Sekitar akhir paroh pertama atau awal paroh kedua abad ke-19, sosok mungil yang kelak menyinari bumi Guluk-Guluk, lahir di sebuah kota yang terletak 40 kilo meter sebelah timur Semarang, Jawa Tengah. Kudus, demikian orang menyebut kota tersebut. Oleh orang tuanya, Kiai Shidiq Romo, atau dalam riwayat lain disebut dengan Kiai Sudi Kromo, sosok mungil itu diberi nama Muhammad Syarqawi. Peristiwa kelahirannya tidak tercover secara detail. Tidak adanya sumber data yang memadai, menjadikan data-data dan sejarah kehidupannya lebih didominasi sejarah lisan yang diperoleh dari keturunannya. Kecuali itu, Huub de Jonge dalam bukunya, Madura dalam Empat Zaman, sedikit menjelaskan siapa sesungguhnya Kiai Syarqawi itu. Kiai Shidiq Romo, ayah Kiai Syarqawi, dan Kiai Kanjeng Sinuwun, kakeknya, demikian Jonge, merupakan ulama terkemuka yang pengaruhnya meluas di sekitar kota Kudus. Kudus yang saat itu, bahkan saat ini, merupakan pusat dagang dan pusat perkembangan Islam terpenting di Jawa. Letak geografisnya yang membentang di sepanjang Pantai Utara merupakan jalur strategis perdagangan saat itu. Aset ekonomi wilayah itu dikuasai oleh sejumlah pedagang saleh dan kaya, dan di kalangan mereka terbina hubungan yang harmonis dengan elite keagamaan setempat. Hubungan yang harmonis semacam inilah yang menjadikan kerja sama yang baik antara pemuka agama di satu pihak dan pemilik kapital (baca: pedagang) di pihak lain.