Penulis :
Hassan Hanafi
Judul :
Ulum al -Qur’an Min al-Mah mul ila al-Hamil (Jilid I dari Serial Min al -Naql ilâ al
- Aql)
Nama
Penerbit: Maktabah Madbuli
Edisi :
2013
Jumlah
Hlm : 396
Ulama menempatkan ilmu Alquran dan tafsir
sebagai “ilmu yang belum
matang dan tidak terbakar” (ilmun lâ nadlaja wa lâ ikhtaraqa), sehingga
dengan
demikian memungkinkan dinamisasi dalam pengembangan keilmuan ini. Dalam
kenyataannya, banyak para ulama yang mengambil jalur pengembangan
keilmuan Alquran dan tafsir, meskipun spesialisasi keilmuannya
di luar kajian Alquran dan tafsir. Sebut saja misalnya Syahrur yang secara
akademik berlatar belakang insinyur, namun dalam perjalanan karirnya ia
mencoba memberikan alternatif model baru dalam kajian Alquran. Selain itu bisa
disebut juga adalah Nashr Hamid Abu Zayd dan Hassan Hanafi.
Baik Abu Zayd ataupun Hassan Hanafi
memiliki latar belakang keilmuan filsafat. Yang pertama
lebih terfokus pada filsafat Bahasa dalam susastra
Arab sementara yang kedua aspek filsafat yang di-insert dalam kajian
keislaman,
terutama ushul fiqih. Yang mempertemukan dua tokoh ini adalah pada aspek
memasukkan filsafat dalam kajian Islam secara umum. Sehingga sangat
beralasan bila kemudian dua tokoh ini menjadikan Alquran sebaga lokus utama
kajiannya, lantaran Alquran adalah teks sentral dalam Islam.
Melalui buku yang ditulis sebagai rangkaian proyek Dari Naql menuju Aql ini, Hassan Hanafi mencoba merekonstruksi keilmuan normatif (al-‘ulum al-naqliyyah) yang lima, yaitu Ilmu-ilmu Alquran, Ilmu Hadits, ilmu tafsir, ilmu sejarah, dan ilmu fiqh. Kelima disiplin keilmuan Islam ini kurang mendapatkan tempat yang layak di kalangan pemikir klasik dan modern. Pertanyaan yang diajukan penulis adalah, kenapa disiplin-disiplin keilmuan tersebut masih berkutat pada ranahnya yang “sangat normatif” (naqliyyah khalishah) dan belum beranjak untuk bisa berinteraksi dengan disiplin keilmuan lain yang memadukan antara disiplin keilmuan normatif – logis (naqliyyah-aqliyyah) seperti ilmu kalam, tasawuf, dan ushul fiqih? Kenapa disiplin-disiplin tersebut juga belum bertransformasi pada disiplin keilmuan humaniora? Bukanlah ilmu Alquran adalah ilmu teks, ilmu hadits adalah ilmu transmisi, ilmu sirah adalah ilmu sejarah, ilmu tafsir adalah ilmu hermeneutika, dan ilmu fiqih pada dasarnya juga ilmu hukum? Dan kenapa ilmu-ilmu keislaman klasik itu mandeg pada lempengan sejarah tertentu, bukan terus berubah seiring perubahan ruang dan waktu. Termasuk dalam disiplin keilmuan klasik itu adalah ulum Alquran.
Beberapa pertanyaan itulah yang hendak
dijawab dalam serial pertama proyek min
al-naql ila al-aql. Buku ini hendak menarik ‘ulum Alquran
dari apa
yang ia sebut sebagai mahmul—sesuatu
yang konstan, sesuatu kudus, min al-tsawabit—menjadi hamil, sesuatu
yang niscaya berubah, profan, min al-mutahawwilat.
Bagi Hanafi, mereka yang sibuk membahas
asal-usul Alquran bahwa Alquran diturunkan kepada Nabi
Muhammad melalui jibril, itu sah-sah saja. Atau juga
sibuk membahas seputar wahyu, bahasa wahyu, uslub wahyu, balaghah
wahyu, dll, itu juga sah-sah saja. Kategori itu yang dalam buku yang bertebal
396 halaman itu disebut al-mahmul. Namun
harus diingat bahwa perbincangan seputar wahyu
membutuhkan dua hal penting: pertama, kalam
Allah,
makna, dan kedua, kepada lafadz dan lingkungan di
mana lafadz itu diturunkan
yaitu Bahasa Arab dan lingkungan orang-orang Arab. Sayangnya, kata Hanafi,
kebanyakan para pengkaji ilmu Alquran sibuk pada ranah al-mahmul, tentang
ruh, tentang makna, dll, bukan tentang al-hamil, jasad dan
lingkungan
di mana lafadz itu diturunkan. Bagaimana kita bisa mendefenisikan
ruh
tanpa jasad, mendefinisikan makna tanpa lafadz, dan bagaimana mengenali
wahyu
tanpa pengenalan mengenai lingkungan di mana ia diturunkan.
Dalam konteks ini, ada dua persoalan yang
menjadi fokus pembahasan dalam buku tersebut, yaitu asbab
al-nuzul dan nasikh-mansukh. Baik
kajian tentang
asbab
al-nuzul maupun nasikh-mansukh selalu saja
berkaitan dengan relasi antara wahyu dan realitas, relasi antara firman
Allah dan perkataan manusia. Wahyu selalu berhubungan
ruang (al-makan) dan waktu
(al-zaman). Dalam konteks ini, wahyu adalah fenomena historis (dzahirah
tarikhiyyah) yang senantiasa berhungan dengan
ruang, waktu, masyarakat, dan manusia. Wahyu bukanlah burung yang terbang
di langit. Wahyu itu harus mendarat di bumi alias membumi.
Oleh karena itu, dalam mengkaji Alquran,
mengidentifikasi prioritas persoalan
menjadi awal proses penafsiran Alquran. Persoalan apa yang paling prioritas
untuk diselesaikan, awlawiyyah al-su’al ‘ala al-jawab. Misalnya,
tentang kemiskinan,
korupsi, penjajahan zionis ke Palestina, dll. Inilah yang seharusnya
menjadi prioritas pembahasan dan penyelesaiannya. Buku ini
mengajar kita untuk melihat kembali beberapa kajian ilmu Alquran yang lebih
banyak membincang “soal atas”, bukan mencari solusi bagi persoalan
“di bawah”. Padahal seharusnya, ilmu Alquran itu menjadi alat untuk menuntaskan
persoalan yang ada di hadapan mata kita. Ilmu-ilmu Alquran seharusnya
menjelaskan bagiamana operasionalisasi wahyu dalam sejarah, dalam
ruang, dalam waktu, dan di lingkungan sosial masyarakat.[]
Mantap, dengan degradasi moralitas yang ada di Indonesia, sudah seharusnya dilakukan suatu rekonstruksi pola pikir dalam keislaman
ReplyDelete