Mungkin saja kawanku memahami bahwa bimbang menghampiriku, kalut menyelimuti pikiranku, gundah mendekapku, dan gulana menyergapku. Ketika saat itu kusapa dia sembari bertanya tentang satu dan banyak hal kepadanya. Tentang panas yang menggerahkan rasa, tentang dingin yang membekukan suasana, tentang cinta yang tidak membiaskan makna, dan tentang banyak hal yang tidak mungkin kutuangkan semua. Lalu dia pun menuliskan:
"Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus kauambil, janganlah memilihnya dengan asal saja, tetapi duduklah dan tunggulan sesaat. Tariklah napas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu. Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah, dan pergilah ke mana hati membawamu...”.
Jawaban yang sungguh bijak dan cukup mengena. Jawaban yang dikutip dari petikan Susanna Tamaro dalam novel yang amat menyentuh, Va’ dove ti porta il euore, Pergilah Ke Mana Hati Membawamu, kembali diulang oleh kawanku itu. Bahkan, ia menambahkan potongan hadis Nabi, Istafti Qalbak!! Biarkan hati berbicara!!
Kenapa hati menjadi pemandu, dan bukan akal? Mungkin karena hati sangat jujur mengungkapkan perasaan, bahkan ketika kita bermaksud untuk membohonginya. Bukan kepada akal yang dengan mudah membohongi, bahkan ketika kita bermaksud untuk membentangkan secara jujur.
Hati terlalu bening untuk dinodai, dan akal sangat sarat dengan muatan dan kepentingan. Memang, muatan akal tidak harus berwujud noda. Tapi melulu membiarkan akal memandu alur kehidupan, berarti membiarkan kebeningan dan keheningan memandu labirin kehidupan. Aku tidak emoh dengan akal, toh aku selalu memanfaatkannya. Akal meniscayakan dinamika dan irama, dan adalah wajar bila banyak akal yang hadir, bahkan dalam satu persoalan sekalipun. Dalam keragaman akal ini, kerap kali akal-akal itu bersitegang. Bahkan menumpahkan darah. Akal pun menjadi pembunuh. Ia menjadi raja yang tidak mengayomi, alih-alih menindas.
Tapi tidak dengan hati. Hati meniscayakan keheningan tanpa ritma. Hati selalu memberi jawaban tunggal, bahkan terhadap beragam persoalan sekalipun. Oleh karena selalu memberi jawaban tunggal, hati selalu tidak memberikan pilihan-pilihan, bahkan ketika hati itu harus memilih. Hati pun membunuh, setidaknya membunuh keragaman yang disediakan akal. Mungkin hati sedang sakit. Dan baik akal maupun hati tidak selalu bersahabat dengan kita: sama-sama berpotensi membunuh. “Biarkan dua hal itu berpadu melapisi kekurangannya masing-masing,” batinku.
Memang dua hal itu tidak harus dipilih, sebagaimana ia tidak harus saling ditinggalkan. Meskipun tidak saling melengkapi, dua hal itu saling menopang. Bagaimana mungkin kita menanggalkan akal yang menjadi anugerah teristemewa manusia, sebagaimana tidak mungkin kita meninggalkan hati yang menjadi ‘rumah hening’ kita?
Kuteringat kembali petikan kutipan sang kawan itu, dan diam-diam pikirannku ditarik pada keraguan untuk menuruti ke mana hati membawaku. “Bila hati tak sebening embun”, pikirku, “kemana aku meminta petunjuk?” Hati tidak bening lagi, dan aku pun bersimpuh lesu.
Kawan.....! Kutunggu pesan bijakmu. Sekali lagi, bahkan lebih.
Tepian Pojok Semanggi
15 November 2005
Jika orang dilamun asmara, maka ia akan menjadi penyair, sabda Plato lima abad sebelum masehi
ReplyDeleteTapi, benarkah? Hanya sang pemilik yang sanggup menjawabnya.
"Pengarang telah mati"...:)
DeleteWuih, Blognya bagus. Selamat Mas. Tulisan-tulisannya pun keren. Klop, sudah.
ReplyDeleteTerima kasih apresianya. Melankolis ya..:)
Delete