Tuesday, July 26, 2005

Sebuah Malam di Tepi Nil


Malam ini saya memutuskan untuk menikmati malam di tepi Nil. Sepanjang siang, saya bersama seorang kawan—Shiddiq Thabrani—menyusuri lorong Kairo menuju kawasan Al-Azhar. Keinginan untuk menyusuri tumpukan buku di Maktabah Al-Azhar kandas. Pasalnya, gedung berlantai belasan itu sedang direnovasi. ”Perpustakaan baru dibuka untuk publik awal bulan depan”. Saya kecewa karena sasaran utama kedatangan saya di Kairo, salah satunya adalah survey di Perpustakaan kampus terkemuka, Al-Azhar.

Akhirnya saya memutuskan untuk mengarahkan tujuanku ke Maktabah Dar al-Kitab al-Mishriyah, sejenis perpustakaan nasional yang dikelola Souzan Mubarak, istri Hosni Mubarak yang begitu konsen dalam pencerdasan masyarakat Mesir. Bukti perhatiannya, di lantai dasar gedung perpustakaan ini terdapat gedung show room buku-buku yang diterbitkan Souzan Mubarak yang disubsidi negara. Apa yang disebut edisi Mahragan ini memang memancing keinginan banyak orang, tidak terkecuali mahasiswa Indonesia yang secara ekonomi terbatas.

Lupakan show room buku itu, saya dan kawan saya pun menemui resepsionis yang telah menunggu setiap pengunjung. Tampaknya paspor bagi orang asing menjadi syarat masuk gedung itu, dan kawan saya lalai tidak mambawa paspor itu. Debat mulut khas Mesir terjadi, dan tetap saja penjaga melarang kawan saya untuk masuk. Tanpa ditemani sang kawan, saya memasuki gedung berlantai lima itu. Konon, perpustakaan ini luar biasa lengkap, termasuk juga manuskrip-manuskrip. Tapi saya tidak mendapatkan itu. Saya tidak mengerti mekanisme pelayanannya. Setelah saya membongkar rak ”diyanat” sebagaimana diarahkan penjaga ketika saya bertanya rak khusus studi ilmu Al-Qur’an, saya pun keluar ruangan dengan perasaan yang tak sepenuhnya bahagia. Yang saya bayangkan tidak saya temukan di perpustakaan tersebut.

Di luar, sejenak saya menikmati panorama Nil yang berada di seberang lokasi perpustakaan. Saya mengarahkan kamera untuk merekam gedung perpustakaan dari tepi Nil itu. Saya memberhentikan taksi dan saya pun pulang ke kawasan Nasr City. Di flat tempat saya menginap, terjadi kesepakatan untuk kembali menikmati malam di tepi Nil. Sebuah usulan menarik, utamanya bagi saya yang hendak mengamati suasana eksotis Nil di malam hari.

Menyewa mobil, saya dan tiga orang teman (Ramli Syarqawi, Dararul A’la, dan Shiddiq Thabrani) melintasi malam menuju Nil. Tepat di depan Capocino Cafee, mobil diparkir dan kita pun memasuki cafee. Kita bersepakat untuk memilih tempat di bagian pinggir cafee yang berbatasan dengan tepi Nil. Dengan tampilan khas anak muda Asia yang berbeda dengan tampilan nicis mayoritas orang Mesir, kita duduk sembari membuka daftar menu yang disuguhkan pelayan. Kami bersepakat tidak hendak dinner, melainkan sekadar minum dan menghisap rokok.

”Tempat ini hanya khusus dinner, tidak untuk minum,” ujar pelayan dengan bahasa amiyah dan nada tinggi serta tak bersahabat. Kami merasa tersinggung seolah kami tidak mampu untuk membayar. ”Kami akan bayar sesuai tarip, tapi kami tidak hendak makan saat ini,” ujar salah seorang di antara kita. Debat mulut tak kunjung berhenti, dan dengan kecewa kami keluar ruangan itu. ”Beginilah pelayanan publik yang biasa kita jumpai di Kairo,” gerutu kawan saya sembari menjelaskan sejumlah pengalaman lainnya. Memang, untuk urusan pelayan publik, Kairo terhitung tidak beres. Angkutan umum salah satu contohnya. ”Di Mesir, kendaran ndak ada rem-nya,” celetuk kawan dengan logat Madura yang kental. Memang, mobil melaju dengan kencangnya, dan pejalan kaki harus waspada. Di Mesir tak mengenal penghormatan pada pejalan kaki!!!

Akhirnya, kami mencari tempat lain di lokasi Capocino Cafee itu. Kami pilih lokasi di teras bawah yang juga bertepian dengan sungai Nil. Kami memesan kopi, ice lemon, dan Ummu ’Ali (jenis makanan manis). Saya menghabiskan malam hingga jam 02:00. Akhirnya kami pulang dan istirahat.

Nil memang indah, dan wajar jika masyarakat Mesir begitu bangga dengan keindahannya. Apalagi di musim panas seperti saat ini, menghabiskan malam di tepi sungai Nil tampak begitu menarik. Pasangan muda hingga pasangan tua sekaligus anak-anak mereka pun turut menikmati eksotisme Nil. Nil menjadi perjumpaan semua kelas, walaupun begitu tiba di Nil mereka harus memilih kelas-kelas mereka. Sosialisme tidak lagi bersisa di sepanjang Nil, bahkan di seantero Mesir. Di situlah pemilik kapital menginvestasikan kapital-kapital mereka. Dan masyarakat Mesir menikmati penjajahan ini!!!!

Nasr City, Cairo
16:12

No comments:

Post a Comment