Tuesday, November 13, 2007

Membincang Manhaj Fikr NU


Ketika Kang Said Aqil Siradj mengatakan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) bukan madzhab melainkan manhaj, silang pendapat di lingkungan nahdliyin tidak terbendung. Bagi Kang Said, alasannya sangat sederhana: bagaimana mungkin di dalam madzhab ada ‘sekoci’ madzhab lagi? Namun bukan tempatnya mengulang kembali debat klasik ini dalam tulisan berikut. Yang patut ditegaskan di sini adalah bagaimana menjadikan Aswaja sebagai manhaj, gugusan paradigmatik-konseptual yang memungkinkannya menjadi alat dan perangkat (tool)baik dalam berpikir maupun bertindak di kalangan nahdliyin.

Sebagaimana mafhum, terma Aswaja merupakan istilah paska kenabian. Ia lahir paska era kenabian yang ditandai dengan tercerai-berainya komunitas Islam menjadi skisma aliran (scism) yang tidak tunggal. Masing-masing mengidentifikasi diri sebagai pengikut Nabi yang paling ‘tepat’ dibandingkan dengan lainnya. Sungguhpun istilah ini lahir paska era kenabian, namun istilah tersebut selalu saja dipautkan pada sebuah tradisi dalam momen sejarah Islam paling awal, yaitu generasi Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya yang terpercaya. Atas dasar inilah, definisi Aswaja mengacu dan diacukan pada “apa yang saya (Nabi) dan para sahabatku lakukan” (ma ana ‘alayhi wa ashabi). Ini artinya, Aswaja diukur dengan sejauh mana tradisi dan kebiasaan Nabi dan para sahabat terpercaya mewarsi dan mewarnai kerangka berpikir dan bertindak sehingga tindakan dan pemikiran itu ada pada jalur yang tepat(on the right track).

Dalam perkembangannya, identifikasi identitas itu pun mengkristal pada dua ujung yang ekstrem: ‘kelompok yang selamat’(al-firqah an-najiyah)dan ‘kelompok yang sesat’ (al-firqah al-dlallah). Dengan berlandaskan pada hadis tentang perpecahan umat, maka Ahlussunnah mendakwa diri sebagai firqah yang tepat dan selamat. Dalam bingkai semacam ini, ‘yang lain’ akan dengan mudah dituduh dan distigma sesat oleh otoritas yang berkuasa. Dan label ini pun bisa terjadi secara bergantian. Dalam sejarah Islam, contoh pertarungan antara Mu’tazilah dan Ahlussunnah pada era Al-Ma’mun dilanjutkan Al-Mu’tashim dan berpuncak pada al-Wasiq dengan era Al-Mutawakkil menjadi contoh betapa label selamat dan sesat dengan mudah dialihkan, tergantung ‘selera’ rezim yang berkuasa. Apa yang dikenal dengan ‘tragedi mihnah’ ini menjadi contoh tak terbantahkan dari goyang pendulum yang labil antara keselamatan dan kesesatan yang semata dipagari dengan apa yang disebut kekuasaan. Pada masa Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Wasiq, kelompok yang dianggap sesat adalah ahlul hadis dengan ikon intelektualnya Ahmad ibn Hanbal. Sebaliknya pada masa Al-Mutawakkil, kelompok yang dianggap sesat adalah ahlu ar-ra’yi atau lebih populer disebut mu’tazilah.

Imaginasi tentang firqah najiyah yang oleh sebagian kalangan disematkan pada kelompok Ahlussunnah Waljama’ah ini terus berkembang. Tidak saja dikontestasikan dengan Mu’tazilah, Ahlussunnah belakangan lebih diposisikan secara berhadapan dengan Syi’ah. Dalam konteks Syi’ah pun, label Aswaja masih menjadi identitas yang diperebutkan (contested identity). Buku yang ditulis Muhammad At-Tijani As-Samawi, doktor filsafat Universitas Sorbone, yang berjudul Asy-Syi’ah Hum Ahlu as-Sunnah [1993] menjadi contoh dari perebutan ini. Buku itu hendak menegaskan bahwa Syiah adalah Ahlussunnah, bahkan dinilai lebih Ahlussunnah ketimbang kelompok yang selama ini mendakwa dirinya Ahlussunnah.

Perebutan serupa tampaknya juga terjadi di Nahdlatul Ulama. Untuk mengidentifikasi identitasnya dengan ‘yang lain’, NU menjadikan Islam dengan faham Aswaja sebagai asas dan aqidah organisasinya. Berbeda dengan bingkai besar Aswaja dalam sejarah teologi Islam, NU melakukan modifikasi dengan menyumbangkan pemaknaan konsep Aswaja. Lahirlah kategorisasi yang mengacukan paradigma bermadzhab dengan mengikuti salah satu dari empat madzhab yang populer, mengikuti paradigma berteologi Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dan paradigma bertasawuf Al-Ghazali dan Al-Junaid al-Baghdadi sebagai paradigma Aswaja versi NU.

Modifikasi pemaknaan ini diyakini sebagai ‘ijtihad’ yang mencoba mendudukkan beragam aliran dan firqah pada tempatnya, sambil mencari celah untuk menemukan ‘jalur tengah’ yang tidak memihak pada ekstremitas yang ada. Jalur tengah itu akhirnya dijumpai dalam paradigma berpikir yang dibangun empat ulama madzhab dalam fiqih, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi dalam teologi, serta Al-Ghazali dan Al-Junaid Al-Baghdadi dalam tasawuf. Dengan koridor yang dirumuskan pada ulama itulah, NU hadir menjadi sebuah organisasi dengan paradigma berpikir yang lepas dari aspeks ekstrem dengan Aswaja sebagai paradigma dan kekuatan doktrinalnya. Aswaja diyakini membiaskan nilai-nilai yang mencoba menjembatani kesenjangan antara dua ekstremitas. Apa yang disebut dengan tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan al-‘adalah menjadi prinsip dalam mengemas gagasan dan melakoni tindakannya. Sayangnya, prinsip moderatisme kerap menjadi dalih untuk menghakimi ‘yang lain’ sebagai melampaui batas. Batas-batas moderatisme pun menjadi kabur, sebagaimana kaburnya aliran dan firqah yang dituding sebagai ekstrem.

Rekomendasi muktamar NU ke-31 di Solo menunjukkan kekaburan itu. Dalam butir rekomendasi itu tertuang pernyataan bahwa Aswaja menolak segala bentuk fundamentalisme, ekstremisme, liberalisme, dan aliran-aliran yang menyimpang. Tidak ada penjelasan apa, bagaimana, dan batas-batas fundamentalisme, liberalisme, ekstremisme, dan aliran-aliran yang menyimpang. Kenyataan ini mengukuhkan penulis bahwa muktamar ke 31 seolah menjadi saksi betapa fragementasi ideologis di kalangan warga nahdliyin begitu telanjang dan manifes. Liberalisme, fundamentalisme, ekstremisme, dan aliran menyimpang di kalangan nahdliyin menjadi isu yang mengemuka, dan tidak jarang diperhadapkan secara vis a vis dengan apa yang didakwa Aswaja yang diyakini membiaskan nilai-nilai moderat. Belum lagi labelisasi liberal yang kerap disematkan pada anak muda, sementara di sisi yang lain fundamentalisme lebih dikaitkan dengan alam pikir generasi tua. Praktis, ketegangan paradigmatis antara generasi tua dan muda kian tak terjembatani. Sementara generasi tua a priori menyikapi kiprah anak muda, sebaliknya anak muda apatis dengan apa yang dilakoni generasi tua. Ruang dialog tersumbat, dan yang terjadi adalah penghakiman.
Ketegangan paradigmatik ini ujungnya membuahkan raibnya saling percaya antar generasi yang berbeda. Kenyataan ini tentu saja kontra produktif dengan kenyataan betapa warna-warninya gagasan yang bersemai di lingkungan NU tidak serta-merta tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai dinamika yang niscaya terjadi. Tapi sayangnya, variasi gagasan sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab karya ulama salaf seolah kurang tampak dalam konteks dinamika berpikir di lingkungan NU. Perdebatan yang produktif disertai argumentasi yang memadai sebagaimana didedahkan dalam kitab-kitab otoiritatif (al-kutub al-mu’tabarah) di lingkungan pesantren itu tidak membias dalam tradisi berpikir kalangan nahdliyin. Malah yang terjadi kemudian adalah penunggalan cara berpikir dan bertindak atas nama manhaj fikr NU.

Dirunut dari sejarahnya, berdirinya NU sebagai sebuah institusi sosial keagamaan merupakan produk alam pikir lain di tengah main stream alam pikir yang berkembang saat itu. Pertarungan pemahaman dan perbedaan paradigma berpikir yang dikembangkan gerakan Wahabi yang diimpor ke tanah air bisa dijadikan titik pijak benih-benih lahirnya NU. Problem khilafiyah yang bersumber dari perbedaan metode berpikir itu kemudian menjadi landasan mendesaknya terbentuknya NU sebagai organisasi sosial keagamaan.

Atas argumen untuk ‘menyelamatkan’ masyarakat dari sesat pikir yang ditudingkan sebagian kelompok pada lainnya, NU hadir untuk mensinergikan ramuan Islam Timur Tengah yang dibawa para funding fathers yang ngelmu ke sana dengan khazanah dan tradisi lokal (baca; tradisi nusantara) yang berkembang di tanah air. Atas dasar ini pula, kehadiran NU merupakan institusionalisasi ‘metode berpikir’ yang dirumuskan para funding fathers NU. Dan metode berpikir itu tidak pernah tunggal, melainkan beragam, sebagaimana beragamnya acuan kalangan nahdliyin dalam bermadzhab, berteologi, dan bertasawuf.

Tentu saja, ini bukanlah satu-satunya argumentasi yang mendasari lahirnya NU. Hal lain, yang bisa jadi lebih penting, juga turut dalam mendesakkan perlunya sebuah organisasi sosial keagamaan yang berbasis pada ulama: sebuah komunitas yang mewarisi kenabian (al-‘ulama warastatul anbiya’)adalah komitmen pemberdayaan umat yang terpuruk baik secara ekonomi, pendidikan, dan moral. Nahdlatut Tujjar, Tashwirul Afkar, dan Nahdlatul Wathon yang merupakan unsur ‘pra organisasi’—meminjam istilah MM Billah—menjadi cikal bakal NU menjadi organisasi. Meskipun, kata Billah, unsur nahdlatut tujjar yang memberikan perhatian pada peningkatan ekonomi warga NU ‘patah sebelum menjadi tunas yang subur di dalam struktur organisasi (Billah: 1998). Karena alasan ini pula, Billah menengarai raibnya perhatian NU terhadap ekonomi warga.

Aswaja sebagai manhaj fikr masih berupa rumusan-rumusan abstrak, dan sebagaimana dinyatakan para petinggi NU, rumusan itu masih tersebar dalam kitab-kitab rujukan yang masih diwarisi kalangan pesantren hingga kini. Memang ada upaya untuk merumuskan secara tertulis metode berpikir yang abstrak itu. Ini misalnya dilakukan oleh KH. Ahmad Shiddiq yang saat itu menjadi Ketua Wilayah Partai NU Jawa Timur, pada tahun 1969 menyusun konsep tentang Metode Berpikir Nahdlatul Ulama. Bisa jadi, ini adalah rumusan standar tentang “koridor berpikir” warga Nahdliyin. Namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa itu hanyalah “ijtihad” KH. Ahmad Shiddiq dalam membaca dan menafsirkan realitas yang berkembang di NU.

Lepas dari apakah Metode Berpikir NU yang dirumuskan KH. Ahmad Shiddiq hanyalah interpretasi personal atau rumusan organisasional, yang jelas rumusan itu diproduksi ketika NU berkiprah sebagai partai politik. Dalam perjalanan waktu, perubahan yang luar biasa dinamisnya terjadi tidak saja di lingkungan NU, tapi di kawasan tanah air secara umum. Bagaimanapun, teks rumusan metode berpikir itu tidak hadir dalam ruang hampa. Ia hadir dalam ruang dan waktu yang melingkupinya. Jadi, sangatlah tidak adil jika teks tersebut dimonumenkan dan lepas dari sentuhan kekinian.

Sebagai teks yang terbuka, rumusan metode berpikir itu terbuka untuk ditafsir. Dari tafsir itulah, generasi selanjutnya membaca sekaligus menerjemahkan dalam wujud yang beragam. Ragam interpretasi itulah kemudian melahirkan ragam kecenderungan di internal organisasi itu. Sungguhpun demikian, tidak semua bersepakat dengan tingkah polah generasi ’penerjemah’ itu. Tidak sedikit yang keberatan, bahkan melabelinya sebagai tindakan liar yang lepas dari koridor ke-NU-an.

Seiring dengan perkembangan NU dengan segala dinamikanya, ketegangan antara generasi tua dan generasi muda semakin sulit dipertemukan. Munculnya ikon baru dalam pemikiran keislaman belakangan ini kian meruncingkan kesenjangan antara generasi tua dan muda. Seolah liberalisme berpikir menjadi bagian yang tak terpisahkan dari generasi muda. Sungguhpun demikian, respons generasi tua tidak selalu tunggal. Terdapat beberapa kiai NU yang mengecam keras para kader muda NU yang ditengarai berpaham liberal, namun ada pula para kiai yang "memahami" hal itu dan menilainya sebagai "kewajaran".

Seiring dengan menguatnya arus radikalisme Islam di tanah air akhir-akhir ini, para kiai NU juga semakin keras mengecam liberalisme Islam yang diusung generasi muda NU. Pasalnya, liberalisme Islam didakwa tidak sesuai dengan faham NU. Mereka pun mendakwakan untuk "tazkiyah" (menyucikan) dari unsur-unsur luar yang dipaksamasukkan (ad-dakhil) ke dalam NU, semisal apa yang dilakukan oleh eksponen liberalisme Islam ini. Propaganda anti liberalisme Islam pun disebar tidak saja ditujukan kepada para pengurus NU di forum-forum resmi, tetapi juga di pengajian-pengajian umum.

Sayangnya, kampanye anti liberalisme Islam ini tidak dilandasi dan dipayungi oleh kejelasan yang terang benderang tentang koridor dan manhaj fikr NU. Dengan kata lain, batas-batas pemikiran yang menandai seseorang masih NU atau keluar dari NU belum sepenuhnya dipancangkan. Hal ini menyebabkan munculnya generalisasi terhadap anak-anak muda NU yang dikategorikan kemajon(terlalu maju).

Padahal bagi kaum muda, mengembangkan pemikiran-pemikiran baru melalui ijtihad atau inovasi baru merupakan keharusan yang tidak bisa dipungkiri. Tanpa upaya itu, maka akan terjadi kemandegan berpikir di lingkungan NU. Pada saat yang sama, generasi tua diharapkan menjadi ’pemandu’ yang bijak dalam menyikapi kreasi yang beragam di kalangan anak mudanya. Bukan malah mematahkan upaya inovatif yang niscaya dibebabkan pada anak mudanya. Dengan demikian, komunikasi timbal-balik harus menjadi forum yang memungkinkan untuk bisa saling mengkomunikasikan peran dan tanggung jawabnya.[]

Tulisan ini dimuat di Jurnal Tashwirul Afkar Edisi 19