Sunday, December 11, 2016

Hassan Hanafi dan Rekonstruksi Ilmu-Ilmu Alquran

Penulis           : Hassan Hanafi
Judul              : Ulum al -Qur’an Min al-Mah mul ila al-Hamil  (Jilid I dari Serial Min al -Naql ilâ                           al - Aql)
Nama Penerbit: Maktabah Madbuli 
Edisi               : 2013
Jumlah Hlm  : 396

Ulama menempatkan ilmu Alquran dan tafsir sebagai “ilmu yang belum matang dan tidak terbakar” (ilmun lâ nadlaja wa lâ ikhtaraqa), sehingga dengan demikian memungkinkan dinamisasi dalam pengembangan keilmuan ini. Dalam kenyataannya, banyak para ulama yang mengambil jalur pengembangan keilmuan Alquran dan tafsir, meskipun spesialisasi keilmuannya di luar kajian Alquran dan tafsir. Sebut saja misalnya Syahrur yang secara akademik berlatar belakang insinyur, namun dalam perjalanan karirnya ia mencoba memberikan alternatif model baru dalam kajian Alquran. Selain itu bisa disebut juga adalah Nashr Hamid Abu Zayd dan Hassan Hanafi.
Baik Abu Zayd ataupun Hassan Hanafi memiliki latar belakang keilmuan filsafat. Yang pertama lebih terfokus pada filsafat Bahasa dalam susastra Arab sementara yang kedua aspek filsafat yang di-insert dalam kajian keislaman, terutama ushul fiqih. Yang mempertemukan dua tokoh ini adalah pada aspek memasukkan filsafat dalam kajian Islam secara umum. Sehingga sangat beralasan bila kemudian dua tokoh ini menjadikan Alquran sebaga lokus utama kajiannya, lantaran Alquran adalah teks sentral dalam Islam.

Melalui buku yang ditulis sebagai rangkaian proyek Dari Naql menuju Aql ini, Hassan Hanafi mencoba merekonstruksi keilmuan normatif (al-‘ulum al-naqliyyah) yang lima, yaitu Ilmu-ilmu Alquran, Ilmu Hadits, ilmu tafsir, ilmu sejarah, dan ilmu fiqh. Kelima disiplin keilmuan Islam ini kurang mendapatkan tempat yang layak di kalangan pemikir klasik dan modern. Pertanyaan yang diajukan penulis adalah, kenapa disiplin-disiplin keilmuan tersebut masih berkutat pada ranahnya yang “sangat normatif” (naqliyyah khalishah) dan belum beranjak untuk bisa berinteraksi dengan disiplin keilmuan lain yang memadukan antara disiplin keilmuan normatif – logis (naqliyyah-aqliyyah) seperti ilmu kalam, tasawuf, dan ushul fiqih? Kenapa disiplin-disiplin tersebut juga belum bertransformasi pada disiplin keilmuan humaniora? Bukanlah ilmu Alquran adalah ilmu teks, ilmu hadits adalah ilmu transmisi, ilmu sirah adalah ilmu sejarah, ilmu tafsir adalah ilmu hermeneutika, dan ilmu fiqih pada dasarnya juga ilmu hukum? Dan kenapa ilmu-ilmu keislaman klasik itu mandeg pada lempengan sejarah tertentu, bukan terus berubah seiring perubahan ruang dan waktu. Termasuk dalam disiplin keilmuan klasik itu adalah ulum Alquran.
Beberapa pertanyaan itulah yang hendak dijawab dalam serial pertama proyek min al-naql ila al-aql. Buku ini hendak menarik ‘ulum Alquran dari apa yang ia sebut sebagai mahmul—sesuatu yang konstan, sesuatu kudus, min al-tsawabit—menjadi hamil, sesuatu yang niscaya berubah, profan, min al-mutahawwilat.
Bagi Hanafi, mereka yang sibuk membahas asal-usul Alquran bahwa Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui jibril, itu sah-sah saja. Atau juga sibuk membahas seputar wahyu, bahasa wahyu, uslub wahyu, balaghah wahyu, dll, itu juga sah-sah saja. Kategori itu yang dalam buku yang bertebal 396 halaman itu disebut al-mahmul. Namun harus diingat bahwa perbincangan seputar wahyu membutuhkan dua hal penting: pertama, kalam Allah, makna, dan kedua, kepada lafadz dan lingkungan di mana lafadz itu diturunkan yaitu Bahasa Arab dan lingkungan orang-orang Arab. Sayangnya, kata Hanafi, kebanyakan para pengkaji ilmu Alquran sibuk pada ranah al-mahmul, tentang ruh, tentang makna, dll, bukan tentang al-hamil, jasad dan lingkungan di mana lafadz itu diturunkan. Bagaimana kita bisa mendefenisikan ruh tanpa jasad, mendefinisikan makna tanpa lafadz, dan bagaimana mengenali wahyu tanpa pengenalan mengenai lingkungan di mana ia diturunkan.
Dalam konteks ini, ada dua persoalan yang menjadi fokus pembahasan dalam buku tersebut, yaitu asbab al-nuzul dan nasikh-mansukh. Baik kajian tentang asbab al-nuzul maupun nasikh-mansukh selalu saja berkaitan dengan relasi antara wahyu dan realitas, relasi antara firman Allah dan perkataan manusia. Wahyu selalu berhubungan ruang (al-makan) dan waktu (al-zaman). Dalam konteks ini, wahyu adalah fenomena historis (dzahirah tarikhiyyah) yang senantiasa berhungan dengan ruang, waktu, masyarakat, dan manusia. Wahyu bukanlah burung yang terbang di langit. Wahyu itu harus mendarat di bumi alias membumi.
Oleh karena itu, dalam mengkaji Alquran, mengidentifikasi prioritas persoalan menjadi awal proses penafsiran Alquran. Persoalan apa yang paling prioritas untuk diselesaikan, awlawiyyah al-su’al ‘ala al-jawab. Misalnya, tentang kemiskinan, korupsi, penjajahan zionis ke Palestina, dll. Inilah yang seharusnya menjadi prioritas pembahasan dan penyelesaiannya. Buku ini mengajar kita untuk melihat kembali beberapa kajian ilmu Alquran yang lebih banyak membincang “soal atas”, bukan mencari solusi bagi persoalan “di bawah”. Padahal seharusnya, ilmu Alquran itu menjadi alat untuk menuntaskan persoalan yang ada di hadapan mata kita. Ilmu-ilmu Alquran seharusnya menjelaskan bagiamana operasionalisasi wahyu dalam sejarah, dalam ruang, dalam waktu, dan di lingkungan sosial masyarakat.[]

1 comment:

  1. Mantap, dengan degradasi moralitas yang ada di Indonesia, sudah seharusnya dilakukan suatu rekonstruksi pola pikir dalam keislaman

    ReplyDelete