Monday, May 13, 2019

Menyegarkan Kembali Spirit Intelektualisme Islam


Melimpahnya khazanah tradisi intelektual masa lampau yang bisa kita akses saat ini menjadi bukti nyata bahwa geliat intelektualisme Islam masa lampau sangat dinamis. Tidak saja terbatas pada satu disiplin keilmuan tertentu, para intelektual Muslim awal menyuguhkan karya multidisipliner. Seolah tidak ada batas keilmuan satu dengan keilmuan lainnya. Juga seolah tidak ada spesialisasi keilmuan tertentu. Karena pada ulama di masa lampau menjadi sosok multitalenta dengan keragaman disiplin keilmuan yang ditekuninya. Bisa jadi itu terjadi karena tidak adanya klasifikasi keilmuan dan kewenangan siapa yang pantas mengenyam disiplin keilmuan tertentu. Sehingga mereka tanpa batas berjihad menggali khazanah terpendam keilmuan Islam untuk kemudian disuguhkannya ke khalayak ramai.

Kegigihan para pemburu pengetahuan itu telah ditunjukkan oleh para sahabat Nabi, para tabi‘in, dan penerusnya dalam berjuang mencari hadis (al-rilah fī alab al-adīth). Ini misalnya bagaimana Jābir ibn ‘Abdullāh rela mengarungi perjalanan satu bulan guna menemui gurunya yang bernama ‘Abdullāh ibn Unays hanya untuk mendapatkan satu hadis. Begitu juga Sa‘id ibn Jubair, seorang tabi‘in yang wafat tahun 95 H, suatu ketika berjalan malam di lorong-lorong Mekah bersama ‘Abdullāh ibn ‘Abbās. Saat itu, Ibn ‘Abbās mengisahkan sebuah hadis. Sembari berjalan, Sa‘īd ibn Jubayr terus mencatat hadis yang disampaikan Ibn ‘Abbas hingga waktu Subuh tiba.
Nyata dalam rekaman sejarah betapa para pemburu pengetahuan itu rela “berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.” ‘Abd. Fattāh Abū Ghuddah merekam kegigihan mereka dalam berjuang memburu dan meraih pengetahuan dalam bukunya Ṣafaḥāt min Ṣabr al-‘Ulamā ‘alā Shadā’id al-‘Ilm wa al-Taḥṣīl. Dikisahkan bagaimana para pemburu pengetahuan itu menghadapi pahit getirnya hidup, memangkas waktu tidur dan istirahat, bahkan mengendalikan segala hasrat ragawi demi meraih maha luas pengetahuan Ilahi.
Hasilnya nyata. Islam berhasil menggapai terang-benderang pengetahuan hingga seluruh penjuru dunia. Orang menyebutnya era keemasan Islam. Era ini menandai puncak capaian pengetahuan di dunia Islam. Geliat literasi dari beragam disiplin ilmu pengetahuan mendapat sokongan penguasa dan menjadi symbol kebanggaan penguasa. Perjumpaan beragam budaya dan tradisi intelektual diagungkan karena bisa memperkaya khazanah intelektual, bukan malah dikhawatirkan mencederai kemurnian tradisi Islam. Berkah perjumpaan budaya dan tradisi intelektual inilah menjadikan dunia Islam pada saat itu menjadi rujukan dunia. Para ulamanya  berhasil mewariskan khazanah intelektual yang amat berharga dalam beragam disiplin keilmuan, dari tafsir, hadis, filsafat, bahasa dan sastra, hukum, sosiologi, antropologi, geografi, geologi, kimia, kedokteran, dan semacamnya.
Bahkan, meskipun gempuran pihak luar terahadap Islam berhasil meruntuhkan Islam sebagai pemegang otoritas keilmuan pada masanya, tetap saja produktivitas keilmuan Islam tidak pernah redup. Di era gerbang keruntuhan Islam, sosok seperti  Jalāluddin ‘Abdurraḥmān ibn Abū Bakar al-Suyūṭī masih terus melahirkan karya akademiknya dengan menulis sejumlah karya lintas disiplin. Ada yang menyebutkan bahwa karya tulis al-Suyūṭi mencapai 460 karya dalam ragam disiplin keilmuan dengan ketebalan beragam. Di antara karyanya adalah Itmām al-Dirāyah li Qurrā’i al-Nuqāyah. Kitab, yang meskipun singkat, ini merangkum 14 disiplin keilmuan mencakup akidah (uṣūluddin), tafsir, hadis, usul fikih, ilmu faraid, nahu, morfologi (ṣarraf), khat (kaidah menulis), ma’āni, badi‘, bayān, ilmu anatomi tubuh (‘ilm al-tashrīḥ), kedokteran, dan tasawuf.
Itulah secuil kisah produktivitas keilmuan Islam di masa lampau. Perlu dicatat bahwa keberhasilan mereka secara intelektual ditopang oleh spirit diri dan spirit metodologi pengajaran yang berkembang saat itu. Dengan keuletean dan ketekunannya, para intelektual Islam awal ini menyandarkan pada metode hafalan sebagai basis awal transformasi keilmuan yang mereka bangun. George A. Makdisi mengisahkan bagaimana pada intelektual Islam awal menjadikan tradisi menghafal sebagai salah satu alat transformasi pengetahuan. Ia misalnya menyontohkan al-Māzinī yang karena kapasitas hafalannya yang melimpah sehingga ia dijuluki al-Ṣundūq, Si Koper. Abū Bakr al-‘Anbarī, misalnya, berhasil mendiktekan hafalannya yang apabila dituliskan mencapai ribuan folio. Bahkan dalam bidang tafsir, ia berhasil menghafal 120 tafsir lengkap dengan rangkaian sanadnya. Salah satu bentuk lain ‘menghafal’ adalah merekamnya dalam bentuk catatan tertulis. Para ulama di masa lampau, di samping menyandarkan rekaman pengetahuannya pada tradisi menghafal (al-ḥifẓ bi al-ṣudūr), mereka juga menjadikan kotak tinta dan kertas sebagai teman abadinya dalam berpetualang (al-ḥifẓ bi al-suṭūr).
Dinamika intelektual tersebut kian berkembang dengan model mudzākarah dan munāẓarah. Model diskusi ilmiah dan debat menjadi pelengkap spirit metode pengajaran di masa lampau, sehingga hal tersebut memungkinkan terjadinya dinamika intelektual di kalangan akademisi pada masa itu. Dinamika intelektual ini mewartakan pada kita bahwa berbeda pendapat bukan suatu yang tabu pada masa itu.
Dengan kenyataan semacam itu, saya meyakini bahwa mendudukkan warisan keislaman para ulama di masa lampau pada ruang waktu yang terbuka memang penting. Tetapi, jauh lebih penting dari sekadar kontekstualisasi produk pemikiran para ulama di masa lampau adalah bagaimana spirit tradisi intelektualisme Islam di masa lampau terus disegarkan kembali. Kita tidak bisa mewarisi tradisi itu, karena tradisi, sebagaimana kata T.S. Elliot, tidak bisa diwariskan. Untuk meraihnya diperlukan kegigihan usaha. Tradition is a matter of much wider significance. It can not be inhereted, and if you want it you must obtain it by great labour. Yang kita perlukan adalah menyegarkan kembali spirit intelektualisme Islam masa lampau di era ketika kepakaran tidak lagi dipentingkan, ketika kedunguan menjadi sesuatu yang dibanggakan, dan ketika mentalitas menerabas menjadi kewajaran. “Maka katakan pada mereka yang memiliki obsesi menggapai ketinggian tanpa upaya, ‘Engkau mengharap suatu yang mustahil’” (faqul li murajjī ma‘ālī al-umū...ri bi ghayr ijtihād: rajawta al-muḥālā). (AFS)

Dimuat di Bulletin Cendekia Fakultas Ushuluddin INSTIK Annuqayah

No comments:

Post a Comment