Wednesday, November 14, 2007

KH. Muhammad Ilyas Syarqawi: Sosok Santun dan Menghindari Perpecahan

Sketsa Biografi Intelektual

Kiai Mohammad Ilyas Syarqawi dilahirkan di Guluk-Guluk melalui pasangan Kiai Syarqawi dan Nyai Qamariyah. Tidak diketahui secara pasti kapan beliau dilahirkan. Namun dilihat dari tahun wafatnya, 1959–sementara beliau berusia 70 tahun—maka dapat katakan bahwa beliau lahir pada tahun 1889.

Pendidikan pertamanya dimulai dari asuhan langsung orang tuanya, Kiai Syarqawi. Namun, setelah beranjak dewasa, oleh ayahnya Kiai Mohammad Ilyas dianjurkan untuk
menimba ilmu ke berbagai pesantren, misalnya Pesantren Kademangan asuhan Syaichona Kholil, Pondok Pesantren Tebuireng asuhan KH. Hasyim Asy’ari, dan beberapa tahun belajar di Mekkah.

Setelah merasa bahwa tanggung jawab keilmuannya harus sesegara mungkin disebarkan, maka Kiai Mohammad Ilyas kembali ke Guluk-Guluk untuk mengabdikan ilmunya demi kepentingan agama. Pada saat itu, kepemimpinan pesantren Annuqayah ada di bawah kendali Kiai Bukhari, Kiai Idris, dan Kiai Imam Karay. Tepatnya sejak 1917, kepemimpinan Annuqayah dilimpahkan kepadanya.

Pada masa Kiai Syarqawi untuk pertama kalinya merintis pesantren, situasi sosiologis masyarakatnya masih begitu sulit menerima perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh kehadiran pesantren. Kondisi masyarakat yang masih sarat keangkaramurkaan itu merasa terancam dengan hadirnya pesantren, dan akibatnya mereka melakukan semacam resistensi. Pada masa Kiai Bukhari, Kiai Idris, dan Kiai Imam memimpin pesanten, situasi masyarakat lambat laun mengalami perubahan dari awalnya “berjarak” dengan pesantren berubah mulai lebih “dekat” dan bersahabat. Hinga pada masa kepemimpinan Kiai Mohammad Ilyas inilah telah terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan bagi pertumbuhan dan perkembangan pesantren, baik menyangkut pola pendekatan kemasyarakatan, sistem pendidikan, dan pola hubungan dengan kekuasaan.

Pola pendekatan kepada masyarakat misalnya mulai lebih terbuka dan proses penyadaran masyarakat mulai membaik, tingkat animo masyarakat untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam semakin tinggi, ditambah tingkat komunikasi yang demikian intens semakin mengaburkan jarak antara “dunia pesantren” dan “dunia sekitar”. Karena itu, saling menopang antara masyarakat dan pesantren bisa tercipta.

Dalam bidang pendidikan telah terjadi perubahan yang cukup penting, terutama setelah diterapkannya sitem klasikal pada tahun 1933. Perubahan sistem pendidikan dan pengajaran dari yang semula murni wetonan dan sorogan menjadi klasikal ini digagas oleh Kiai Khazin Ilyas, putra Kiai Mohammad Ilyas, atas persetujuan ayahnya. Kiai Khazin yang masih menjadi santri di Tebuireng, Jombang, ini mencoba mentransformasikan metode pendidikan yang didapatnya dari Tebuireng. Tidak saja perubahan sistemik yang dilakukan, tetapi juga perubahan materi pelajaran yang diajarkan kepada santri yang tidak lagi melulu berkutat dengan “ilmu-ilmu agama”, tetapi juga “ilmu-ilmu umum” semisal ilmu hisab (aljabar).

Sebagai respons terhadap proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945, Kiai Mohammad Ilyas menggagas terobosan baru, yaitu digunakannya bahasa Melayu, tepatnya bahasa Indonesia, sebagai bahasa pengantar dalam pengajian kitab. Tentu saja pilihan bahasa ini sedikit membingungkan santri, karena di samping bahasa Indonesia masih belum lazim digunakan juga karena kesulitan dalam menuliskan bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Arab (Pegon). Mengatasi persoalan ini, Kiai Mohammad Ilyas menyusun panduan yang berupa buku-buku pelajaran lengkap dengan maknanya yang ditulis menggantung di bawah teks aslinya.

Mengingat tidak adanya materi khusus yang bisa diajarkan pada santri pemula, Kiai Mohammad Ilyas menyusun kitab yang kemudian diajarkan pada para santrinya. Dua kitab karya beliau adalah Mandzūmatu al-Risālah dan Safīnatu al-Shalāh. Kedua kitab tersebut disusun dengan menggunakan sistem nadlam. Tentu saja penggunakan sisem nadlam ini dimaksudkan untuk memudahkan para santri dalam memahami kandungannya dan mempermudah dalam menghafalnya.

Kitab petama, Mandzīmatu al-Risālah, berisi panduan dan cara beriman kepada Allah. Sebagaimana ditulis pada bait ketiga disebutkan bahwa pemantapan akidah merupakan kewajiban pertama dan utama yang harus dipenuhi manusia. Secara lebih terperinci, kitab ini menjelaskan kewajiban orang mukallaf untuk mengenal sifat Allah dan Rasul-Nya melalui sifat yang lima puluh, baik sifat yang wajib bagi Allah dan rasul, sifat yang mustahil disematkan pada Allah dan Rasul, serta sifat mungkin bisa disematkan (jaiz) pada Allah dan Rasul. Mengenai persoalan ini, dijelaskan dalam sembilan puluh satu bait nadlamnya. Sebagaimana diketahui bahwa pengenalan sifat yang lima puluh ini, atau dikenal dengan aqā’id khamsīn, pertama kali diperkenalkan melalui karya klasik Imam Al-Sanusi melalui kitabnya yang begitu populer dikalangan pesantren, Umm al-Barāhin. Di duga kuat, karya Kiai Mohammad Ilyas ini banyak diilhami oleh karya Imam As-Sanusi tersebut.

Selain itu, kitab ini juga menjelaskan kewajiban mengetahui asal-usul Nabi Muhammad Saw., baik dari jalur ayah maupun ibunya (12 larik) serta kepastian bahwa Nabi Muhammad akan memberi syafaat kepada umatnya kelak pada hari kiamat (2 larik). Di samping kewajiban mengetahui asal-usul Nabi Muhammad, Kiai Mohammad Ilyas dalam kitab ini juga menjelaskan kewajiban mengetahui para rasul sebagaimana terurai-rinci jelas dalam al-Qur’an, dari nabi Adam hingga Nabi Muhammad Saw. Sebelum mengakhiri kitabnya, Kiai Mohammad Ilyas menjelaskan keharusan mengenal putara-putri Nabi Muhammad (5 larik) dan menjelaskan bahwa era yang paling “murni” adalah pada masa Nabi dan demikian seterusnya hingga kini. Kitab ini, sebagaimana secara eksplisit disebutkan dalam salah satu lariknya, berisi 130 larik dan ditulis pada tahun 1360 H.

Sementara dalam kitab yang kedua, Safīnatu al-Shalāh, sesuai dengan namanya berisi tata cara melakukan ibadah salat. Namun, sebelum menjabarkan persolan inti ini, Kiai Mohammad Ilyas lagi-lagi, seperti dalam buku yang disebut pertama, mengingatkan pentingnya berakidah yang tepat dengan mengetahui makna sesungguhnya dua kalimat syahadat. Baru pada jabaran selanjutnya, penulis menguraikan syarat-syarat yang harus dipenuhi orang yang hendak salat, tata cara berwudu, tata cara mandi wajib, syarat-syarat sahnya dan rukun-rukun salat, serta hal-hal yang membatalkan salat. Kitab ini menampung tidak lebih dari 223 larik yang keseluruhannya, sebagaimana tertera dalam salah satu lariknya, diperuntukkan pada para santri putri. Namun dalam perkembangannya kitab ini juga diajarkan pada seluruh santri pemula dengan tidak mengecualikan jenis kelamin tertentu. Tidak ada penjelasan kapan kitab ini disusun.

Dari dua kitab di atas dengan jelas dapat dikatakan betapa perhatian Kiai Mohammad Ilyas terhadap pemantapan keimanan sebelum kemudian melakukan ritual-ritual keagamaan lainnya. Ini artinya, sebelum mendidik santri yang benar-benar taat beragama (muslim), santri-santri untuk pertama kali dibenahi dan ditanamkan cara berakidah yang benar.

Selain dua karya di atas, Kiai Syarqawi juga menyusun naskah khutbah Jum’at yang dibacakan setiap kali beliau menjadi khāthib. Bahkan, hingga kini naskah khutbah tersebut masih diabadikan dan dibaca.

Uraian di atas menunjukkan betapa kepedulian Kiai Mohammad Ilyas dalam mendidik para santrinya. Namun demikian, wujud perhatian Kiai Mohammad Ilyas kepada para santrinya tidak berarti mengabaikan perhatian beliau pada masyarakat sekitar. Terbukti misalnya dengan dibukanya pengajian umum untuk masyarakat. Kegiatan pengajian khusus masyarakat ini dilaksanakan setiap hari Ahad dan Rabu. Di samping pengajian jenis ini, layaknya tradisi pesantren-pesantren, di Madura dan Jawa, setiap bulan Ramadlan Kiai Mohammad Ilyas membuka pengajian hataman atau kilatan. Biasanya setiap kitab yang dibaca langsung diseleseikan selama dua puluh hari pertama bulan Ramadlan.

Peran Sosial-Politik

Ketekunan Kiai Mohammad Ilyas dalam mendidik para santri tidak berarti menghilangkan perhatian beliau dalam aktifitas sosial, politik, dan kemasyarakatan. Dalam konteks peran sosial kemasyarakatannya, beliau menyelenggarakan pengajian umum untuk masyarakat sekitar. Dengan media semacam ini, Kiai Mohammad Ilyas berhasil melakukan pengayoman dan pengajaran bagi masyarakat sekitar.

Tidak saja melalui lembaga informal semacam ini, melalui lembaga formal semisal Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Mohammad Ilyas juga memiliki peran yang cukup signifikan. Terbukti misalnya ia diangkat menjadi ketua NU cabang Sumenep atas permintaan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari yang ketika itu bersama putranya, Kiai Wahid Hasyim, berkunjung ke Guluk-Guluk. Pertemuan dan perkenalan antara Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Mohammad Ilyas sebenarnya bermula ketika Kiai Mohammad Ilyas sedang menimba ilmu di Pesantren Kademangan asuhan Kiai Khalil. Pada saat itu, Kiai hasyim Asy’ari telah menjadi salah seorang guru di pesantren tersebut. Pertemuan selanjutnya adalah ketika Kiai Mohammad Ilyas menjadi santrinya di Pesantren Tebuireng Jombang di mana pada saat itu Kiai Hasyim Asy‘ari sebagai pengasuhnya begitu memperhatikannya.

Tidak lebih dari tiga bulan menjabat sebagai ketua NU cabang Sumenep, Kiai Mohammad Ilyas melimpahkan jabatannya kepada Kiai Abi Suja’, salah satu pengasuh pesantren di Asta Tinggi Sumenep. Kebijaksanaan ini diambil karena Asta Tinggi secara geografis lebih strategis bagi pengembangan organasasi semisal NU dibandingkan dengan Guluk-Guluk yang lokasinya ada di pedalaman. Atas pertimbangan inilah jabatan ketua NU cabang Sumenep resmi diserahkan kepada Kiai Abi Suja’.

Secara politik, Kiai Mohammad Ilyas terlibat aktif dalam partai Masyumi. Pada saat itu, NU secara politis berafiliasi dengan Partai Masyumi. Namun dalam perkembangannya, NU menjadi partai independen dan terpisah dengan Masyumi setelah terjadinya intrik-intrik politik yang tidak menguntungkan NU. Namun demikian, kenyataan politik ini tidak mengubah sikap politik Kiai Mohammad Ilyas untuk tetap menjadikan Partai Masyumi sebagai media ekspresi politiknya. Bahkan, suatu ketika Kiai Wahid Hasyim pernah meminta beliau untuk berpindah dari Partai Masyumi ke Partai Nahdlatul Ulama. Melalui kurirnya, Kiai Munif dari Bangkalan, Kiai Abdul Wahid Hasyim mengirim sepucuk surat kepada Kiai Mohammad Ilyas yang berisi ajakan untuk keluar dari Partai Masyumi dan meminta Kiai Mohammad Ilyas untuk menguatkan Partai NU. Ajakan ini tidak saja membingungkan Kiai Mohammad Ilyas. Di satu sisi, ini merupakan ujian konsistensi beliau dalam memperjuangkan prinsip-prinsip politiknya. Di sisi yang lain, persoalan ini melibatkan Kiai Abdul Wahid Hasyim yang notabene putra gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari. Penolakannya akan dengan mudah dipahami sebagai pembangkangan.

Setelah melalui proses pertimbangan yang sukup matang, Kiai Mohammad Ilyas mengirimkan surat balasan yang ditulis dalam bahasa Arab yang isinya menjelaskan keputusan beliau untuk tetap pada garis politik Partai Masyumi dengan alasan untuk menghindari perpecahan. Sebagai wujud rasa hormat beliau pada sang guru, Kiai Mohammad Ilyas menganjurkan saudaranya, Kiai Idris Syarqawi, dan keponakannya, Kiai Ishomuddin Abdullah Sajjad, untuk terlibat aktif dalam partai politik NU. “Menghindari perpecahan” merupakan kata kunci yang kerap diingatkan Kiai Mohammad Ilyas. Dalam setiap ceramahnya dan kampanye politiknya, anjuran untuk persatuan dan kesatuan serta menghindari perpecahan merupakan pesan yang tidak pernah terlupakan. Sayangnya, sebelum surat itu diterima, Kiai Wahid Hasyim meninggal dunia dalam sebuah kecelakan naas di pegunungan antara Cimahi dan Bandung Jawa Barat.
Selain itu, Kiai Mohammad Ilyas juga sempat mendirikan organisai Jam’iyah al-Washliyah Cabang Sumenep. Jam’iyah al-Washliyah merupakan organisasi yang terbentuk di Medan pada tahun 1930-an. Melalui informasi dari media massa, Kiai Mohammad Ilyas begitu terkesan dan tertarik dengan organisasi ini: sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang kesejahteraan sosial dan pengembangan pendidikan.

Demikianlah perjalanan hidupnya yang penuh warna. Namun itu semua dilaluinya dengan konsisten dan selama tidak mengorbankan nilai-nilai persatuan. Bagi tokoh yang satu ini, persatuan adalah segala-galanya. Persoalan-persoalan partikular (furu’iyah) bukanlah penghalang untuk merajut persatuan. Gen asa-pesanah dedhdi kalanah (Dengan perpecahan akan menyebabkan kekalahan), demikian ungkapnya dalam suatu kesempatan. Akhirnya, pada tahun 1959 beliau berpulang ke rahmatullah memenuhi panggilan-Nya. Semoga Allah mengganjarnya akan segala sumbangan yang diberikan dalam membangkitkan agama Allah.Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Effendy, Bisri, Annuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura, (Jakarta: P3M, 1990).
Tim Penyusun, Satu Abad Annuqayah: Peran Pendidikan, Politik, Pengembangan Masyarakat, (Madura: PPA, 2000).
Ilyas, Mohammad, Mandzumatu al-Risālah (t.t)
---------------------, Safīnatu al-Shalāh (t.t)
M.Dawam Raharjo (Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah (Jakarta:P3M, 1985)
Wawancara dengan KH. Abdul Basith Abdullah Sajjad, salah satu keponakannya, dan KH. Tsabit Khazin, salah seorang cucunya.

____________

Dimuat dalam serial Intelektualiseme Pesantren seri 3 dengan judul Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemesan Pesantren, (Mastuki HS, M.Ag dan M. Ishom El-Saha, M. Ag [ed.]), Jakarta: Diva Pustaka)