Monday, December 10, 2007

Temu Tengkar Agama dan Tradisi Lokal



Dapat dikatakan bahwa seluruh agama samawi yang berkembang di tanah air ini adalah agama impor. Ia hadir dari suasana dan kesadaran psikologis yang berbeda dengan suasana dan kesadaran psikologis masyarakat di tanah air. Menarik diulas bagaimana ‘agama pendatang’ ini mengkomunikasikan dirinya dalam sebuah komunitas dengan keyakinan lokal yang telah menggumpal. Dalam tulisan berikut akan terlihat ada proses komunikasi yang sesekali terbuka, namun sering kali juga tertutup. Kehadiran Islam dan Kristen ke Jawa dan ke beberapa daerah di tanah air misalnya dapat dijadikan ilustrasi dalam menggambarkan pola relasi dan tarik ulur antara ‘agama pendatang’ di satu sisi dan tradisi lokal di sisi yang lain.

Oleh para ahli ditengarai bahwa gelombang pertama transmisi Islam ke nusantara melalui upaya pendakwah sufi yang datang ke tanah air untuk kepentingan dakwah dan dagang. Pola sufistik dijadikan pintu masuk untuk menyebarkan agama di tengah-tengah masyarakat. Dengan pola pendekatan sufistik inilah, pesan-pesan yang dibawa para pendakwah saat itu menemukan tempatnya di kalangan masyarakat lokal. Artinya, tanpa harus kehilangan identitas lokalnya, masyarakat tetap bisa menjadi Islam. Ini misalnya terlihat bagaimana Islam bernegosiasi dengan budaya lokal Jawa, Sunda, Sasak, Kajang, Dayak (‘Islam Bakumpai’), Parmalim di tanak Batak dan lain sebagainya. Meskipun secara kultural tetap mempertahannya tradisinya mereka tetap bisa menjadi Islam dengan pesona lokalnya masing-masing.

Fakta lain juga terjadi dengan Kristen. Sebagaimana Islam di Indonesia, Kristen juga merupakan agama impor yang didatangkan ke Indonesia. Terutama melalui kolonial. Kristen berkembang di berbagai wilayah di nusantara. Sebagai agama pendatang, Kristen juga mengalami proses pertemuan mesra dengan tradisi lokal di wilayah yang didatangi. Perjumpaan mesra ini bisa berbentuk peleburan tradisi lokal dalam ajaran agama maupun dalam pelabelan gereja dengan wilayah di mana gereja itu beraktivitas. Ini misalnya terlihat dengan kemunculan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang berpusat di tanah Batak. Gereja Kristen Pasundan (GKP) di tanah Sunda, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Jawa Timur, dan lain-lain. Upaya meleburkan tradisi lokal dengan nilai-nilai dan ajaran agama ini sangat tampak dari peran Conrad Laurens Coolen di Ngoro Jombang yang ini juga menjadi awal terbentuknya GKJW (baca tulisan dalam jurnal ini, red.). Di tangan Coolen inilah Kristen benar-benar ter-Jawa-kan sehingga begitu mudah menyatu dengan kosmologi orang-orang Jawa. Begitu juga melalu figur Kiai Sadrach yang oleh penganutnya dikenal dengan ‘Rasul Jawa’ itu.

Tentu saja, upaya-upaya semacam ini mengalami resistensi dalam kalangan agamawan yang mendakwakan dirinya paling benar dalam beragama dan label ‘menyimpang’ mudah dituduhkan pada model agama yang mesra dengan tradisi lokal ini. Resistensi semacam ini tidak saja terjadi di lingkungan Islam, tetapi juga dalam Kristen dan agama-agama yang mendakwakan dirinya sebagai ‘agama resmi.’

“Peleburan” dan “Pemurnian”

Dalam perkembangannya, negosiasi-negosiasi yang toleran dan nyaris tanpa ketegangan ini mengalami pengerasan dengan munculnya desakan purifikasi yang hendak menghadirkan Islam yang otentik, Islam yang persis sama dengan Islam yang dibawa dari tempat kelahirannya (Mekah). Kalangan ini menilai adanya nilai-nilai adat yang telah mengotori kemurnian ajaran Islam dan oleh karena itu perlu segera dibersihkan agar agama yang suci itu tidak tercemar dengan debu-debu kesyirikan. Islam otentik, begitu yang mereka harapkan, harus menggantikan Islam yang membaur dengan tradisi lokal. Proses otentifikasi ini mengawali ketegangan antara agama di satu sisi dan tradisi lokal di sisi yang lain.

Proses otentifikasi ini merupakan gelombang selanjutnya dari penyebaran agama-agama di masyarakat. Agama yang semula mesra dengan tradisi kultural setempat mulai digugat kemurniannya. Agama adalah sakral, sementara tradisi kultural adalah profan dan bagian dari bid’ah. Beginilah agama resmi menundukkan tradisi lokal. Tradisi lokal patut dibersihkan digantikan dengan ajaran-ajaran agama sebagaimana hadir dari sumbernya yang pertama.

Dalam Islam, polemik seputar otentisitas nilai-nilai agama yang melebur dengan tradisi lokal menjadi debat sengit yang tak berkesudahan. Tidak saja di masa lampau, bahkan hingga kini. Tudingan bahwa kelompok tertentu meleburkan klenik, takhayul, bidah, dan khurafat dalam ajaran agamanya masih terus terjadi. Akibatnya, keyakinan agama yang dilakoni tidak lagi murni, semurni ajaran agama yang disampaikan Nabi Muhammad Saw zaman baheula. Corak keberagamaan semacam inilah, dalam pandangan penganjur purifikasi dalam Islam ini, yang menjadi penghambat kemajuan dan penyebab kemunduran Islam. Dengan demikian, musuh kelompok ini adalah kelompok Islam yang dituding mengacaukan ajaran agama dan tradisi lokal sehingga patut diluruskan dan dimurnikan. Ambisi keyakinan ini adalah Islam yang murni yang seharusnya menaklukkan tradisi lokal, bukan malah mengadaptasinya atau bahkan ditaklukkan tradisi lokal. Mereka berpandangan, Islam sesungguhnya adalah Islam Mekkah-Madinah, dan oleh karena itu Islam yang hadir dan dikembangkan di Indonesia itu pun harus sama dengan Islam di sana.

Fenomena serupa juga terjadi dalam tradisi Kristiani. GKJW yang berupaya mengontekstualisasi ajaran agama Kristen dalam tradisi budaya lokal menemunkan hambatannya. Alasan kemurnian juga menjadi penghambat, di samping alasan politis lainnya (Saidi [ed.]: 2004). Fenomena Coolen dan Kiai Sadrach dalam tradisi Kristen Jawa menjadi contoh nyata tarik menarik yang berujung silang sengketa di kalangan rohaniawan Kristen saat itu. Walaupun dalam perkembangannya, telah terjadi pengakuan terhadap model ‘Kristen Kejawen’ itu. Namun demikian, harus tetap disadari bahwa temu tengkar agama-agama dan tradisi lokal masih mungkin terus terjadi dengan intensitas yang beragam dan ‘pemurnian’ selalu sebagai dalih utamanya.

Nahdlatul Ulama: Berdamai dengan Tradisi Lokal

Diktum klasik yang begitu lekat di kalangan nahdliyin adalah merawat tradisi lama yang baik dan mengadaptasi tradisi baru yang lebih baik (al-muhafadzah alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah). Diktum ini menunjukkan komitmen komunitas NU dalam menghargai warisan tradisi, sekaligus pada saat yang sama apresiatif terhadap beragam perubahan yang ada di luarnya. Inilah yang menjadi strategi budaya NU dalam berkomunikasi dengan realitas tradisi yang ada, termasuk dengan keyakinan lokal yang berkembang.

Kemampuan adaptif NU dalam merespons tradisi lokal ini tidak mesti dipahami bahwa NU begitu permisif dengan tradisi-tradisi lokal di mana NU bersemai. Malah sebaliknya harus dilihat sebagai siasat-siasat dalam menebar ajaran agama dalam komunitas. Belajar dari strategi akulturatif yang digunakan pendakwah Islam dan para wali di masa lampau menyebarkan Islam, NU sangat sadar bahwa kebijaksanaan lokal bukan suatu yang harus dihindari, malah seharusnya dijadikan medium kultural dalam menebarkan ajaran agama. Ajaran Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan agar mendakwahkan ajaran agama sesuai dengan nalar dan kosmologi mereka (khatibinnas ‘ala qadri ‘uqulihim), oleh kalangan NU dipegangi dan dimanfaatkan sedemikian rupa dalam berdakwah. Karena, bagaimana mungkin menanamkan ajaran agama dengan sesuatu yang asing dengan tata cara masyarakat setempat.

Hal ini juga disampaikan oleh Almaghfurlah KH. Ahmad Shiddiq. Menurutnya, Islam tidak serta merta apriori menolak tradisi lama, juga tidak menentang, apalagi menghapuskan sama sekali. Islam, dan NU menganutnya, justru bersikap akomodatif, selektif, dan proporsional (Qamar: 2002, 161). Akomodatif yang dimaksud adalah bahwa Islam dibenarkan menerima tradisi lokal, namun ia juga selektif dalam arti bahwa tidak semua tradisi lokal diakomodasi, tetapi tradisi lokal yang ‘baik’ saja al-qadimus shalih) yang mungkin diterima. Sementara penerimaannya pun harus proporsional. Dengan demikian, afirmasi NU terhadap tradisi lokal pun bersyarat, sepanjang spirit agama itu yang disuntikkan pada tradisi lokal, bukan sebaliknya.

Inilah yang menurut KH. Hasyim Muzadi menjadi keunikan NU. Menurutnya, di antara keunikan NU dibandingkan corak ke-Islaman lain di tanah air adalah cara NU menyikapi adat. NU tidak menolak adat dan tradisi lokal sepanjang cocok dengan tradisi Islam. Salah satu tradisi lokal yang terus dipertahankan hingga kini adalah tahlilan. Selain itu, dalam memahami agama, NU mewarisinya secara intelektual dari para ulama yang secara historis bersambung hingga Rasulullah Saw. Oleh karena itu, generasi setelah Rasulullah SAW hingga kini dianggap sebagai referensi intelektual dan moral kalangan Nahdliyin (Muzadi: 2007, 136-7). Melalui pesantren, kalangan nahdliyin mengasah otak dan hati untuk terus memperjuangkan tradisi as-salafus shalih hingga senantiasa kontekstual sampai kini. Institusi pesantren inilah yang menjadi pusat pengkajian tradisi Islam dengan segala dinamikanya.

Sayangnya, seringkali sekelompok orang memaknai situasi semacam ini dengan cibiran bahwa NU mengapresiasi dan mencintai klenik, bahkan melabelinya sebagai ahlul bida’ waz ziyagh. Kelompok ini tidak sadar bahwa melupakan kekayaan tradisi lokal itu merupakan bentuk kepicikan yang mencoba berpikir ahistoris dan mengalami diskontinuitas sejarah. (Sunyoto: 2004, 83-4). Kelompok ini tidak paham bahwa Islam hadir ke tanah air melalui negosiasi-negosiasi yang terus-menerus, dan di situlah sesungguhnya keunikan Islam Indonesia di bandingkan corak keberagamaan Islam di wilayah lainnya, termasuk dengan Islam Mekkah dan Madinah. Corak keberislaman di Indonesia yang masih mewarisi produk Islamisasi para pendakwah di masa lampau yang dilakukan para ‘wali’ itu masih terus dilestarikan sebagai ekspresi ke-Islam-an di satu sisi dan ekspresi lokalitas di sisi yang lain.

Ini terlihat dengan corak keberagamaan yang masih mempertahankan tradisi lokal dalam laku kesehariannya. Meskipun sebagai orang Islam, Masyarakat Kampung Naga misalnya masih menjadikan adat Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Dalam memperhitungkan cuaca, mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati horison langit) yang selalu berpindah-pindah dan posisinya menentukan curah hujan. Mereka juga membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi sekaligus juga mempercayai adanya dewa-dewa diktekapata, somamarocita, angarakata, budhaintuna, laspatimariha, sukramangkara, dan tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman bagi cara bertanam (Gibson: 2003).

Begitu juga dengan negosiasi tradisi tradisi Islam dengan Ugomo Parmalim di tanah Batak. Parmalim merupakan agama rakyat yang telah berkembang jauh sebelum Islam dan Kristen masuk dan mempengaruhi keyakinan etnis Batak. Begitu Islam masuk, negosisi dengan tradisi lokal terus berlangsung. Indikasi adanya tawar-menawar tradisi ini terlihat dari bacaan-bacaan doa pembuka dan penutup tabas (mantra) yang menggunakan bacaan yang lebih mirip dengan bacaan Islam. Misalnya, ketika membuka mantra mereka membaca “Binsumillah dirakoman dirakomin” dan penutupnya “Yasa Yasu Yausa.”

Terkadang juga membaca dibuka dengan bacaan “Bismillahirrahmanirrahiem” dan ditutup dengan “Borkat Kobul Lailaha Illallah" atau “Borkat Kobul Baginda Saidina Ali.” Begitu juga dengan tradisi Sasak di Nusa Tenggara Barat, Dayak dan Banjar di Kalimantan, Jawa, dan lain sebagainya dengan Islam, tentu memiliki keunikan masing-masing.

Belajar dari pengalaman para wali dan pendakwah Islam di masa lampau, corak keberagamaan yang unik yang dianut NU ini merupakan akulturasi beragam tradisi budaya yang ada dan mengemasnya sedemikian rupa dengan senantiasa memanfaatkan tradisi-tradisi lama yang masih baik dan memasukkan tradisi baru yang lebih baik. Dengan demikian, tradisi keberagamaan NU ini tidak semata-mata copy-paste dari corak keberagamaan yang ada di Timur Tengah. Melainkan produk kreatif dari tradisi intelektual sehingga melahirkan corak tersendiri dalam beragama yang kemudian dikenal dengan Islam Indonesia. Sebuah corak keberagamaan Islam yang mampu berdamai dengan tradisi lokal.[]