Saturday, December 10, 2016

Ketika Alquran Dinomorduakan

Penulis : Jamal Al-Banna
Judul : Al-‘Awdah ila al -Qur’an
Nama Penerbit : Kairo: Dar al-Syuruq
Edisi : 2008
Jumlah Hlm : 95

Ketika Alquran Dinomorduakan 

Sebagai wahyu verbatim Tuhan, Alquran hadir tidak saja sebagai bundelan kertas tanpa pesan yang menyertainya. Sungguhpun demikian, bagi sebagian kalangan, Alquran lebih menarik untuk ditelusuri keunikan narasinya atau untuk didendangkan irama-iramanya, bahkan dijadikan aksesoris interior rumahnya. Sebagai kitab petunjuk, memperlakukan Alquran dengan semata-mata takjub pada pesona narasinya dan pada irama yang didendangkannya, belumlah memadai menguak dan mengungkap pesan praktis yang dikandungnya. Kekaguman semacam itu hanyalah satu hal dari pengakuan penganutnya atas sakralitas Alquran. Namun, berhenti pada semata-mata kagum malah menjadikan teks yang sakral itu tertabiri dalam keunikan dan kesakralannya sendiri. Adonis –seorang pemikir dan sastrawan asal Syiria—dengan nyinyir menyatakan bahwa di kalangan khalayak luas, Alquran sebenarnya tidak “dibaca”. Ia diposisikan tidak lebih sebagai teks naratif yang diyakini atau irama yang didendangkan. Tidakkah kenyataan ini, kata Adonis, menunjukkan bahwa Alquran, Teks yang sakral ini, tertutupi oleh kesakralannya sendiri, inna al-Qur’an, hadza al-nashshu dzatihi, mahjubun bi hadza al-taqdis dzatihi? (1993: 40). 


Nada yang sama juga disampaikan oleh Gamal al-Banna. Penulis prolifik dan aktivis buruh ini, melalui bukunya yang berjudul al-‘Awdah ila al-Qur’an menegaskan bahwa Alquran tidak diragukan lagi sebagai kitab suci yang diagungkan oleh pemeluknya. Sayangnya, keyakinan yang sampai batas penyucian ini tidak berdampak pada perilaku praktisnya. Tidak berdampak dalam kehidupan sehari-harinya, baik secara sosial, ekonomi, dan politik. “Kalimat-kalimat Alquran lepas dari isi dan kandungannya. Dan Alquran nyaris menjadi semacam mushaf, lembaran-lembaran yang hanya dijadikan penguat sumpah,” tegas Banna. 

Tentu saja, kritik tersebut beralasan. Akankah kitab suci itu terus di(ter)tabiri dalam kesucian, dalam kesakralan, walau harus mengorbankan kekayaan pesan yang dikandungnya? Ataukah pengistemewaan itu hanya diwujudkan dalam bentuk “persembahan simbolik” kepada Tuhan dengan pahala sebagai pemuasnya, atau bahkan dijadikan sebagai media yang diparadekan dalam setiap ritual keagamaan? Atau mungkin Alquran kita biarkan untuk ditampilkan dan diperkenalkan sisi keindahan dan keajaibannya semata, sementara kandungan maknanya dibiarkan lepas? Tentu saja tidak. Karena, jika demikian, Alquran tak ubahnya benda antik yang terus diabadikan dalam museum dan kemudian ditempatkan dalam ruang hampa dan tanpa makna. Ia menjadi teks yang terlepas dari konteks sejarahnya. Dalam Bahasa al-Banna, umat Islam memperlakukan Alquran sebagai ‘pemuas ibadahnya” (qira’ah ta’abbudiyah) semata, bukan Alquran sebagai pemuas dahaga intelektualnya (qira’ah istinbath). 

Tentu saja, Gamal Banna tidak hendak memisahkan dua model perlakuan umat Islam terhadap Alquran. Menurut Banna, pembacaan yang sadar terhadap Alquran tidak mungkin memisahkan keduanya. Kedua model pembacaan itu saling melengkapi. Dengan pembacaan ta’abbudiyah, kita meyakini bahwa Alquran adalah firman Allah yang bernilai ibadah bagi pembacanya. Dengan pembacaan istinbathy kita bisa meningkatkan kemampuan nalar kita, kemamampuan kita dalam mendeduksi pemahaman dari Alquran (h. 22). 

Dominasi model pembacaan ta’abbudy terhadap model pembacaan isthinbath ini berdampak pada peminggiran posisi Alquran. Ketika kita hendak menerangkan ilmu kalam, kita kerap berdalil dengan logika Yunani untuk menguatkan argumen teologis kebenaran Islam, bukan dari sumber Alquran secara langsung. Begitu juga ketika kita hendak merumuskan hukum, sumber terdekat yang digunakan adalah keragaman madzhab yang berujung pada pembenaran satu madzhab dan penghakiman pada madzhab yang lain. Dalam situasi semacam inilah proses “peminggiran Alquran terus dimapankan. Alquran berubah menjadi cabang setelah sebelumnya berperan sebagai pangkal; ia menjadi pengikut setelah sebelumnya diikuti. Bukankah bila ada persoalan kita diharuskan untuk kembali pada Allah dan rasul-Nya sebagaimana diterangkan dalam surah al-Nisa’: 59? Mereka, kata Banna, membalik logika legislasi hukum dari seharusnya merujuk pada Alquran dan Sunnah Nabi menjadi merujuk kepada kelompok madzhabnya. 

Menurut Banna, setidaknya ada tiga sebab yang menjadikan Alquran terpinggirkan: (h. 37) pertama, doktrin penghapusan Alquran (nasakh). Problem nasakh menjadi faktor pertama yang menjadikan Alquran dinomorduakan. Betapa tidak, perdebatan seputar nasakh kerap dikuatkan oleh hadits Nabi, bukan oleh Alquran itu sendiri. Selain itu, nasakh malah menyempitkan ruang luas legislasi hukum Alquran menjadi hanya satu alternatif saja. Nasakh menjadikan keragaman hukum dalam Alquran menjadi tunggal. 

Kedua, kepentingan terselubung dalam penafsiran Alquran. Problem lainnya dari proses ‘peminggiran’ Alquran adalah lantaran tafsir. Tafsir yang sesungguhnya tidak lebih perspektif tertentu dari mufassir, namun dalam perkembangannya tafsir tersebut menggantikan posisi Alquran. Tafsir tersebut dianggap Alquran sehingga tafsir tersebut harus benar dan tidak mungkin salah. Dalam situasi semacam ini, Alquran disetarakan dengan tafsir, bahkan tafsir tersebut menggantikan posisi Alquran. 

Ketiga, dominasi Sunnah atas Alquran. Dalam banyak hal, sebagaimana ditengarai Banna, Sunnah lebih mendominasi pemikiran para ulama dibandingkan Alquran. Sunnah kerap kali dijadikan “pemutus hukum” terhadap Alquran, misalnya dalam konteks Sunnah bisa menghapus hukum yang ada di dalam Alquran. Dalam kondisi semacam ini, Alquran tergusur atas nama Sunnah. 

Ketiga aspek itulah yang menurut Jamal al-Banna dianggap sebagai faktor utama ‘peminggiran Alquran’ sehingga perlu ada ‘terapi’ untuk mengembalikan perhatian kita kepada Alquran. Melalui buku yang berjudul al-Awdah ila al-Qur’an, Banna mengajak kita untuk segera kembali kepada Alquran sebelum terlambat. Langkah pertama untuk kembali kepada Alquran adalah berupaya semaksimal mungkin untuk memahami kandungan Alquran. Untuk memahami Alquran dengan tepat, perlu memaksimalkan peran akal, akal yang mampu menerobas nalar abad pertengahan. Alquran dengan jelas mengajak pembacanya untuk menggunakan akal dengan maksimal sekaligus pada saat yang sama mengecam pembaca yang memuja berlebihan nenek moyangnya. Akal menjadi media pertama untuk mendekati dan memahami Alquran dengan pemahaman yang akurat.[]

No comments:

Post a Comment