Wednesday, January 16, 2008

Dalam Sebuah Sidang Akademis…..

Banyak kawan beranggapan bahwa sidang akademis merupakan forum untuk menjatuhkan. Oleh karena itu, banyak kawan selalu mengingatkan, “Hati-hati, tidak semua penguji punya i’tikad baik. Karena kerap kali sidang menjadi ajang balas dendam pengalaman masa lalunya.”

Saya termasuk orang yang tidak meyakini asumsi dan tuduhan banyak kawan tersebut. Tapi biarkan kawan-kawan saya berkeyakinan semacam itu, karena mungkin saja dia tahu betul gelagat penguji atau pernah mengalami, atau bahkan sebagian orang yang bertugas menguji keceplosan mengakuinya. Bagi saya, sidang akademis, atau juga disebut munaqasyah, merupakan forum yang memungkinkan untuk menimba pengetahuan dengan mempertimbangkan masukan-masukan sidang penguji. Dengan keyakinan semacam itu, tentu kita bisa terbuka menerima kritik, yang kritik itu tidak lain adalah masukan itu sendiri.

Tapi diam-diam saya mengafirmasi grundelan banyak kawan tersebut. Lantaran suatu waktu saya menghadiri promosi doktor seorang kawan. Promosi ini menarik bukan karena tema yang dibahasnya. Bukan karena kawan yang sedang mempromosikan gagasannya. Yang menarik adalah ‘pertarungan’ diam-diam di kalangan penguji di satu pihak, dan pertarungan penguji dengan promovendus di pihak lain. Saya terpaksa menggunakan istilah ‘pertarungan’ ini lantaran fakta yang terang benderang di hadapan saya.

Kisahnya begini. Usai promovendus menyampaikan paparan singkat penelitiannya, ketua sidang menyampaikan pernyataan lantaran ada salah seorang penguji yang menuliskan bacaan kritisnya terhadap hasil penelitian itu. “Hadirin sekalian, tim punguji tidak berhak menunda kelulusan siapa pun sepanjang bisa dipertanggungjawabkan. Kelulusan tidak bisa ditunda hanya lantaran perbedaan perspektif antara penguji dan penulis.” Kurang lebih begitu statemen singkat ketua sidang sebelum mempersilahkan penguji menyampaikan catatannya. Catatan tertulis itu pun disampaikan oleh penguji pertama, yang isi kurang lebih begini, “Penelitian tersebut tidak ilmiah lantaran penulisnya tidak imbang dalam mengutip sumber. “Hanya yang sesuai dengan pendapatnya yang dikutip, sementara yang tidak mendukung penelitiannya diabaikan.”

Dalam kesempatan lain, dalam sebuah sidang akademis, suasana serupa juga terjadi. Penguji dengan semangatnya meragukan akurasi hasil penelitian lantaran ada asumsi yang tidak disukainya dalam kesimpulan kajian sang mahasiswa. Tak ada ruang jawab dalam forum itu. Yang ada hanyalah POKOKNYA. “Anda tidak fair dan tidak imbang. Anda telah menuduh orang, dan banyak perkataan lain.” Saya melihat, memang kajiannya rapuh.Tapi tudingan bahwa tidak ilmiah, tidak imbang, dan ungkapan POKOKNYA sejatinya tidak muncul dalam sidang akademis. Saya masih berkeyakinan bahwa sidang akademis sejatinya menjadi ruang diskusi untuk saling melengkapi dan berdiskusi secara terbuka. Sayangnya, kata POKOKNYA mengunci ruang diskusi itu. Sidang akademis menjadi sidang gugatan, bukan sidang konfirmasi dan usulan. Ternyata, dalam sidang akademis segala kemungkinan pasti terjadi. Tapi, saya masih percaya, sidang akademis bukan sidang gugatan, tapi sidang konfirmasi dan usulan. Dari situ, ‘kesempurnaan’ hasil kajian relatif mungkin dipenuhi.[]