Kau bukan Kalin. Kalin yang hidup bersama bibinya setelah kepergian dua orang tuanya dan berprofesi sebagai penjual karcis Busway itu akhirnya berkenalan dengan Lando—sang fotografer yang menderita penyakit kronis. Perkenalan yang kemudian mengantarkan Kalin menjadi bintang iklan ternama. Perkenalan yang membuat Kalin pun terpesona pada Lando, dan akhirnya tak berlanjut, walau kemudian diketahui tersisa perasaan yang nyaris sama di antara keduanya. Namun….
Film UNGU VIOLET yang berkisah tentang Kalin (diperankan Dian Sastro) pun menyisakan kesan, yang memberi inspirasi pada seseorang untuk menuangkan kenyataan dan perasaannya. “Saya nyaris seperti Kalin, memang beda, tapi ada kesamaannya,” ujarnya. “Tapi Kamu bukanlah Kalin…!” batinku.
Mungkin sebuah film memang selalu menampilkan potret dari realitas sesungguhnya yang terjadi dalam keseharian. Film sebagai sebuah karya seni memang tidak hadir dalam ruang dan waktu yang hampa. Film dalam prosesnya lahir dari realitas yang membentuk pembuatnya, pembuat naskahnya, pun juga sutradaranya. Oleh karena film selalu menampilkan potret keseharian, walau pun tidak harus realitas yang sesungguhnya, maka orang yang benar-benar terlibat dalam keseharian kerap mencari sisi kesamaan dengan pengalaman yang dialaminya. Film menjadi referensi untuk membaca dirinya, baik menyesuaikan atau malah membantahnya. Persis denganku yang kerap mengacukan suasana batin dengan syair-syair lagu. Begitu mudah aku larut dalam kesedihan hanya karena lagu tertentu. Begitu pula aku larut dalam senyum bahagia hanya karena lagu yang lain. Dan pilihan orang untuk mendengarkan lagu kerap kali bukan karena kebetulan, tapi kesengajaan. Kesengajaan untuk mencari sisi-sisi dirinya dalam pesan lirik-lirik lagu.
Selain film dan lirik lagu, buku bacaan juga mencerminkan psikologi pembacanya. Kita begitu mudah menilai latar belakang akademis seseorang dari bacaanya. Mungkin orang akan dengan mudah menilai aku sebagai orang yang berlatar belakang Tafsir-Hadis karena buku-buku yang terpampang di rak bukuku didominasi dengan bacaan dalam disiplin tersebut.
Namun tentu tidak selalu begitu. Ternyata ada buku-buku lain, entah menopang atau bahkan tidak ada kaitannya sama sekali, pun terpampang di rak buku seseorang dan dibaca oleh pemiliknya. Dan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan latar akademisnya. Aku yang berlatar belakang Tafsir-Hadis pun terkadang mengoleksi sejumlah buku yang sama sekali tidak terkait dengan disiplin akademisku. Begitu pula kawanku yang berlatar belakang akademis Filsafat, Pendidikan, Hukum, dan lain-lain. Kawanku yang berlatar belakang filsafat tidak melulu mengoleksi dan membaca buku-buku filasafat. Pun juga kawanku yang berlatar belakang Ilmu Hukum dan Ilmu Pendidikan. Bisa jadi ada pergeseran “selera” dalam alam intelektualitasnya; atau juga karena sekadar mengoleksi buku tanpa niatan apapun yang terkait dengan kapasitas dirinya; mungkin juga karena terpikat dengan kekasihnya yang sedang menekuni disiplin tertentu, dan kita pun membaca bahan bacaan sebagaimana dibaca kekasih kita.
Ada banyak hal yang membingkai kedirian seseorang, baik dalam memilih dan mengoleksi buku, mendengarkan lagu, serta melakukan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Dan diri kita pun tidak lagi tunggal. Diri kita adalah ramuan dari beragam hal dan kecenderungan. Adalah wajar jika sikap yang terpantul pun tidak juga tunggal, bahkan tidak jarang kontradiktif. Benci tapi rindu pun bisa saja terjadi pada saat yang sama.
Sebagai manusia, kita memang tidak bisa dengan mudah disimplifikasi sedemikian rupa. Manusia terlalu kompleks untuk didefinisikan. Begitu kompleksnya, bahkan kita pun kerap dan selalu gagal menilai diri kita sendiri, diri kita yang otentik. Jika demikian, bagaiamana mungkin mengenali yang lainnya sementara mengenali dirinya sendiri tidak kuasa. Padahal, “Siapa yang mengenali dirinya niscaya mengenali Tuhannya”.
Pojok Semanggi
29 Agustus 2005
07: 01
Loved reading this thank yyou
ReplyDelete