sayangnya, kata POKOKNYA mengunci ruang diskusi itu. Sidang akademis menjadi sidang gugatan, bukan sidang konfirmasi dan usulan. Ternyata, dalam sidang akademis segala kemungkinan pasti terjadi. Tapi, saya masih percaya, sidang akademis bukan sidang gugatan, tapi sidang konfirmasi dan usulan. Dari situ, ‘kesempurnaan’ hasil kajian relatif mungkin dipenuhi.[]

Tuesday, January 08, 2008

Menjadi Santri (1)

Berangkat Hari Rabu...

Usia 12 tahun merupakan puncak keceriaan bersama kawan-kawan sepermainan. Keceriaan bersama ketika berangkat ke langgar dengan sarung dan peci, hingga keceriaan menikmati purnama dengan bermain seludur usai mengaji dan shalat Isya di langgar. Masa-masa itu menjadi masa transisi untuk meninggalkan itu semua untuk berpindah alam, alam pondok pesantren. Tidak ada lagi waktu menyambut purnama dengan rencana permainan di malam hari. Tidak ada lagi kisah berebut mic untuk adzan, dan semacamnya.