Wednesday, November 14, 2007

Almaghfurlah KH. Muhammad Syarqawi : Membabat Guluk-Guluk, Merintis Annuqayah

Sekitar akhir paroh pertama atau awal paroh kedua abad ke-19, sosok mungil yang kelak menyinari bumi Guluk-Guluk, lahir di sebuah kota yang terletak 40 kilo meter sebelah timur Semarang, Jawa Tengah. Kudus, demikian orang menyebut kota tersebut. Oleh orang tuanya, Kiai Shidiq Romo, atau dalam riwayat lain disebut dengan Kiai Sudi Kromo, sosok mungil itu diberi nama Muhammad Syarqawi. Peristiwa kelahirannya tidak tercover secara detail. Tidak adanya sumber data yang memadai, menjadikan data-data dan sejarah kehidupannya lebih didominasi sejarah lisan yang diperoleh dari keturunannya. Kecuali itu, Huub de Jonge dalam bukunya, Madura dalam Empat Zaman, sedikit menjelaskan siapa sesungguhnya Kiai Syarqawi itu. Kiai Shidiq Romo, ayah Kiai Syarqawi, dan Kiai Kanjeng Sinuwun, kakeknya, demikian Jonge, merupakan ulama terkemuka yang pengaruhnya meluas di sekitar kota Kudus. Kudus yang saat itu, bahkan saat ini, merupakan pusat dagang dan pusat perkembangan Islam terpenting di Jawa. Letak geografisnya yang membentang di sepanjang Pantai Utara merupakan jalur strategis perdagangan saat itu. Aset ekonomi wilayah itu dikuasai oleh sejumlah pedagang saleh dan kaya, dan di kalangan mereka terbina hubungan yang harmonis dengan elite keagamaan setempat. Hubungan yang harmonis semacam inilah yang menjadikan kerja sama yang baik antara pemuka agama di satu pihak dan pemilik kapital (baca: pedagang) di pihak lain.

Dalam kultur semacam itulah Kiai Syarqawi mengawali hidupnya. Layaknya tradisi yang berkembang di pemukiman “kaum santri”, Kiai Syarqawi mengawali karir intelektualnya dengan mengembara keluar masuk dunia pesantren. Selama kurang lebih tujuh tahun, beliau ngelmu di Pesantren Sarang, Jawa Tengah. Selain itu, beliau melanjutkan ke Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura di bawah asuhan Kiai Khalil (w. 1923): pesantren paling berpengaruh di Madura dan Jawa pada masanya, dan selanjutnya merantau untuk mendalami pengetahuan agamanya ke Hijaz (Mekkah dan Madinah).
Sosok Kiai Syarqawi merupakan fenomena “santri kelana”, meminjam istilah Zamakhsyari Dhafier, yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mengembara mendalami ilmu pengetahuan. Ini merupakan wujud pengejawantahan pesan-pesan Islam yang menganjurkan untuk memburu ilmu pengetahuan. Sebagaimana diketahui, berkelana dari satu pesantren ke pesantren yang lain untuk mendalami disiplin ilmu tertentu merupakan ciri utama kehidupan di pesantren, dan dengan demikian fenomena ini bisa menyumbangkan adanya hegenomitas sistem pendidikan pesantren sekaligus sebagai stimulasi bagi pengembangan dan kemajuan ilmu.

Beberapa tahun mendalami ilmu pengetahuan di beberapa pesantren, baik di Madura maupun Jawa, Kiai Syarqawi memutuskan untuk menimba ilmu ke tanah Hijaz. Sebagaimana diketahui, Hijaz merupakan pusat dunia Islam dan sumber ngelmu (menimba ilmu pengetahuan). Di samping untuk menunaikan ibadah rukun Islam kelima, Kiai Syarqawi juga mendalami ilmu pengetahuan agama di tanah suci tersebut. Pada masa itu, Hijaz memiliki daya pikat tersendiri bagi orang Nusantara, terutama sejak dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869 di mana arus transportasi ke Hijaz semakin mudah ditempuh dan jumlah jamaah haji kian meningkat. Banyak ulama Nusantara yang mendalami ilmu ke Hujaz, bahkan mereka mukim di sana dan membentuk suatu komunitas Jawah, atau dalam istilah Martin van Bruinessen disebut dengan “masyarakat Jawah Mukim”. Komunitas itu, tegas Bruinessen, dinilai memiliki peran penting sebagai perantara antara orang Nusantara dan gerakan agama maupun politik di bagian dunia Islam lainnya. Ulama semacam Nawawi Banten, Mahfudz Termas, Ahmad Khatib Minangkabau telah berhasil mendidik sejumlah ulama yang kemudian berperan penting di tanah air. Bersama mereka itulah, terutama dengan Kiai Nawawi Banten, Kiai Syarqawi bersahabat, atau mungkin berguru. Bahkan, diduga bahwa komentar-komentar Kiai Syarqawi dikutip oleh Kiai Nawawi Banten dalam karyanya Sullamu at-Tawfiq. Dugaan ini, sebagaimana dituturkan Kiai Abdul Basith AS, dibenarkan oleh Kiai Zaini Mun’im, pendiri Pondok pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, meskipun secara pribadi Kiai Abdul Basith menyangsikan validitas dugaan tersebut.

Tidak saja di Madura, Jawa, dan Hijaz, Perantauan Kiai Syarqawi dalam menuntut ilmu juga sampai ke Pontianak Kalimantan Barat, negeri-negeri tetangga semisal Malaysia dan Pattani, dan juga negeri Piramid (Mesir). Pertualangannya dalam menuntut ilmu, sebelum kemudian menetap di Madura, berlangsung selama tiga belas tahun. Kedatangannya di Madura berawal dari perjumpaannya dengan seorang saudagar kaya sekaligus taat beragama dalam sebuah perjalanan menuju Hijaz. Saudagar tersebut adalah Kiai Gemma beserta istri termudanya, Nyai Khatijah yang keduanya berasal dari Prenduan. Perjalan haji yang dilakukan Kiai Gemma ini memiliki dampak penting bagi perkembangan desanya, yaitu datangnya kyai muda yang berpengaruh dan berdirinya pesantren.

Dalam perjalanan tersebut, Kiai Gemma begitu terkesan dengan gagasan dan tingkah laku seorang kiai muda: Kiai Syarqawi. Di kapal, Kyai Syarqawi dipercaya untuk meminpin shalat berjamaah. Perkenalan tersebut semakin mempererat hubungan keduanya. Bahkan, hingga suatu ketika ajal Kiai Gemma menjelang, Kiai Gemma berwasiat agar Kiai Syarqawi bersedia menikahi istirinya, Nyai Khatijah, apabila ia meninggal dunia. Kiai Syarqawi pun menyetujuinya. Tidak lama berselang, Kiai Gemma jatuh sakit keras hingga ajal menjemputnya. Ia pun dikebumikan di pemakaman Thaif. Kiai Syarqawi pun melaksanakan wasiat itu, dan setelah ibadah haji usai, ia kemudian melangsungkan pernikannya dengan Nyai Khatijah di Prenduan.

Dalam perkembangannya, popularitas kiai muda ini semakin berkibar. Di Prenduan, Kiai Syarqawi membuka pengajian pengajian Al-Quran dan kitab untuk para santrinya dan masyarakat umum. Tidak saja dari masyarakat Prenduan, pengajian yang dilaksanakan Kiai Syarqawi ini juga diikuti oleh tetangga sekitar di luar Prenduan. Dengan demikian, dalam waktu yang relatif singkat, Kyai Syarqawi menjadi sangat masyhur dan terpandang. Kemasyhuran ini tidak saja akibat kemampuan ilmu pengetahuannya, tetapi juga kejurnelannya (kemampuan kanuragannya) yang pada masa itu menjadi bagian terpenting yang harus dimiliki tokoh agama. Kemasyhurannya pun kian meluas hingga kota Sumenep di mana untuk beberapa saat beliau dipercaya untuk menjadi hakim penghulu.

Tingkat popularitas yang demikian cepat, bahkan melampaui popularitas tokoh-tokoh lain di daerahnya, tentu saja menimbulkan sikap antipati dan resistensi dari para pemuka agama tradisional di daerahnya. Melihat fenomena yang sarat intrik semacam itu, di samping lingkungan Prenduan yang kurang kondusif untuk membangun sebuah pesantren, akhirnya Kiai Syarqawi memutuskan untuk meninggalkan Prenduan dan kemudian menetap di Guluk-Guluk, daerah pedalaman sekitas 8 kilo meter sebelah utara Prenduan. Wilayah rintisan pertamanya, Prenduan, dilimpahkan pada santri seniaornya, Chotib, tokoh dan kiai serta pendiri cikal bakal pondok Pesantren Al-Amin.

Guluk-Guluk, secara geografis, terletak di sebelah barat daya kota Sumenep. Daerah yang luas arelanya 1.322.174 ha ini merupakan wilayah perbukitan yang berada di ketinggian 117 meter di atas permukaan laut. Di wilayah inilah Kiai Syarqawi bersama putranya dari Nyai Khatijah, Kiai Bukhari, merintis berdirinya sebuah pesantren yang kelak dikenal dengan Pondok Pesantren Annuqayah. Di atas sebidang tanah bekas kandang kuda pemberian Haji Abdul Aziz, saudagar kaya yang dermawan, beliau mendirikan sebuah bangunan dan sebuah langgar yang terbuat dari bilik bambu. Di bilik yang sederhana itulah Kiai Syarqawi memulai misinya menyebarkan ilmu-ilmunya, seperti membaca Al-Quran serta dasar-dasar keislaman seperti tauhid dan fikih kepada para santrinya. Sejak saat itulah banyak masyarakat sekitar berduyun-duyun datang untuk menimba ilmu meminta fatwanya perihal persoalan-persoalan kemasyarakatan. Semakin hari, jumlah santri yang menetap kian bertambah. Bahkan dikisahkan bahwa pada tahun kelima sejak berdirinya, jumlah santrinya telah mencapai seratus orang yang kemudian ditampung dalam dua belas bangunan bilik.

Demikianlah lembaga ini terus melangsungkan aktifitas pengajarannya. Dengan menggunakan sistem pendidikan tradisional, yaitu sistem sorogan dan wetonan, penggemblengan santri terus dilakukan oleh Kiai Syarqawi dengan penekanan pada pengetahuan agama yang meliputi pemantapan akidah, panduan praktis beribadah, dan pendidikan moral dan tasawuf, ditambah dalam dengan pendalam ilmu tata bahasa Arab.
Melalui pemantapan akidah dan cara berakidah yang tepat, pengajaran cara-cara beribadah, serta penanaman nilai-nilai moral inilah Kiai Syarqawi menjalankan misinya. Misi yang dilaluinya ini bukanlah tanpa hambatan. Hanya saja, hambatan-hambatan itu dihadapinya dengan bijaksana. Alih-alih mau mengaji di Pesantren, masyarakat sekitas pondok pada saat itu jarang sekali yang mau berhubungan dengan pesantren. Belum lagi perilaku masyarakat yang masih dipenuhi bajing (orang jahat) yang suka mencuri, mabuk, dan berjudi. Itu semua merupakan tantangan tersendiri yang patut disikapi secara bijak. Namun demikian, berkat kegigihannya lambat laun tapi pasti, resistensi itu kian hari kian memudar dan selajutnya beliaupun menuai pengakuan.

Annuqayah: Maha Karya Peninggalannya

Annuqayah, demikian nama pesantren yang tidak bisa dipisahkan dengan kemasyhuran Kiai Syarqawi. Pesantren ini telah berjasa mengangkat wibawa Guluk-Guluk melampaui wilayah Pulau Madura hingga Pulau Jawa. Annuqayah merupakan pilihan nama yang tercetus pada kira-kira tahun 1933 ini, memang tidak lahir dari Kiai Syarqawi, melainkan muncul ketika pesantren ini untuk pertama kalinya mengubah sistem pendidikannya dari “model lama” ke model madrasy (klassikal). Tidak ada yang memastikan siapa yang mengusulkan pilihan nama tersebut. Menurut Kiai Abdul Basith AS, ada dua pendapat yang berkembang. Pendapat pertama mengatakan bahwa nama Annuqayah diajukan oleh Kiai Ilyas, putra sulung Kiai Syarqawi dari Nyai Qamariyah. Sementara pendapat kedua mengatakan bahwa nama Annuqayah diajukan oleh Kiai Khazin, salah seorang putra Kiai Ilyas, atas persetujuan ayahnya.

Terlepas dari perbedaan ini, yang jelas bahwa nama Annuqayah, sebagaimana diafirmasi Kiai Abdul Basith, diilhami dari salah satu nama kitab karya Jalaluddin Muhammad bin Abu Bakar as-Syutyuthi (w. 911 H) yang berjudul Itmam al-Dirayah Li Qurra’i al-Nuqayah: sebuah kitab yang merangkum empat belas disiplin ilmu pengetahuan yang meliputi ilmu ushuluddin, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu ushul fiqh, ilmu faraidl, ilmu gramatika (nahwu), ilmu morfologi (tasrif), ilmu tulis menulis (khat), ilu ma’ani, ilmu bayan, ilmu badi’, ilmu anatomi (ilmu al-tasyrih), ilmu kedokteran, dan ilmu tasawuf. Dari nama kitab inilah, nama Annuqayah diambil. Pengambilan nama ini diharapkan bahwa para santri Annuqayah mampu mengusai beragam jenis ilmu pengetahuan, dan dengan demikian, dalam tradisi Annuqayah tidak dikenal dikotomi pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Sungguhpun ada pemilahan ilmu pengetahauan itu hanya pemilahan antara al-ulum al-mahmudah (ilmu-ilmu yang terpuji) dan ilmu-ilmu yang tercela (al-ulum al-Syayyi’ah) sebagaimana kategorisasi Al-Ghazali atau pemilahan antara ilmu yang merupakan keharusan agama (fardlu ‘ain) dan ilmu yang hanya merupakan kewajiban kolektif (fardlu kifayah) sebagaimana kategorisasi Al-Syuyuthi.

Meskipun Kiai Syarqawi tidak merumuskan secara tuntas apa misi dan visi lembaga yang dirintisnya yang kelak dikenal dengan Annuqayah, namun dilihat dan dicermati dari koleksi kitab-kitab beliau, maka, sebagaimana dituturkan Kiai Abdul Basith, dapat dinilai bahwa visi yang hendak diusung adalah membentuk santri–santri yang beriman (mu’min), bertaqwa (muslim), dan berakhlak yang luhur (muhsin) dengan menggunakan nilai-nilai Ahlussunnah wal jamaah. Menurut Kiai Abdul Basith, kitab-kitab yang ditinggalkan Kiai Syarqawi sepenuhnya adalah kitab-kitab fikih Syafiiyah, kitab-kitab akidah Ahlussunnah, serta kitab-kitab tasawuf semisal karya-karya Al-Ghazali. Ajaran-ajaran yang dibawa ulama-ulama Ahlussunnah inilah yang hendak diujiterapkan kepada para santrinya khususnya dan kepada masyarakat sekitar pada umumnya.

Jelaslah bahwa pesantren Annuqayah yang cikal bakalnya dirintis Kiai Syarqawi ini mewarisi tradisi keilmuan pesantren yang demikian kaya yang membentang sejak awal mula Islamisasi Nusantara. Sebagaimana disimpulkan Abdurrahman Wahid bahwa akar-akar keilmuan pesantren telah mampu membentuk sebuah genre yang unik. Kuatnya genre fiqh sufistik, demikian dia mengistilahkan, di awal masuknya Islam misalnya, di satu pihak dan genre “fiqh murni” pada babakan selanjutnya di pihak lain yang mewarnai keilmuan pesantren hingga kini dapat dilacak pada awal masuknya Islam ke Nusantara, bahkan jauh sebelumnya.

Paling tidak ada dua gelombang keilmuan yang membentuk tradisi dan genre keilmuan Islam di dunia pesantren. Gelombang pertama terjadi seiring dengan masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi. Pada gelombang pertama ini, corak keilmuan Islam hadir dalam bentuk tasawuf. Perlu dicatat bahwa tasawuf yang diusungnya sangat ketat terikat dengan rambu-rambu syari’ah. Masuknya Islam ke Nusantara pada masa itu sudah membawa bentuk sebagaimana dikembangkan di Persia dan anak Benua India yang memang bernuansa sufistik. Oleh karena itu, kita menjumpai bahwa tasawuf menjadi orientasi keilmuan pesantren yang dominan saat itu. Buku-buku yang menyandingkan antara tasawuf dan fikih menjadi materi pelajaran yang utama. Sebut saja misalnya Ihya Ulumiddin dan Bidayatul Hidayah karya Al-Ghazali. Kitab-kitab jenis ini hingga kini masih menjadi konsumsi masyarakat pesantren.

Gelombang kedua yang terjadi sekitar abad ke-19 melahirkan corak keilmuan baru bagi tradisi keilmuan pesantren yang sedikit berbeda dengan corak keilmuan yang terjadi pada gelombang pertama. Gelombang ini berawal bangkitnya ekonomi warga di beberapa daerah sehingga berhasil meningkatkan taraf kesejahteraan kehidupannya. Meningkatnya akumulasi kekayaan masyarakat inilah mendorong sebagian mereka untuk mengirimkan anak-anaknya untuk belajar ke Timur Tengah, tepatnya Mekkah. Pada saat yang sama, dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 semakin memperlancar arus transportasi ke negara tujuan. Demikianlah terjadi arus pengiriman anak-anak muda untuk mendalami keilmuan keislaman di Mekkah yang akhirnya berhasil membentuk komunitas ulama yang demikian solid. Muncullah nama-nama semisal Kyai Nawawi Banten, Kyai Mahfuz Termas, Kyai Abdul Gani Bima, Kyai Arsyad Banjarmasin, Kyai Abdus Shamad Palembang, Kyai Khalil Bangkalan, Kyai Hasyim Asy’ari, dan sederet nama-nama lain hingga saat ini. Mereka itu telah membawa warna baru bagi corak keilmuan pesantren, yaitu pendalaman ilmu fiqh secara tuntas. Hal ini tampak dari karya-karya mereka seperti Sabilal Muhtadin karya Arsyad Banjar, Nihayatuz Zein, Uqudu Lujjain karya Nawawi Banten, dan semacamnya.

Dengan demikian, tradisi keilmuan pesantren mewarisi dua kecenderungan dominan ini, tidak terkecuali Pondok Pesantren Annuqayah. Di satu pihak, nuansa fiqh sufistik demikian kentara, dan di pihak lain pendalaman ilmu fiqh tetap menjadi prioritas. Jangan heran apabila kita berkunjung ke pesantren, dominasi buku-buku fiqh, di samping buku-buku tasawuf mewarnai etalase perpustakaannya. Tentu saja, kita tidak menafikan sejumlah kitab-kitab ilmu bantu, semisal ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharraf, dan Balaghah yang juga memenuhi lemari perpustakaan.

Sebagaimana dituturkan Kiai Abdul Basith, di antara koleksi kitab-kitab Kiai Syarqawi adalah kitab-kitab karya Kiai Nawawi Banten, bahkan dapat dikatakan bahwa karya-karya Kiai Nawawi Banten begitu mewarnai koleksi kitab-kitabnya. Ini menandai bahwa kedekatan Kiai Syarqawi dengan Kiai Nawawi tidak semata-mata kedekatan fisik selama di Hijaz, tetapi juga kedekatan intelektual yang terlihat dengan kedekatan Kiai Syarqawi dengan karya-karya Kiai Nawawi Banten.

Peran Politik

Pada masa Kiai Syarqawi, Sarekat Islam (SI) begitu populer di kalangan masyarakat Madura. Bahkan kebanyakan ulama di wilayah ini terlibat aktif dalam perkumpulan politik ini, tidak terkecuali Kiai Syarqawi. Sungguhpun demikian, tidak dijumpai keterangan mendetail mengenai keterlibatan Kiai Syarqawi dalam organisasi politik ini. Tapi, ada yang mengatakan bahwa Kiai Syraqawi pernah menjabat sebagai ketua Residen Sarekat Islam wilayah Madura. Iik Arifin Mansurnoor mencatat bahwa pada paroh kedua tahun 1910-an, kebanyakan ulama di wilayah (Madura) terlibat aktif dalam Sarekat Islam ketika organisasi politik ini begitu gencarnya melakukan rekruitmen anggota dan kampanye-kampanye yang intensif (“most ulama di the region joined the SI when it was recruiting members and conducting an intensive campaign during the second half of the 1910’s). Dari data ini, dimungkinkan bahwa Kiai Syarqawi juga terlibat dalam organisasi politik ini meskipun keterlibatan tidak terlalu lama. Mengingat bahwa pada tahun 1910, tahun di mana SI begitu giat melakukan pendataan angggota, Kiai Syarqawi mengakhiri usianya.

Demikianlah riwayat singkat “sang pewaris Nabi”. Kehadirannya telah memberikan warna lain bagi kehidupan masyarakat Prenduan dan Guluk-Guluk khususnya, dan masyarakat Madura, Jawa dan sekitarnya secara umum. Ia telah menyisakan maha karya yang luar biasa yang kini masih tegar memproduksi kader-kader “pewaris Nabi”, yaitu Pondok Pesantren Annuqayah. Pergulatannya dalam proses pengajaran masyarakat dan pendidikan para santrinya telah berhasil mengubah Guluk-Guluk yang semula “redup” menjadi “benderang”. Semoga Tuhan senantiasa membarikan rahmat kepadanya, Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Bisri Effendy, Annuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura, (Jakarta: P3M, 1990)
De Jonge, Huub, Madura Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam (Studi Antropologi Ekonomi), (Jakarta, Gramedia, 1989)
_______(ed.),Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi,(Jakarta: Rajawali Press, 1989)
Mansurnoor, Iik Arifin, Islam in an Indonesian World Ulama of Madura,( Yogyakarta: UGM Press, 1990)
Tim Penyusun, Satu Abad Annuqayah: Peran Pendidikan, Politik, Pengembangan Masyarakat (Madura: PPA, 2000)
Tim Penyusun, Silsilah KH. Moh Syarqowi: Pendiri Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura,(Madura: IPBS, 1999)
Wawancara dengan KH. Tsabit Khazin, salah satu Cicit KH. Mohammad Syarqawi, dan Kiai Abdul Basith Abdullah Sajjad, salah satu cucunya.



Tulisan ini dimuat dalam buku serial buku Inteletualisme Pesantren, seri 2 yang berjudul Mastuki HS, M.Ag dan M. Ishom El-Saha, M. Ag [ed.], Intelektualisme Pesantren: potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), h. 169-176