Wednesday, January 16, 2008

Menjadi Santri (2)

Mandiri dalam Semangat Kebersamaan

Syukuran dan selametan. Itu ritual pertama untuk mengantarkan seseorang menjadi santri. Begitu juga aku. Karena di rumahku ada langgar tempat aku dan kawan-kawan mengaji, maka aku tidak perlu izin perpisahan dengan nenekku yang menjadi sesepuh di langgar itu. Tidak seperti kawan-kawanku yang juga mengaji bersama di langgar itu. Mereka minta restu begitu hendak melanjutkan studi dan menjadi santri. Begitu restu telah diberikan, slametan ala kadarnya dilakukan sebelum berangkat menjadi santri.

Entah tanggal berapa aku mengawali menjadi santri. Yang jelas Hari Rabu dipilih oleh keluargaku untuk mengantarkanku ke sebuah pesantren yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Hari yang menjadi hari baik untuk mengawali belajar sebagaimana dituliskan Az-Zarnuji. Kurang lebih 1000 meter jaraknya. Jarak yang biasa aku tempuh dengan berjalan kaki ketika aku menjadi santri kalong. Awalnya aku merasa kurang menikmati menjadi santri dalam jarak yang begitu dekat. Tapi akhirnya, jarak tak penting aku hiraukan. Yang terpenting komitmen menjadi santri.

Komitmen menjadi santri? Ya keinginan untuk benar-benar menjadi santri sebagaimana sering diwejangkan guru mengaji dan para orang tua. Tentu kesiapan untuk berpisah dengan keluarga, serta kesiapan untuk hidup dalam suasana baru yang menuntut kemandirian.

Benar. Hari pertama pengalamanku di pesantren, aku langsung dihadapkan dengan masalah makan. Aku pun harus memasak, walaupun sebelumnya aku tak pernah memiliki pengalaman memasak. Dari rumah, orang tuanku telah menyiapkan beras, lauk, dan peralatan masak. Maklum, di pondok tempat aku menjadi santri disediakan dapur umum yang menjadi pusat aktifitas masak-memasak. Benar saja, pengalaman pertamaku dalam memasak gagal. Nasi gosong. Tapi aku tetap menyantapnya dengan nikmat lantaran perutku yang telah begitu lapar. Ini hari pertama aku beradaptasi dengan kalender makan di pondok. Betapa tidak, pagi hingga siang aku harus sekolah. Pulang sekolah aku mulai memasak. Dan sore nasi baru siap disantap. Bisa dibayangkan betapa keroncongan perutku. Suatu kebiasaan yang tidak terjadi ketika aku di rumah.

Tidak cukup sekolah di pagi hingga siang hari, malam pun ada jadual belajar. Usai shalat maghrib hingga Isya’ dan setelah shalat Isya berjamaah hingga jam 21:00. Begitulah ritual harianku dalam menapati hari-hari pertamaku menjadi santri. Gelisah yang berujung pada perasaan tidak betah selalu aku rasakan. Tapi komitmen menjadi santri sebagaimana diharapkan keluarga dan tentu saja diriku sendiri harus mengalahkan godaan-godaan itu semua.

Pasalnya, tidak sedikit kawan yang gagal menjadi santri lantaran ‘situasi lain’ yang terjadi di pesantren. Tapi bagiku, seiring perjalanan waktu, ‘situasi lain’ itu menjadi bagian dariku yang telah menyatu dalam kehidupan pesantren. Kebersamaan dalam derita dan bahagia menjadi obat setiap kali kegelisahan dan ketidakbetahan yang kerap kali datang bagi santri, baik santri baru maupun lama. Makan bersama dalam satu plastik yang digelar di tanah misalnya menunjukkan betapa kebersamaan, walaupun kadang rebutan, menjadi bagian dalam keseharian santri. Dan saya menikmatinya, bahkan kini merindukannya. Merindukan suasana pesantren dengan segala kunikan, kebersamaan, bahkan ‘intrik-intriknya’.

Bersambung......