Tuesday, January 08, 2008

Menjadi Santri (1)

Berangkat Hari Rabu...

Usia 12 tahun merupakan puncak keceriaan bersama kawan-kawan sepermainan. Keceriaan bersama ketika berangkat ke langgar dengan sarung dan peci, hingga keceriaan menikmati purnama dengan bermain seludur usai mengaji dan shalat Isya di langgar. Masa-masa itu menjadi masa transisi untuk meninggalkan itu semua untuk berpindah alam, alam pondok pesantren. Tidak ada lagi waktu menyambut purnama dengan rencana permainan di malam hari. Tidak ada lagi kisah berebut mic untuk adzan, dan semacamnya.

Di kampungku, menjadi santri di sebuah pesantren menjadi impian semua orang. Ibaratnya, menjadi santri adalah menjadi orang baik. Siapa yang tidak hendak menjadikan anaknya sebagai anak baik? Pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan alternatif, setidaknya pada saat itu, untuk mengasah pengetahuan agama dan menjadi orang baik. Meskipun menjadi impian semua orang, tapi tidak semua orang mampu mewujudkan impiannya. Faktor biaya merupakan penghambatnya. Saat itu belum terpikir bahwa belajar di pesantren tidak prospektif dalam karir kerja. Entah kini.

Ya, biaya kerap menjadi alasan pupusnya impian itu. Memang banyak orang mengatakan bahwa biaya belajar di pesantren jauh lebih murah dibandingkan dengan belajar di lembaga lainnya. Tapi tetap saja, itu tidak menjadikan semua impian banyak kawanku terpenuhi untuk belajar di pesantren. Tidak sedikit dari mereka memutuskan untuk bekerja di usia-usia produktif mereka. Dan pesantren masih menjadi impian yang tidak kuasa mereka raih.

Namun, meski tidak beruntung untuk bisa menjadi santri, mereka bisa belajar di lembaga-lembaga formal di pesantren. Menjadi santri kalong yang datang hanya untuk belajar di sekolah formal, dan pulang begitu jam pelajaran usai adalah salah satu alternatifnya. Ini karena belajar di pesantren meski tanpa menjadi santri merupakan idaman semua orang di kampungku. Itu juga yang menjadi idaman keluarga sejak aku masih kanak-kanak. Sejak kecil aku sering berkunjung di pesantren yang tidak jauh dari rumahku. Di sana ada salah satu keluargaku yang sedang menjadi santri, dan saya berkesempatan untuk mengunjunginya. Saat itu, obsesi untuk menjadi santri masih remang-remang. Lantaran citra pesantren yang kurang sedap bagi orang seumurannya. Kudisan dan penyakit kulit lainnya menjadi ‘hantu’ yang menakutkan untuk menjadi santri. Kata mereka, tidak sah menjadi santri sebelum merasakan penyakit kulit. Belum lagi berpisah dengan keluarga yang menjadi keengganan tersendiri untuk menjadi santri.

Namun, lambat laun, ketakukan itu menghilang. Bahwa hidup tidak akan terus bersama. Sesekali harus berpisah untuk pada saatnya bisa bersama dan berkumpul kembali. Begitu juga dengan penyakit kulit, itu semua bukan hambatan untuk bisa menjadi santri. Menjadi orang baik meraibkan ketakutan itu semua. Itu juga yang membuatku bersemangat menjadi santri.

Malam itu, tepatnya malam Kamis, yang juga menjadi bagian dari hari Rabu, aku di antar keluarga untuk menegaskan identitas menjadi santri. Hari Rabu dipilih, karena sebagaimana diajarkan dalam salah satu literatur terkemuka, Ta’lim al-Muta’allim karya Syekh Az-Zarnuji, merupakan hari yang tepat untuk mengawali belajar. Dan orang tuaku yang juga pernah menjadi santri, pun mengantarkanku pada Hari Rabu. Tentu beliau berharap bahwa, sebagaimana hadis yang dikutip Az-Zarnuji, bahwa tiada sesuatu yang diawali pada hari Rabu, kecuali tercapai dengan sempurna. Tapi ada juga yang menjadikan Hari Ahad sebagai awal yang tepat untuk belajar, di samping Rabu.

Bersambung....