Melimpahnya
khazanah tradisi intelektual masa lampau yang bisa kita akses saat ini menjadi
bukti nyata bahwa geliat intelektualisme Islam masa lampau sangat dinamis.
Tidak saja terbatas pada satu disiplin keilmuan tertentu, para intelektual
Muslim awal menyuguhkan karya multidisipliner. Seolah tidak ada batas keilmuan
satu dengan keilmuan lainnya. Juga seolah tidak ada spesialisasi keilmuan
tertentu. Karena pada ulama di masa lampau menjadi sosok multitalenta dengan
keragaman disiplin keilmuan yang ditekuninya. Bisa jadi itu terjadi karena
tidak adanya klasifikasi keilmuan dan kewenangan siapa yang pantas mengenyam
disiplin keilmuan tertentu. Sehingga mereka tanpa batas berjihad menggali
khazanah terpendam keilmuan Islam untuk kemudian disuguhkannya ke khalayak
ramai.
Kegigihan para pemburu pengetahuan itu telah ditunjukkan oleh para sahabat Nabi, para tabi‘in, dan penerusnya dalam berjuang mencari hadis (al-riḥlah fī ṭalab al-ḥadīth). Ini misalnya bagaimana Jābir ibn ‘Abdullāh rela mengarungi perjalanan satu bulan guna menemui gurunya yang bernama ‘Abdullāh ibn Unays hanya untuk mendapatkan satu hadis. Begitu juga Sa‘id ibn Jubair, seorang tabi‘in yang wafat tahun 95 H, suatu ketika berjalan malam di lorong-lorong Mekah bersama ‘Abdullāh ibn ‘Abbās. Saat itu, Ibn ‘Abbās mengisahkan sebuah hadis. Sembari berjalan, Sa‘īd ibn Jubayr terus mencatat hadis yang disampaikan Ibn ‘Abbas hingga waktu Subuh tiba.
Nyata dalam rekaman sejarah betapa para pemburu pengetahuan itu rela “berakit-rakit ke hulu berenang
ke tepian, bersakit-sakit
dahulu bersenang-senang kemudian.” ‘Abd. Fattāh Abū Ghuddah merekam kegigihan mereka dalam berjuang memburu dan meraih
pengetahuan dalam bukunya Ṣafaḥāt min Ṣabr al-‘Ulamā ‘alā Shadā’id al-‘Ilm wa al-Taḥṣīl. Dikisahkan bagaimana para pemburu pengetahuan itu menghadapi pahit getirnya
hidup, memangkas waktu tidur dan istirahat, bahkan mengendalikan segala hasrat
ragawi demi meraih maha luas pengetahuan Ilahi.
Hasilnya nyata. Islam berhasil menggapai terang-benderang
pengetahuan hingga seluruh penjuru dunia. Orang menyebutnya era keemasan Islam.
Era ini menandai puncak capaian pengetahuan di dunia Islam. Geliat literasi
dari beragam disiplin ilmu pengetahuan mendapat sokongan penguasa dan menjadi symbol kebanggaan
penguasa. Perjumpaan beragam budaya dan tradisi intelektual
diagungkan karena bisa memperkaya khazanah intelektual, bukan malah
dikhawatirkan mencederai kemurnian tradisi Islam. Berkah perjumpaan budaya dan
tradisi intelektual inilah menjadikan dunia Islam pada saat itu menjadi rujukan
dunia. Para ulamanya berhasil mewariskan khazanah intelektual yang
amat berharga dalam beragam disiplin keilmuan, dari tafsir, hadis, filsafat,
bahasa dan sastra, hukum, sosiologi, antropologi, geografi, geologi, kimia,
kedokteran, dan semacamnya.
Bahkan, meskipun gempuran pihak luar terahadap Islam
berhasil meruntuhkan Islam sebagai pemegang otoritas keilmuan pada masanya,
tetap saja produktivitas keilmuan Islam tidak pernah redup. Di era gerbang
keruntuhan Islam, sosok seperti
Jalāluddin ‘Abdurraḥmān ibn Abū Bakar al-Suyūṭī masih terus melahirkan
karya akademiknya dengan menulis sejumlah karya lintas disiplin. Ada yang
menyebutkan bahwa karya tulis al-Suyūṭi mencapai 460 karya dalam ragam disiplin
keilmuan dengan ketebalan beragam. Di antara
karyanya adalah Itmām al-Dirāyah li Qurrā’i al-Nuqāyah. Kitab, yang
meskipun singkat, ini merangkum 14 disiplin keilmuan mencakup akidah (uṣūluddin),
tafsir, hadis, usul fikih, ilmu faraid, nahu, morfologi (ṣarraf), khat
(kaidah menulis), ma’āni, badi‘, bayān, ilmu anatomi tubuh (‘ilm al-tashrīḥ),
kedokteran, dan tasawuf.
Itulah
secuil kisah produktivitas keilmuan Islam di masa lampau.
Perlu dicatat bahwa keberhasilan mereka secara intelektual ditopang oleh spirit
diri dan spirit metodologi pengajaran yang berkembang saat itu. Dengan keuletean
dan ketekunannya, para intelektual Islam awal ini
menyandarkan pada metode hafalan sebagai basis awal transformasi keilmuan yang
mereka bangun. George A. Makdisi mengisahkan bagaimana pada intelektual Islam
awal menjadikan tradisi menghafal sebagai salah satu alat transformasi
pengetahuan. Ia misalnya menyontohkan al-Māzinī yang karena kapasitas
hafalannya yang melimpah sehingga ia dijuluki al-Ṣundūq, Si Koper. Abū
Bakr al-‘Anbarī, misalnya, berhasil mendiktekan hafalannya yang apabila dituliskan
mencapai ribuan folio. Bahkan dalam bidang tafsir, ia
berhasil menghafal 120 tafsir lengkap dengan rangkaian sanadnya. Salah satu
bentuk lain ‘menghafal’ adalah merekamnya dalam bentuk catatan tertulis. Para ulama
di masa lampau, di samping menyandarkan rekaman pengetahuannya pada tradisi
menghafal (al-ḥifẓ bi al-ṣudūr), mereka juga menjadikan kotak tinta dan
kertas sebagai teman abadinya dalam berpetualang (al-ḥifẓ bi al-suṭūr).
Dinamika intelektual tersebut kian berkembang dengan
model mudzākarah dan munāẓarah. Model diskusi ilmiah dan debat
menjadi pelengkap spirit metode pengajaran di masa lampau, sehingga hal tersebut memungkinkan terjadinya dinamika intelektual di kalangan akademisi pada
masa itu. Dinamika intelektual ini mewartakan pada kita bahwa berbeda pendapat bukan suatu yang tabu pada masa itu.
Dengan
kenyataan semacam itu, saya meyakini bahwa mendudukkan warisan keislaman para ulama di masa lampau pada ruang waktu
yang terbuka memang penting. Tetapi, jauh lebih penting dari
sekadar kontekstualisasi produk pemikiran para ulama di masa lampau adalah bagaimana spirit tradisi intelektualisme Islam di masa lampau terus disegarkan kembali. Kita tidak bisa mewarisi tradisi itu, karena
tradisi, sebagaimana kata T.S. Elliot, tidak bisa diwariskan. Untuk meraihnya diperlukan kegigihan usaha. Tradition is a matter of
much wider significance. It can not be inhereted, and if you want it you must
obtain it by great labour. Yang kita perlukan adalah menyegarkan kembali
spirit intelektualisme Islam masa lampau di era ketika kepakaran tidak lagi
dipentingkan, ketika kedunguan menjadi sesuatu yang dibanggakan, dan ketika
mentalitas menerabas menjadi kewajaran. “Maka katakan pada mereka yang memiliki
obsesi menggapai ketinggian tanpa upaya, ‘Engkau mengharap suatu yang
mustahil’” (faqul li murajjī ma‘ālī al-umū...ri bi ghayr ijtihād: rajawta
al-muḥālā). (AFS)
Dimuat di Bulletin Cendekia Fakultas Ushuluddin INSTIK Annuqayah
Dimuat di Bulletin Cendekia Fakultas Ushuluddin INSTIK Annuqayah
No comments:
Post a Comment