Melimpahnya
khazanah tradisi intelektual masa lampau yang bisa kita akses saat ini menjadi
bukti nyata bahwa geliat intelektualisme Islam masa lampau sangat dinamis.
Tidak saja terbatas pada satu disiplin keilmuan tertentu, para intelektual
Muslim awal menyuguhkan karya multidisipliner. Seolah tidak ada batas keilmuan
satu dengan keilmuan lainnya. Juga seolah tidak ada spesialisasi keilmuan
tertentu. Karena pada ulama di masa lampau menjadi sosok multitalenta dengan
keragaman disiplin keilmuan yang ditekuninya. Bisa jadi itu terjadi karena
tidak adanya klasifikasi keilmuan dan kewenangan siapa yang pantas mengenyam
disiplin keilmuan tertentu. Sehingga mereka tanpa batas berjihad menggali
khazanah terpendam keilmuan Islam untuk kemudian disuguhkannya ke khalayak
ramai.
Kembara Tak Mengenal Akhir
"Hidup adalah kembara. Kembara untuk merajut mimpi dan mewujudkannya menjadi nyata. Hidup adalah kembara tanpa akhir."
Monday, May 13, 2019
Menyegarkan Kembali Spirit Intelektualisme Islam
Sunday, December 11, 2016
Hassan Hanafi dan Rekonstruksi Ilmu-Ilmu Alquran
Penulis :
Hassan Hanafi
Judul :
Ulum al -Qur’an Min al-Mah mul ila al-Hamil (Jilid I dari Serial Min al -Naql ilâ al
- Aql)
Nama
Penerbit: Maktabah Madbuli
Edisi :
2013
Jumlah
Hlm : 396
Ulama menempatkan ilmu Alquran dan tafsir
sebagai “ilmu yang belum
matang dan tidak terbakar” (ilmun lâ nadlaja wa lâ ikhtaraqa), sehingga
dengan
demikian memungkinkan dinamisasi dalam pengembangan keilmuan ini. Dalam
kenyataannya, banyak para ulama yang mengambil jalur pengembangan
keilmuan Alquran dan tafsir, meskipun spesialisasi keilmuannya
di luar kajian Alquran dan tafsir. Sebut saja misalnya Syahrur yang secara
akademik berlatar belakang insinyur, namun dalam perjalanan karirnya ia
mencoba memberikan alternatif model baru dalam kajian Alquran. Selain itu bisa
disebut juga adalah Nashr Hamid Abu Zayd dan Hassan Hanafi.
Baik Abu Zayd ataupun Hassan Hanafi
memiliki latar belakang keilmuan filsafat. Yang pertama
lebih terfokus pada filsafat Bahasa dalam susastra
Arab sementara yang kedua aspek filsafat yang di-insert dalam kajian
keislaman,
terutama ushul fiqih. Yang mempertemukan dua tokoh ini adalah pada aspek
memasukkan filsafat dalam kajian Islam secara umum. Sehingga sangat
beralasan bila kemudian dua tokoh ini menjadikan Alquran sebaga lokus utama
kajiannya, lantaran Alquran adalah teks sentral dalam Islam.
Saturday, December 10, 2016
Maqashid Al-Qur’an: Mengungkap Pesan Pokok Alquran
Penulis
: Abdul Karim
Hâmidî
Judul :
Al-Madkhal ilâ Maqâshid al-Qur’ân
Penerbit :
Riyadl: Maktabah al-Rusyd
Tahun
Terbit : 2007
Halaman : 280
Perbincangan seputar tujuan pokok syari’ah (maqashid al-syariah) menjadi isu yang penting dikaji beberapa dekade terakhir ini. Terutama melalui proyek pemikiran maqashid yang dikembangkan di Magribi melalui tokohnya Thahir ibn Asyur, Alal al-Fasi, Raisuni, dan lain sebagainya. Kajian tentang pokok syariah ini dalam perkembangannya bergeser pada kajian tujuan pokok Alquran (maqashid al-Qur’an).
Maqashid
al-syari’ah lebih menfokuskan diri
pada pemahaman hukum Islam. Ini artinya, bahwa maqashid al-syari’ah
cakupannya hanya terbatas pada ranah hukum Islam (al-ahkam). Sebagaimana
diketahui, perbincangan seputar hukum dalam Alquran hanyalah sebagian kecil
dari isi kandungan Alquran. Raisuni menyebutkan hanya 500 ayat saja yang
terkait dengan persoalan normatif hukum Islam.
Ketika Alquran Dinomorduakan
Penulis : Jamal Al-Banna
Judul : Al-‘Awdah ila al -Qur’an
Nama Penerbit : Kairo: Dar al-Syuruq
Edisi : 2008
Jumlah Hlm : 95
Ketika Alquran Dinomorduakan
Judul : Al-‘Awdah ila al -Qur’an
Nama Penerbit : Kairo: Dar al-Syuruq
Edisi : 2008
Jumlah Hlm : 95
Ketika Alquran Dinomorduakan
Sebagai wahyu verbatim Tuhan, Alquran hadir tidak saja sebagai bundelan kertas tanpa pesan yang menyertainya. Sungguhpun demikian, bagi sebagian kalangan, Alquran lebih menarik untuk ditelusuri keunikan narasinya atau untuk didendangkan irama-iramanya, bahkan dijadikan aksesoris interior rumahnya. Sebagai kitab petunjuk, memperlakukan Alquran dengan semata-mata takjub pada pesona narasinya dan pada irama yang didendangkannya, belumlah memadai menguak dan mengungkap pesan praktis yang dikandungnya. Kekaguman semacam itu hanyalah satu hal dari pengakuan penganutnya atas sakralitas Alquran. Namun, berhenti pada semata-mata kagum malah menjadikan teks yang sakral itu tertabiri dalam keunikan dan kesakralannya sendiri. Adonis –seorang pemikir dan sastrawan asal Syiria—dengan nyinyir menyatakan bahwa di kalangan khalayak luas, Alquran sebenarnya tidak “dibaca”. Ia diposisikan tidak lebih sebagai teks naratif yang diyakini atau irama yang didendangkan. Tidakkah kenyataan ini, kata Adonis, menunjukkan bahwa Alquran, Teks yang sakral ini, tertutupi oleh kesakralannya sendiri, inna al-Qur’an, hadza al-nashshu dzatihi, mahjubun bi hadza al-taqdis dzatihi? (1993: 40).
Monday, December 21, 2015
Menjadi Pemuda Bertanggung Jawab
“Wahai pemuda, persoalan umat ada digenggamanmu. Kehidupan dan
kesejahteraan umat juga ada pada keberanian kalian untuk maju. Maju dan
bangkitlah, maka umat akan bangkit dan sejahtera.” Begitu kutipan pernyataan Mushthafa
al-Ghulayaini dalam bukunya Idzdzatun Nasi’in. Begitulah, pemuda menjadi
tumpuan utama masa depan komunitas dan masyarakatnya.
Pernyataan di atas menunjukkan dengan tegas bahwa pemuda adalah back
bone (tulang punggung) masyarakatnya. Ia bisa mengubah komunitasnya ke arah
lebih baik melalui usaha dan keinginannya. Singkatnya, pemuda memiliki peran
besar demi kemajuan suatu masyarakat dan oleh karena itu menjadi pemuda
bertanggung jawab adalah impian dan seharusnya menjadi cita-cita kita semua.
Pemuda yang bertanggung jawab adalah pemuda yang bisa memahami jati dirinya
sekaligus lingkungannya, sehingga dalam tingkah polahnya ia bisa menyesuaikan
sekaligus mengubahnya menjadi lebih baik. Bukan malah sebaliknya, membiarkan
dirinya terlena dengan kebobrokan situasi tanpa ada keinginan untuk mengubahnya
sedikitpun.
Monday, July 16, 2012
Nishfu Sya’ban dan Malam Pertanggungjawaban Amal
A. Fawaid Sjadzli*
Memperingati malam nishfu Sya’ban merupakan tradisi turun-temurun hingga saat ini. Tidak saja di Indonesia, menggiatkan malam nishfu Sya’ban dengan ritual khusus serta memperbanyak zikir dan doa juga dilakoni di beberapa Negara di Timur Tengah. Di Mesir misalnya, sebagaimana digambarkan Mahmud Syaltout dalam bukunya Min Tawjîhât al-Islâm (2004/383), diisi dengan melaksanakan shalat dua rakaat usai Shalat Magrib dan membaca surah Yâsîn tiga kali dengan niat panjang umur, tolak balak, dan rizki yang melimpah serta barakah. Ritual ini tidak berbeda dengan apa yang kita saksikan di tanah air.
Memperingati malam nishfu Sya’ban merupakan tradisi turun-temurun hingga saat ini. Tidak saja di Indonesia, menggiatkan malam nishfu Sya’ban dengan ritual khusus serta memperbanyak zikir dan doa juga dilakoni di beberapa Negara di Timur Tengah. Di Mesir misalnya, sebagaimana digambarkan Mahmud Syaltout dalam bukunya Min Tawjîhât al-Islâm (2004/383), diisi dengan melaksanakan shalat dua rakaat usai Shalat Magrib dan membaca surah Yâsîn tiga kali dengan niat panjang umur, tolak balak, dan rizki yang melimpah serta barakah. Ritual ini tidak berbeda dengan apa yang kita saksikan di tanah air.
Subscribe to:
Posts (Atom)