Sungguh aku sadar bahwa setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Sungguh aku sadar. Yang belum, bahkan tidak, pernah aku bayangkan adalah ketika sebuah pertemanan dan persahabatan harus mengenal adanya halte dan akhir. Sungguh aku tidak pernah membayangkan. Adakah akhir dari sebuah persahabatan? Bagiku, persahabatan seperti kembara. Kita berupaya untuk mengembara ke alamnya sebagaimana dia mengembara ke alamku, tanpa tendensi, tanpa pamrih. Dan bagiku kembara tidak mengenal akhir. Sebagaimana persahabatan.
Namun aku juga sadar bahwa dalam setiap kembara tidak sedikit hambatan dan tantangan. Teringat kisah kembara Musa untuk menyelami bahtera maha luas keagungan-Nya, dan menjadikan Khidir sebagai sahabat kembaranya. “Laqad Laqina min safarina hadza nashaban”: Sungguh kita temui letih dan beratnya kembara ini, tutur Musa pada ajudannya. Bertahan dalam tantangan setiap pengembaraan sama beratnya dengan bertahan merawat tulusnya persahabatan. Lagi-lagi Musa diuji-nyali untuk bersahabat dalam kembara bersama Khidir. “Sungguh Anda tidak bakal kuasa bersabar bersamaku,” terang Khidir seolah ia mengukur nyalinya.
Kesabaran kerap menjadi penghalang utama menyusuri kembara. Percaya diri saja tidaklah cukup sebagai bekal. Percaya diri memang penting menjadi bekal, tapi bukan satu-satunya. Dan kesabaran adalah bekal paling berharga dalam menyikapi setiap halangan dan hambatan yang niscaya terjadi dalam setiap kembara.
Kesabaran bukanlah sikap defensif menyikapi tantangan. Kesabaran adalah kesadaran akan hadirnya resiko dalam setiap kembara, dan begitu resiko itu menimpa kita, kita pun kuasa dan lapang menghadapinya. Kesabaran adalah nyali itu sendiri. Kesabaran adalah nyali untuk bertarung dan nyali untuk memenangkan pertarungan, di samping kesiapan menghadapi kekalahan.
Kesabaran bukanlah membiarkan kalah tanpa ada upaya untuk bertarung. Kesabaran adalah kesiapan menerima hasil pertarungan: menang atau kalah! Bukankah tak ada yang bisa mengelak dari penderitaan atas kekalahan, sebagaimana juga kita tidak mampu mengelak dari bahagia atas keberhasilan? “Tapi lebih baik kalah dalam beberapa pertempuran demi mimpi-mimpimu daripada dikalahkan tanpa pernah tahu untuk apa kau bertempur” (Chelho: 1996). Ibarat poin melakukan ijtihad yang mendapatkan poin dua begitu ‘menang” dan meraih hanya 1 poin ketika “kalah”, maka kalah dalam pertempuran masih lebih bermakna dibandingkan dengan kalah tanpa nyali, kalah tanpa mau bertempur. Kesabaran niscaya kita dekap sebagai modal kembara.
Selain kesiapan menghadapi resiko kekalahan dan kesiapan menunaikan tanggung jawab kemenangan, ancaman “pembajak” yang tiba-tiba mengusik damai dan indahnya kembara pun semestinya diwaspadai. Membiarkan percuma tanpa persiapan dalam mengawal kembara tentu saja konyol. Kesabaran dan ketulusan adalah bekal dalam setiap kembara, pun juga persahabatan. Begitu kesabaran dan ketulusan terbajak dari diri kita, maka kembara tuna makna dan persahabatan tidak lebih dari kemunafikan. Sekali lagi: bertahan dalam tantangan setiap pengembaraan sama beratnya dengan bertahan merawat tulusnya persahabatan.[]
Pojok Semanggi II
24 September 2005
No comments:
Post a Comment