Avi, bila kau telusuri lorong itu, lorong tanpa tanjakan dan kelokan, lorong tanpa batu dan hanya dilapisi pasir, lalu kau jumpainya, sampaikan salamku. Aku sungguh merindukannya. Karena dalam sepi dia selalu temani aku dengan senyum dan ketulusannya. Saat itu, kucoba untuk mengacuhkannya, namun semakin aku mengacuhkannya, detak rinduku semakin tak kuasa kutahan. Di lorong itu, aku duduk berbincang dan berkisah tentang apa saja yang masing-masing kita alami, dan di lorong itu aku sampaikan bahwa kepercayaan saja tidak cukup menjadi bekal kita menjalani hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda. Dalam benakku selalu terpikir bahwa di setiap jengkal jarak, selalu saja ada ruang untuk berkelit menutupi apa yang aku sebut kepercayaan itu. Selalu ada potensi untuk selalu melawan dan melacuri kepercayaan. Avi, aku sungguh tak percaya dengan yang namanya kepercayaan. Apalagi saat ini, era dan zaman ini.
Tampaknya zaman ini tidak lagi mengenal kepercayaan. Kepercayaan hanyalah modal para penipu yang hendak mengelabui pasiennya. Sang penipu senantiasa mempropagandakan pentingnya kepercayaan, sementara pada saat yang sama dialah pengkhianatnya. Bagaimana aku mempercayai kepercayaan itu. Avi, kepercayaan kerap menyakitkan, dan karenanya aku tegaskan padanya bahwa kepercayaan saja tidak cukup.
Avi, ingin kukisahkan padamu, ketika aku dan dia mencari teduh di tengah terik lorong sarat pasir itu, kujumpai sebuah kebun dengan rumput menghijau. Kududuk berdua dengan sembari berhitung rencana tentang suatu masa yang niscaya ku dan dia akan jalani. Saat bersama, gundah tak hadir. Begitu juga gelisah. Dunia milik kita berdua. Tapi Avi, begitu aku menjauh dan dia berdiam di sana, kekhawatiran hadir menghampiri. Bayang-bayang kelam kerap menghantui, betapapun aku dan dia berupaya menepisnya.
Bahkan kini Avi, bayang wajahnya kerap hadir dalam jarak yang tak terperanai. Sudahkah kau sampaikan salam rinduku padanya? Setiap saat, bayangannya hadir, bahkan di saat kecerobohan cemarkan sejarahku. Semakin dia hadir, semakin aku berharap mendekapnya dan mendekapnya dalam cintaku. Namun aku kadang tidak terlalu kuasa mendekap erat bayangannya, karena tenagaku terkuras habis dalam menahan rinduku padanya. Sungguh berat bertahan dalam cinta, karena nista begitu gencar mengaburkannya. Tapi ketulusannya membuatku bergelora untuk terus menepis kesangsiannya, dan kesabarannya membuatku sungguh bersalah padanya. Sebuah perasaan dan ekspresi tulus cintaku padanya dan cintanya padaku.
Avi, sampaikan juga kisahku padanya, tentang keterjeratanku dalam benang kusut kehidupanku sendiri, tentang kelam yang juga jebak aku di dalamnya, dan tentang segalanya. Jelaskan bahwa sejarahku tidak sebening yang dibayangkan, bahkan keruh, sungguh keruh Avi. Avi, tegaskan bahwa aku tidak sebersih yang dia impikan. Sungguh kelam sejarah yang telah aku lalui, tapi apa artinya menyesali apa yang telah terjadi. Bentangkan semua, biarkan dia tahu bahwa kepercayaan itu sungguh tidak berarti, bahkan saat ini, bahkan bagiku sendiri.
Tapi Avi, sampaikan juga padanya bahwa suatu saat kelak, ketika mentari begitu bugar mengawal hari itu, ketika rembulan begitu ceria dan tulus menerangi bumi ini, aku akan menjemputnya. Melewati tepian pantai, menikmati desiran ombak, kan kutemuinya sembari mengingat kembali kisah di lorong tak berbatu dan sarat pasir itu dan perhitungan rencana di sebuah kebun dengan rumput yang menghijau. Avi, Ini bukanlah janji. Melainkan harap yang kunanti menyata, mungkin juga dia. Aku tidak ingin berjanji, dan oleh karenanya kuharap dia tak percaya dengan janji-janji. Janji-janji itu menipu Avi. Sungguh, sampaikan pesan dan salamku ini, bila kau telusuri lorong itu, lorong tanpa tanjakan dan kelokan, lorong tanpa batu, lorong yang hanya dilapisi pasir, dan kau menjumpainya.
Avi, ajaklah dia menepi dan duduk bersama dan bisikkan salamku sekali lagi. “Hanya engkaulah yang dia puja, walau dia pernah mendurhakaimu, namun sesungguhnya engkaulah yang dia nanti, maafkan dia.” Bisikkan Avi, dan kisahkan kepadaku apa jawabnya. Dan sampai jumpa di suat saat ketika kebisingan berganti hening, ketika curiga berganti janji setia. Dan pada saat itulah janji tak lagi penting karena mimpi telah menyata.
Bersamanya kan kulalui lorong, betapapun penuh liku dan terjal. Kusadar banyak jebakan di sana, tapi aku tahu bahwa apapun tantangan yang bakal terjadi, kebersamaan dan keterpaduan tekad akan menjadikan tantangan dan hambatan menjadi begitu sederhana. Sungguh sederhana Avi. Hidup ini tidak serumit yang dibayangkan, tergantung bagaimana kita mempersepsinya.
Avi, sampaikan salamku padanya!
Tepian Semanggi,20 Oktober 2005
No comments:
Post a Comment