Wednesday, November 14, 2007

KH. Abdullah Sajjad: Membela Bangsa dari Pesantren

Kiai Abdullah Sajjad adalah putra Kiai Syarqawi dari Nyai Qamariyah. Dilahirkan di Guluk-Guluk Sumenep Madura. Tanggal dan tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, nama besarnya tidak bisa dilupakan siapa pun. Beliau adalah pahlawan kemerdekaan yang hidup di pinggiran kota yang bagi sebagian orang kurang begitu tertarik untuk mengungkapnya. Memang beliau bukanlah sosok yang haus sanjungan dan bangga dengan publikasi. Tanpa publikasi sekalipun, semerbak kemasyhurannya dikenal banyak orang. Itu semua karena kebesaran dan peran sosial politiknya yang tidak sederhana. Ia adalah tokoh fenomenal: pendidik, pejuang, dan penulis sekaligus.

Layaknya pemuda yang lahir dari rahim pondok pesantren, Abdullah Sajjad kecil oleh orang tuanya dikirim untuk menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Beliau pernah belajar di pesantren yang paling populer pada masanya, Pesantren Kademangan asuhan Syaichona Khalil. Selain itu, beliau juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Panji Sidoarjo, dan Pesantren Sidoarjo Surabaya.

Setelah beberapa tahun ngelmu di satu pesantren dan beralih ke pesantren yang lain, Abdullah Sajjad kembali ke habitat awalnya, Guluk-Guluk, untuk melanjutkan perjuangan orang tuannya, yaitu mengembangkan pesantren. Dan sejak saat itu, beliau diberi kesempatan untuk merintis sendiri sebuah “pesantren” di lingkungan pesantren Annuqayah, tepatnya wilayah Latee. Inilah awal pemekaran dan pembiakan pesantren Annuqayah menjadi wilayah-wilayah dengan kebijaksanaan yang otonom.

Di wilayah barunya yang dikenal dengan Latee inilah Kiai Haji Abdullah Sajjad mengawali perannya sebagai pengajar yang ulet dan tangguh. Keuletan beliau terlihat dari aktifitasnya yang memberikan hampir seluruh waktunya untuk mengisi pengajian kitab setiap usai salat berjamaah, kecuali setelah salat Maghrib dan Subuh yang digunakan untuk pengajian al-Qur’an. Tidak cukup dengan semata-mata mengajar para santrinya, Kiai Haji Abdullah Sajjad merasa bertanggung jawab dalam perbaikan moralitas masyarakat sekitarnya. Wujud tanggung jawab ini direalisasikan dengan merintis pengajian umum untuk masyarakat sekitar pesantren yang dilaksanakan setiap Sabtu malam.

Dalam perkembangannya, minat peserta pengajian tidak saja terbatas pada pada masyarakat yang berdekatan dengan pesantren, tetapi juga meluas hingga ke berbagai daerah di Kabupaten Sumenep dan Pamekasan. Beliaulah yang kemudian dikenal sebagai perintis pertama pengajian umum di Pesantren Annuqayah. Beliau juga dikenal dekat dengan dan begitu memperhatikan masyarakat sekitar. Ini misalnya, sebagaimana dikisahkan Kiai Abdul Basith, salah satu putranya dari Nyai Aminah Az-Zahra’, setiap mendengar ada tetangga sakit, Kiai Abdullah Sajjad biasanya mengajak sebagian santrinya untuk menjenguk dan sekaligus membacakan Qashīdah Burdah untuk si sakit. Jiwa sosial yang demikian mendalam mengaliri kepribadiannya.

Kalau Kiai Abdullah Sajjad lebih bergerak di luar, tidak halnya dengan Kiai Ilyas, saudara sepupunya. Kiai Ilyas lebih bergerak dalam membenahi internal pesantren. Ekspansinya yang demikian luas ke luar ini menyebabkan Kiai Abdullah Sajjad begitu mudah mendapat pengakuan masyarakat dan sebagai konsekuensinya beliau pernah terpilih menjadi kepala desa Guluk-Guluk. Penerimaannya untuk menjadi kepala desa didasarkan pada keinginan beliau untuk menanamkan Islam kepada warga masyakatnya melalui institusi desa: institusi struktural. Dengan demikian, lengkaplah peran dakwah Kiai Abdullah Sajjad. Di samping ditopang pola pendekatan kultural melalui pengajian-pengajian umum yang telah dirintisnya, beliau juga memanfaatkan pola pendekatan struktural melalui lembaga desa.

Figur yang Kokoh Pendirian

Kiai Abdullah Sajjad merupakan tokoh yang tegas dan berkarakter. Tokoh yang satu ini tangguh dalam membela prinsip yang dipegangi dan lebih bersifat reaktif, atau bahkan cendrung antipati, terhadap pelecehan yang dilakukan kalangan “modernis”. Sebagaimana diketahui, pertentangan antara kelompok “modernis” yang kerap diasosiakan dengan dengan Muhammadiyah dan kelompok “tradisionalis” yang diasosiasikan dengan Nahdlatul Ulama demikian meruncing, tidak terkecuali pada masa Kiai Abdullah Sajjad. Kiai Abdullah Sajjad dengan karakternya yang tegas dalam membela prinsipnya pun terlibat dalam “pertarungan” gagasan ini. Ini misalnya, sebagaimana diuturakan Kiai Abdul Basith, dalam lembaran catatannya Kiai Abdullah Sajjad pernah menulis pembelaan terhadap penggunaan kata ushallî setiap kali memulai salat: satu hal yang didebat oleh kalangan Muhammadiyah. Model pembelaan ini juga menunjukkan konsistensi sikapnya dan ketegasan prinsipnya dalam membela keyakinan yang dianjurkan para ulama salaf al-shālih.

Bukti lain yang menunjukkan konsistensi dalam mempertahankan prinsip adalah anjurannya untuk selalu berhati-hati dan benar-benar mencermati ketika membaca “kitab-kitab tertentu”. Sebagaimana diutarakan Kiai Abdul Basith, Kiai Abdullah Sajjad pernah menulis catatan di lembaran kitab Fushūs al-Hikam karya Muhyiddin Ibn ‘Arabi yang menjelaskan anjuran untuk berhati-hati dalam membacanya sehingga tidak melahirkan kesimpulan yang “menyesatkan”. Tentu saja anjuran ini merupakan bagian dari pembelaannya terhadap prinsip yang diyakininya, di samping perhatiannya yang mendalam pada para santrinya. Bukannya pelarangan yang difatwakan, melainkan kecermatan dan sikap kritis dalam membaca kitab, tidak terkecuali kitab karya Ibn ‘Arabi tersebut. Tentu saja, fatwa semacam ini tidak lahir dari sikap gegabah, melainkan melalui penelusuran dan pengamatan kritis.

Pejuang Kemerdekaan

Dibacakannya teks proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan wujud kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Namun sayang, meluapnya ambisi imprealistik menyebabkan Belanda kembali menjajah Indonesia paska kemerdekaan 1945. Penjajah terus meluaskan wilayah ekspansinya hingga ke wilayah Madura. Ketika Belanda untuk kedua kalinya memasuki Madura pada tahun 1947, kepemimpinan Laskar Sabilillah di Sumenep yang semula dipegang Kiai Mohammad Ilyas diserahkan kepada Kiai Abdullah Sajjad yang pada saat itu beliau baru menjabat klebon (kepala desa) Guluk-Guluk. Melalui institusi itulah Kiai Abdullah Sajjad menghimbau dan mengajak para warganya untuk terlibat dalam jalur politik: politik membela agama, bangsa, dan negara. Dihimpunlah masyarakat dalam wadah yang disebut dengan Laskar Sabilillah: suatu wadah yang difungsikan untuk menggalang dan menghimpun kekuatan dalam menentang penjajah yang kembali menguasai Sumenep. Ajakan ini mendapat respons yang positif dari warga masyarakat. Apresiasi masyarakat terhadap seruan kiai tentu saja ditopang oleh pola kehidupan masyarakat yang telah terbentuk dengan kokoh dan pada saat yang sama kedudukan kultural kiai pada saat itu telah mapan. Di pihak yang lain, penindasan penjajah kian meningkat dan di sinilah mulai terbentuk solidaritas bersama untuk menghadapi penjajah sebagai common enemy.

Dibantu keponakannya, Kiai Khazin yang bertindak sebagai pimpinan pasukan, Kiai Abdullah Sajjad lebih berposisi sebagai pengatur taktik dan strategi pertempuran. Begitu Belanda terus berusaha masuk ke arah Sumenep, tentara Sabilillah dengan gencarnya melakukan perlawanan. Mengingat peralatan perang Belanda tidak sesederhana yang dibayangkan, upaya pertahanan terus dilakukan. Hingga suatu ketika pertahanan tidak lagi mampu membendung arus pasukan Belanda, Kiai Khazin selaku pimpinan lapangan mengirim utusan ke Annuqayah, markas tentara Sabilillah, agar pesantren Annuqayah dikosongkan. Sementara Kiai Mohammad Ilyas mengungsi ke dusun Berca, daerah pedalaman Guluk-Guluk, Kiai Abdullah Sajjad mengungsi ke Karduluk, daerah sebelah timur Prenduan, dengan ditemani beberapa orang santrinya.

Setelah empat bulan di pengungsian, datanglah sepucuk surat yang ditujukan kepada Kiai Abdullah Sajjad yang berisi pernyatan bahwa Guluk-Guluk aman terkendali dan Kiai Abdullah Sajjad dimohon untuk kembali ke Pesantren Annuqayah. Sebelum surat itu disampaikan kepada Kiai Abdullah Sajjad, pihak pimpinan pesantren Annuqayah yaitu Kiai Mohammad Ilyas dan Kiai Idris melakukan musyawarah dan akhirnya keduanyapun menyetujui. Kiai Abdullah Sajjad pun kembali ke Pesantren Annuqayah. Mendengar kedatangan Kiai Abdullah Sajjad, sontak saja masyarakat berkunjung ke pesantren untuk menemuinya. Sementara Kiai Abdullah Sajjad sedang asyik-asyiknya menemani para tamu di mushalla sebelah kediamannya, tepatnya sehabis beliau melaksanakan salat Maghrib, tiba-tiba sembilan serdadu Belanda datang dan menangkap beliau. Kiai Abdullah Sajjad pun dibawa ke lapangan Guluk-Guluk, dan di sanalah beliau mengakhiri usianya akibat kekejaman dan kelicikan tentara penjajah. Beliau dibunuh di ujung kerakusan senapan penjajah. Peristiwa berkabung ini terjadi pada tahun 1947.

Meskipun Kiai Abdullah Sajjad telah wafat, namun semangat yang beliau hunjamkan di sanubari para pengikutnya terus bergelayut dan semangat untuk berjuang terus bergelora. Beberapa bulan kemudian, Kiai Khazin yang menjadi pimpinan pasukan Sabilillah yang sekaligus keponakan Kiai Abdullah Sajjad menyusul kepergian pamannya lantaran sakit setelah kembali dari pengungsian. Beliau mengungsi ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukerejo, Asembagus Sitobondo. Pesantren ini oleh Belanda dinyatakan sebagai Heillige Zone (zona suci) yang merupakan zona terlarang bagi tentara Belanda. Artinya, tentara Belanda dilarang keras untuk memasuki kawasan tersebut walau untuk menangkap tokoh dan pejuang kemerdekaan sekalipun, sehingga pondok pesantren dijadikan sebagai penyembunyian dan sarang pelarian gerilyawan pasukan Indonesia.

Karya Peninggalannya

Di sela-sela kesibukannya mengurus para santri serta keterlibatannya dalam pengajaran masyarakat, ditambah lagi dengan keterlibatannya dalam medan juang melawan penjajah, Kiai Abdullah Sajjad masih bisa menyisihkan waktunya untuk merenung dan menulis karya. Satu-satunya karya yang menjadi saksi ketekunan beliau adalah Mandzumat al-Risālah yang berisi sembilan puluh delapan larik nadlam yang isinya mengurai tentang cara berakidah yang tepat. Kitab ini disuguhkan dengan model tanya jawab dan disusun dengan format nadlam. Ada beberapa poin yang diperbincangkan kitab tersebut, yaitu tentang makna iman, hakikat iman, cara beriman kepada Allah, cara beriman kepada para malaikat, cara beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah, cara beriman kepada para Nabi, jumlah kitab yang diturunkan, jumlah para Nabi dan Rasul, cara beriman pada hari akhir, cara beriman pada qadar, dan sebagainya. Sebagaimana disebutkan secara eksplisit dalam salah satu lariknya, kitab ini ditulis pada tahun 1360. Dan pada pada tahun 1418, Abū Muhammad Zaqīn al-Maduri, nama samaran Kiai Abdul Basith, salah satu putra Kiai Abdullah Sajjad, memberikan komentar (syarh) singkat dengan judul kitab Idlāhu al-Afādhil Syarh Mandzūmat al-Masā’il.

Meskipun beliau hanya meninggalkan sebuah karya, namun semangatnya untuk meninggalkan karya semacam ini di sela-sela kesibukannya sebagai pendidik dan pejuang sekaligus merupakan fenomena yang langka. Dalam situasi sosial yang penuh pergoalakan ini, beliau hadir mempersembahkan sebuah karya yang tidak kecil maknanya bagi para santri khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Demikaianlah sepotong sejarah pengabdian seorang figur fenomenal yang mencurahkan hidupnya demi kepentingan agama, bangsa, dan negaranya. Tulisan ini tidak mungkin mampu melukiskan “warna utuh” perjalanan sejarahnya. Begitu kaya nuansa yang dilakoninya sehingga mustahil dituangkan dalam tulisan yang teramat singkat ini. Tapi yang jelas, Kiai Abdullah Sajjad adalah figur fenomenal dan pejuang kemerdekaan yang telah mempersembahkan tenaga, pikiran, dan nyawanya demi kepentingan agama, bangsa, dan negara. Jazāka Allah khayran katsīran.

DAFTAR PUSTAKA

Abū Muhammad Zaqīn, Īdlāhu al-Afādlil fī Syarhi Madzumat al-Masā’il,(Madura, 1997)
Bisri Effendy, Annuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura,(Jakarta: P3M, 1990)
Abdurrahman, Sejarah Madura: Selayang Pandang, (cet. IV, 1988)
Tim Penyusun, Satu Abad Annuqayah: Peran Pendidikan, Politik, Pengembangan Masyarakat,(Madura: PPA, 2000)
M.Dawam Raharjo (Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta:P3M, 1985)
Wawancara dengan salah seorang putranya, Kiai Abdul Basith Abdullah Sajjad.

__________
Ditulisa oleh Ahmad Fawaid Sjadzili. Tulisan ini dimuat dalam serial Intelektualisme Pesantren seri 3 dengan judul Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemesan Pesantren, (Mastuki HS, M.Ag dan M. Ishom El-Saha, M. Ag [ed.]), h. 197-201