Wednesday, February 08, 2012

Pesantren Tak Gamang Menjajaki Perubahan

A. Fawaid Sjadzili

Akar Tradisi Pesantren

Kendati belum ada bukti-bukti yang meyakinkan mengenai tahun awal keberadaannya, pesantren diperkirakan tersebar di pelbagai tempat semenjak meluasnya dakwah sembilan ulama sufi atau mereka yang biasa dikenal sebagai Wali Songo[1] pada abad ke-15 M, seiring dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa yang sedikit demi sedikit mulai mengambil alih pengaruh kekuatan Hindu-Budha yang cenderung merosot akibat jatuhnya kerajaan Majapahit. Proses peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Mataram ini menjadi faktor determinan dalam proses Islamisasi Jawa. Bahkan, sebagaimana diungkapkan Soebardi, jauh sebelum wilayah pesisir Jawa dikuasai Belanda, lembaga keagamaan ini telah dikenal dengan baik di pedesaan Jawa. [2] Lebih jauh Soebardi menuturkan bahwa lembaga keagamaan ini telah muncul pada masa Jawa lama (past Javanese). Ini terbukti dengan konversi besar-besaran yang dilakukan asketis terkemuka (guru) Hindu-Budha kepada agama Islam. Pada mulanya para guru-guru itu mendirikan sejumlah lembaga keagamaan, mirip pesantren, yang mengajarkan kebijaksaan Hindu-Budha dan pengetahuan mistik. Karena alasan inilah banyak pengamat, di antaranya Karel A. Steenbrink, [3] yang menjelaskan bahwa pendidikan pesantren, baik dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India.


Berbeda dengan Steenbrink, Lombard membantah anggapan bahwa pesantren adalah lembaga impor. Ia menegaskan bahwa pesantren adalah kesinambungan (continuity) dan modifikasi dari suatu lembaga yang hadir sebelumnya. [4] Untuk mengukuhkan tesisnya, Lombard menjelaskan bahwa di Jawa kuno, terutama masyarakat bagian timur pulau itu, terdapat jenis lembaga pertapaan para resi. Lembaga-lembaga ini dikenal dengan nama dharma, mandala, atau pertapaan, dan lembaga-lembaga tersebut ternyata memiliki kemiripan dengan struktur pesantren. [5] Sedikitnya ada tiga persamaan mendasar. Pertama, lokasinya yang jauh dari keramaian dan jauh dari pusat kekuasaan politik. Memang, dalam sejarahnya pesantren didirikan di daerah pedalaman. Di samping untuk membentengi diri dari panetrasi “dunia luar”, pesantren didirikan di wilayah pedalaman untuk semakin mengkonsentrasikan dirinya dalam menggali ilmu pengetahuan. Baik santri maupun petapa membutuhkan ketenangan untuk merenungi kediriannya.
Kedua, jalinan yang begitu erat antara murid dan guru, santri dan kyai. Jalinan semacam ini sebenarnya sudah tampak sebagai ikatan pokok pada zaman kerajaan Hindu-Jawa. Dalam perkembangannya, jalinan semacam ini oleh lembaga tarekat diperkenalkan hingga pada tingkat pesantren. Ini disebabkan karena seringkali kyai sebuah pesantren merangkap sebagai syekh tarekat tertentu. Kyai-kyai, sebagaimana syekh-syekh tarekat, mengajarkan latihan-latihan tertentu dan bimbingan spiritual, dan pada saat yang sama si murid atau santri, sebagai imbalannya, menghormati dan mematuhinya. Hubungan-hubungan khusus semacam ini tetap berlanjut meskipun sang santri itu telah tamat menyelesaikan pendidikan dan latihannya di lembaga tersebut dan kembali ke habitatnya semula.

Persamaan ketiga, sebagai konsekuensi dari persamaan kedua adalah terawatnya kontak dan jalinan antardharma, demikian juga jalinan antarpesantren (antarkyai), serta kebiasaan berkelana untuk melakukan pencarian rohani dan intelektual dari satu pusat ke pusat lainnya. Corak kelana dalam dalam pencarian ini menemukan landasan normatifnya, baik dalam kita suci (At-Tawbah [9]: 122) maupun sunnah nabi. Di antara hadis yang populer di kalangan pesantren adalah kewajiban mencari ilmu dari buaian hingga liang lahat, di samping kewajiban mencari ilmu walaupun ke negeri Cina. Pesan-pesan normatif semacam ini cukup memberi stimulus pada seseorang untuk senantiasa mengembara dari satu pusat ke pusat lainnya untuk mematangkan dan memantapkan keilmuannya. Dengan pola pertualangan dan pengembaraan semacam ini, yang menjadi ciri utama pesantren, telah menyumbangkan adanya kesatuan sistem pendidikan pesantren. [6] Selain itu, pola terakhir ini semakin diperkuat dengan adanya tradisi di kalangan pesantren untuk mewariskan tongkat kepemimpinannya pada keluarga terdekat ditambah lagi dengan adanya jaringan aliansi pernikahan antara keluarga kyai serta pengembangan transmisi pengetahuan dan transmisi intelektual antarsesama kyai dan keluarganya. [7] Dengan cara inilah kontak dan jalinan antarpesantren bisa terawat dengan baik.

De Graaf dan Pigeaud mencatat bahwa pesantren waktu itu telah berkembang menjadi pusat keagamaan yang sama sekali tidak bisa diremehkan perannya dalam memperkenalkan Islam kepada para penduduk, khususnya di kawasan pedalaman. Dari masjid-masjid yang dibangun di tengah masyarakat pesisir sebagai tempat persemaian pertama, Islam selanjutnya masuk ke pelosok-pelosok pedesaan dan menancapkan akarnya dalam wujud aktivitas pendidikan agama yang tak lain digerakkan oleh pesantren. [8]
Selain Maulana Malik Ibrahim, [9] salah satu dari Wali Songo yang paling senior yang dianggap sebagai perintis, Sunan Giri, misalnya, tercatat pernah mendirikan beberapa pesantren, yang bukan hanya dihuni santri-santri asal Surabaya, tetapi juga para perantau dari Madura, Lombok, Makasar, dan Ternate. Pesantren yang didirikan putera Maulana Ishak ini konon bertahan sampai abad ke-17. [10] Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan Arab. Ia sempat menghadap Raja Majapahit dan mengajaknya untuk memeluk agama Islam, betapapun ajakan ini ternyata tidak membuahkan hasil. Namun demikian, Malik Ibrahim dihadiahi sebidang tanah di Gresik oleh sang Raja, yang kemudian ditempatinya selama 20 tahun, sebelum ajal menjemputnya tanggal 12 Rabiul Awal 882 H/1419 M. [ 11] Sementara Sunan Giri yang juga disebut Joko Samudro atau Raden Paku adalah seorang pedagang, seniman, sekaligus ulama termasyhur dan sangat disegani. Di samping mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada para santrinya, serta dikenal sebagai pencipta tembang Asmaradana dan Pucung, ia pun kerap melakukan perjalanan dagang ke pulau-pulau di seberang lautan. Aktivitas ini semakin memperluas kesempatannya untuk berdakwah di luar Jawa, khususnya di belahan timur Nusantara, yang karena latar belakang ini pula Sunan Giri kemudian berhasil mengislamkan rakyat pulau Timor, sehingga mulai saat itu, kedatangannya selalu disambut warga dan Raja setempat dengan iringan musik dan tembakan. [12]
Gambaran di atas semakin mengukuhkan pandangan bahwa Islam datang dan mudah menyebar di Nusantara, khususnya Jawa, karena wataknya yang sufistis. [13] Diduga karena wataknya yang sufistis inilah Islamisasi di Nusantara, khususnya Jawa, tidak terlalu banyak menimbulkan ketegangan dengan unsur esoteris pribumi yang mewarisi tradisi lama Hindu dan Budha. Bahkan dapat dikatakan bahwa periode penyebaran Islam awal ini lebih berorientasi pada Islamisasi unsur mistik dari pada pemurnian akidah yang ketat dan pengenalan syari’ah. [14] Terlebih lagi Islam masuk ke Jawa ketika sufisme sudah begitu kuat dipengaruhi kitab Ihya’ Ulumiddin-nya Al-Ghazali. [15] Besarnya peran ulama sufi di balik proses penyebaran pesantren pada babakan awal sejarahnya tentu saja membawa konsekuensi kultural tersendiri. Paling tidak, praktik-praktik keagamaan yang dijalankan serta olah intelektual yang diintrodusir di dalamnya sulit dilepaskan dari pengaruh tradisi tasawuf yang merupakan wajah dominan Islam sebelumnya.

Sebagaimana penuturan Alwi Shihab, Wali Songo adalah pengamal ajaran tasawuf, yang garis nasab dan akar jaringan keilmuannya dapat dilacak pada generasi awal kaum Asyraf atau ‘Alawi[16] di Nusantara, yaitu para keturunan Imam Ahmad Al-Muhajir dari Hadramaut, yang merupakan pengikut mazhab Syafi’i di bidang fikih serta penganut konsep sufisme Al-Ghazali. [17] Dengan kata lain, unsur tasawuf pada gilirannya menjadi bagian dari realitas kehidupan pesantren yang tak terbantahkan, yang lambat laun semakin sulit dihindari keterlibatannya dalam pembentukan karakter keagamaan lembaga pendidikan tradisional Islam ini.
Abdurrahman Wahid[18] dengan sangat tepat menggambarkan akar-akar keilmuan pesantren sehingga membentuk sebuah genre tersendiri. Kuatnya genre fiqh sufistik, demikian dia mengistilahkan, di awal masuknya Islam misalnya, di satu pihak dan genre “fiqh murni” pada babakan selanjutnya di pihak lain yang mewarnai keilmuan pesantren hingga kini dapat dilacak pada awal masuknya Islam ke Nusantara, bahkan jauh sebelumnya. Setidaknya ada dua gelombang keilmuan yang membentuk tradisi dan genre keilmuan Islam di pesantren. Gelombang pertama terjadi bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi. Pada gelombang pertama ini, corak keilmuan Islam hadir dalam bentuk tasawuf. Tentu saja tasawuf yang diusungnya tidak lepas dari rambu-rambu syari’ah. Masuknya Islam ke Nusantara pada masa itu sudah membawa bentuk sebagaimana dikembangkan di Persia dan anak Benua India yang memang bernuansa sufistik. Demikianlah, kita jumpai bahwa tasawuf menjadi orientasi keilmuan pesantren yang dominan saat itu. Buku-buku yang menggabungkan antara tasawuf dan fikih menjadi materi pelajaran yang utama. Sebut saja misalnya Ihya Ulumiddin dan Bidayatul Hidayah karya Al-Ghazali. Buku-buku tersebut hingga kini masih menjadi konsumsi masyarakat pesantren.

Berbeda dengan gelombang pertama, gelombang kedua yang terjadi sekitar abad ke-19 melahirkan corak keilmuan baru bagi tradisi keilmuan pesantren. Bermula dari dibukanya lahan perkebunan tebu, kopi, dan tembakau di beberapa daerah ternyata berhasil meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Meningkatnya akumulasi kekayaan masyarakat inilah mendorong sebagian mereka untuk mengirimkan anak-anaknya untuk belajar ke Timur Tengah. Pada saat yang sama, dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 semakin memperlancar arus transportasi ke negara tujuan. Demikianlah terjadilah massifikasi pengiriman anak-anak muda untuk mendalami keilmuan keislaman di Mekkah yang akhirnya berhasil membentuk korp ulama yang demikian solid. Muncullah nama-nama semisal Kyai Nawawi Banten, Kyai Mahfuz Tremas, Kyai Abdul Gani Bima, Kyai Arsyad Banjarmasin, Kyai Abdus Shamad Palembang, Kyai Khalil Bangkalan, Kyai Hasyim Asy’ari, dan sederet nama-nama lain hingga saat ini. Mereka itu telah membawa warna baru bagi corak keilmuan pesantren, yaitu pendalaman ilmu fiqh secara tuntas. Hal ini tampak dari karya-karya mereka seperti Sabilal Muhtadin karya Arsyad Banjar, Nihayatuz Zein dan Uqudu Lujjain karya Nawawi Banten, dan semacamnya.

Dengan demikian, tradisi keilmuan pesantren mewarisi dua kecenderungan dominan ini. Di satu pihak, nuansa fiqh sufistik demikian kentara, dan di pihak lain pendalaman ilmu fiqh tetap menjadi prioritas. Jangan heran apabila kita berkunjung ke pesantren, dominasi buku-buku fiqh, di samping buku-uku tasawuf mewarnai etalase perpustakaannya. Tentu saja, kita tidak menafikan sejumlah kitab-kitab ilmu bantu, semisal ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharraf, dan Balaghah yang juga memenuhi lemari perpustakaan.

Demikianlah tasawuf dan fiqh berjalin berkelindan. Tasawuf sendiri menggambarkan suatu pedoman etis kehidupan yang terkait dengan usaha mendekatkan diri kepada Allah secara intensif dalam rangka menggapai hakikat transendental, sekaligus menuai kebahagiaan jiwa yang disertai oleh meningkatnya kesadaran ilahiah dan kepuasan mental spiritual. Inti ajarannya terletak pada anjuran untuk menjauhkan hati, pikiran, dan perbuatan dari segala macam hawa nafsu serta orientasi-orientasi duniawi yang dikhawatirkan dapat mengurangi kualitas moral keagamaan seseorang dan menghambat jalan pendakian ruhaninya menuju puncak. Sementara fiqh mengajarkan pedoman dan panduan praktis dalam kehidupan sehari-hari, baik menyangkut ibadah, muamalah, dan jinayah.

Sementara itu, kuatnya kecenderungan pada mazhab Syafi’i dan Al-Ghazali tidak disangsikan lagi memperkuat nuansa ahlussunnah wal jama’ah yang menjadi prinsip dasar keyakinan masyarakat pesantren. Keterikatan penuh dengan tradisi fiqh di satu pihak, yang direpresantasikan dengan figur imam madzab yang empat, khususnya Syafi’i (lebih tepatnya Syafi’iyah) dan tradisi tasawuf, terutama ajaran Al-Ghazali, di pihak lain menunjukkan jalinan yang kuat dunia pesantren dengan Timur Tengah. Sebagaimana diakui van Bruinessen, berdasarkan penelitian Drewes, kitab-kitab yang dipelajari di Jawa sama sekali tidak menunjukkan spekulasi metafisis dan sinkretisme yang begitu sering disandingkan dengan ciri Islam Jawa. Mereka, tambah Bruinessen, mencerminkan tradisi ortodok (fiqh Syafi’i, doktrin teologi Asy’ari, dan anjuran-anjuran moral Al-Ghazali) tanpa pengaruh tradisi lokal. [19]

Contoh pengaruh tasawuf dalam praktik keagamaan dan tradisi keilmuan pesantren ini tampak misalnya dari kebiasaan para santri melakukan amalan tertentu di luar amalan wajib, semisal puasa sunnat, shalat rawatib, dan kebiasaan wirid dan dzikir setiap kali selesai melaksanakan shalat. Kebiasan semacam ini di kalangan pesantren di kenal dengan tarekat. Jadi tarekat tidak selalu mengambil bentuk lembaga atau organisasi tertentu sebagai mediumnya, tetapi juga melalui amalan-amalan dan praktik-praktik harian semacam itu. Dalam tradisi pesantren, tarekat dipahami sebagai suatu kepatuhan secara ketat kepada aturan-aturan syariah dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual maupun sosial. [20] Selain itu, meningkatnya lembaga-lembaga tarekat juga menjadi faktor lain pengaruh tasawuf di kalangan masyarakat pesantren. Bahkan tidak jarang kyai pesantren juga pada saat sama berprofesi sebagai guru tarekat.

Di pihak lain, meningkatnya kuantitas jamaah haji, di samping meningkatnya santri yang mendalami ilmu di Timur Tengah, menjadi “sistem komunikasi” efektif antara umat Islam di Nusantara dengan Timur Tengah. Sistem komunikasi ini terbangun baik melalui jamaah haji atau santri yang belajar di Timur Tengah. Memang, di pengujung abad ke 19 dan awal abad ke-20, jumlah jamaah haji Indonesia meningkat mencapai 10 sampai 20 persen dari seluruh jamaah haji asing. [21] Meningkatnya jamaah haji ini dapat dipahami karena beberapa tahun sebelumnya orang Indonesia tidak bisa melaksanakan ibadah haji akibat proteksi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, [ 22] di samping juga karena sulitnya arus transportasi. Sebagaimana digambarkan Sartono Kartodirjo, meningkatnya jamaah haji, di samping meningkatnya jumlah pesantren dan lembaga-lembaga sufi, menandai era kebangunan agama. [23] Era ini ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ortodoksi Islam di Indonesia. Ortodoksi Islam ini lambat laun menggeser dan mengambil alih pengaruh mistisisme yang diwarisi dari tradisi sebelumnya. Lembaga-lembaga pendidikan yang semula kental nuansa sinkretiknya, maka dengan hadirnya para kyai yang terlatih di Mekkah dan kemudian mendirikan pesantren, secara perlahan tapi pasti melunturkan nuansa sinkretik yang begitu kuat mengakar di masyarakat. Pesantren yang merupakan pusat kebudayan santri ini semakin berkembang dalam arti sesunguhnya. Pusat-pusat kebudayaan yang dikembangkan para haji inilah yang oleh Benda disebut sebagai “mikrokosmos Timur Tengah (Arab/Islam)”. [24]

Posisi sentral pesantren dalam menyebarkan Islam memang tidak dengan serta merta dapat dijadikan alasan untuk menafikan kontribusi para juru dakwah yang bergerak secara perorangan ke tempat-tempat yang jauh dari kota pelabuhan, yang tentu tidak selalu memilih pendidikan sebagai satu-satunya media dalam menjalankan misi keagamaannya. Sebagaimana juga lembaga tarekat yang tidak mungkin dipungkiri peran pentingnya dalam menyebarkan dan mengembangkan agama Islam setelah kedatangannya yang pertama di sekitar abad ke-7 melalui jalur perdagangan. [25] Lebih dari itu, lembaga yang mengkonsentrasikan dirinya pada pengorganisasian kegiatan-kegiatan sufistik ini, yang tak jarang menunjukkan adanya gejala saling kait mengkait dengan komunitas pesantren, [26] memiliki andil cukup besar dalam proses transformasi dan penyebaran Islam. Namun yang pasti, kehadiran pesantren tidak bisa dilepaskan dari upaya pemapanan “tradisi agung” (great tradition), sebagaimana diistilakan van Bruinessen, melalui pendidikan. Pada saat yang sama, pesantren juga menjadi semacam medium “pengendalian ideologis” demi memapankan keyakinan ahlussunnah wal jamaah dan sarana pengamanan diri dari panetrasi ajaran kolonialis dan faham-faham kelompok anti-madzhab. Keputusan memilih desa dan wilayah pedalaman sebagai lahan untuk membina dan mengembangkan Islam bukanlah tanpa alasan, melainkan lebih dipengaruhi oleh kebencian mereka terhadap penjajah. [27]
Dengan demikian, keberadaan pesantren di masa awalnya merupakan bagian integral dari medium dakwah Islam di masyarakat melalui sarana dan metode yang tidak menghapus seluruh sendi-sendi yang ada di masyarakat. Modifikasi-modifikasi tradisi dan dikemas dengan nilai-nilai keislaman itulah yang menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif di masanya, bahkan hingga kini.

Pesantren Menjajaki Perubahan

Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Dengan menyediakan kurikulum yang berbasis agama, pesantren diharapkan mampu melahirkan alumni yang kelak diharapkan mampu menjadi figur agamawan yang demikian tangguh dan mampu memainkan dan membiaskan peran propetiknya pada masyarakat secara umum. Artinya, akselerasi mobilitas vertikal dengan penjejalan materi-materi keagamaan menjadi prioritas, untuk tidak mengatakan satu-satunya prioritas, dalam pendidikan pesantren.
Menjadikan pendidikan agama sebagai prioritas ini didasarkan pada semangat ‘ibadah’ yang menjadi motivasi pendiri pesantren bersangkutan. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila munculnya pesantren pada masa-masa awal berdirinya tidak didasarkan pada orientasi tertentu yang sifatnya duniawi semisal orientasi lapangan penghidupan atau jabatan tertentu dalam hirarki sosial, melainkan semata-mata pengembangan agama yang bernilai ibadah. Ini misalnya terlihat dalam bacaan doa yang populer di kalangan pesantren yang berbunyi: “Wahai Tuhanku, jangan jadikan orientasi duniawi sebagai impian utama kami, dan jangan jadikan orientasi duniawi sebagai target keilmuan kami… .” (Allâhumma lâ taj’ali al-dunyâ akbara hamminâ, wa lâ mablagha ‘ilminâ…). Doa ini dengan tegas menampik orietasi duniawi sebagai impian dan target pengembaraan intelelektualnya. Ini artinya bahwa ketulusan meraih rida Allah menjadi impian para santri dalam menuntut ilmu. Begitu kuatnya orientasi meraih rida Allah, kalangan pesantren pada masa penjajahan Belanda menolak priyayiisme yang sengaja diciptakan Belanda untuk mencemari ketulusan niat pencari ilmu dengan memberikan iming-iming ‘nilai lain’ dalam mencari ilmu. Penolakan tersebut, jelas Sahal Mahfudh, [28] menunjukkan munculnya watak mandiri yang menjadi ciri dan identitas pesantren sekaligus penolakan terhadap pengakuan pemerintah Belanda saat itu.

Namun demikian, dalam perjalanan waktu, watak mandiri yang menjadi ciri pembeda pesantren itu lambat laun tergerus. Orientasi meraih ijazah sebagai simbol keberhasilan dan prasyarat mengisi lowongan kerja mulai menggejala. Belum lagi pesantren melalui madrasah yang didirikannya juga memburu akreditasi pemerintah sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap madrasah bersangkutan. Dan dengan pengakuan pemerintah, ijazah yang dikeluarkan madrasah menjadi ‘layak jual’ dalam kompetisi mencari kerja. Seiring dengan gegap gempita dan kompetisi sistem pendidikan yang ada, di samping orientasi mencari kerja di kalangan alumni pesantren, pesantren pun mulai berpikir untuk merespons proyeksi mencari kerja di kalangan alumninya.

Dalam konteks semacam ini, pesantren pun menyadari bahwa penggiatan diri melulu pada wilayah keagamaan tidak lagi memadai. Tanpa harus menepikan motivasi ibadah dalam perburuan ilmu pengetahuan, pesantren dituntut untuk senantiasa apresiatif sekaligus selektif dalam menyikapi dan merespons perkembangan. Pragmatisme budaya yang kian menggejala sejatinya bisa dijadikan pertimbangan lain bagaimana seharusnya pesantren menyiasati fenomena tersebut. Ruang implementasi pesantren yang hanya berkutat pada wilayah keagamaan sudah seharusnya diperluas dengan melengkapi dan menciptakan alternatif-alternatif baru yang dapat menopang establisasi pesantren di tengah ancaman modernitas semacam itu. Sistem klasikal dan berjenjang dengan kurikulum yang mulai terstruktur merupakan salah satu wujud respons pesantren terhadap pergeseran orientasi itu.

Mengikuti penjelasan Steenbrink, [29] bahwa sejak permulaan abad ke-20 telah terjadi perubahan besar dalam pendidikan Islam Indonesia atau pesantren. Perubahan, atau lebih tepatnya pergeseran, ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, kolonialisme dan sistem pendidikan liberal. Propaganda sistem pendidikan liberal yang diusung Belanda tentu saja berdampak pada sistem pendidikan pesantren: sebauh lembaga “pribumi” tertua di tanah air. Sebagaimana diketahui, pada dasawarsa terakhir abad ke-19, Belanda mulai memperkenalkan sistem pendidikan liberal. Meskipun pada saat itu, lembaga pendidikan tersebut hanya dibatasi pada kalangan kelas tertentu, namun dalam perkembangannya—utamanya setelah dilaksanakannya ethische politiek pada awal abad ke-20—berdirilah lembaga pendidikan kolonial yang diperuntukkan pada seluruh rakyat, termasuk umat Islam Indonesia. Tentu saja, dengan hadirnya lembaga pendidikan tersebut, posisi pesantren semakin terancam.

Meskipun demikian, kecurigaan pesantren terhadap ancaman lembaga pendidikan kolonial tidak selalu berwujud penolakan yang a priori. Karena, di balik penolakannya, pesantren diam-diam melirik metode yang digunakannya untuk kemudian mencontohnya. Fenomena “menolak sambil mencontoh”, demikian Karel Steenbrink mengistilahkannya, [30] tampak dalam perkembangan pesantren di Jawa. Ini terlihat, misalnya, dengan diajarkannya pengetahuan umum semisal bahasa Melayu dan Belanda, sejarah, ilmu hitung, ilmu bumi, dan sebagainya. Pada tahun 1934, Wahid Hasyim atas restu ayahnya, Hasyim Asy’ari, mendirikan madrasah Nidhomiyah di mana pengajaran pengetahuan umum mencapai 70 persen dari keseluruhan kurikulum yang diajarkan. [31] Ini merupakan salah satu respons pesantren dalam menyiasati tuntutan zaman yang tujuannya bukan mengurangi keunikan pesantren itu sendiri, melainkan justru melengkapi dan memperluas cakupan keilmuannya.

Kedua, orientasi keilmuan pendidikan pesantren. Tidak seperti pada abad XVI-XVIII, orientasi keilmuan pesantren abad XX tidak lagi terpusat ke Hijaz, melainkan merambah ke wilayah Timur Tengah lainnya, semisal Mesir, Baghdad, atau bahkan ke Eropa. Peralihan orientasi pendidikan orang pesantren ini mengindikasikan bahwa Hijaz tidak lagi menjadi cita-cita ideal dan pusat kosmik, meminjam istilah Bruinessen, pendidikan pesantren abad ini. Perluasan jaringan intelektual yang tidak saja ke Hijaz ini, tetapi juga ke wilayah lainnya, turut mewarnai produk keilmuan pesantren dan diversivikasi literatur yang dihasilkannya. Lahirnya karya-karya intelektual dengan ragam disiplin keilmuan menjadi bukti luasnya cakupan keilmuan pesantren abad itu. Tidak seperti pada abad-abad sebelumnya di mana intelektual pesantren hanya melahirkan karya-karya tentang akidah, fikih, dan tasawuf, intelektual pesantren abad ini—di samping tiga disiplin itu—telah menghasilkan khazanah intelektual yang kaya, meliputi ilmu falak, mantiq, sejarah, kritik sosial, dan semacamnya.

Ketiga, gerakan pembaharuan Islam. Munculnya gerakan pembaharuan Islam di tanah air–sebagai pengaruh pembaharuan Islam di belahan dunia lainnya—mulai tampak pada awal abad ke-20. Oleh para pembaharu yang tampak kebarat-baratan, pesantren ditengarai sebagai lembaga pendidikan “kolot” yang hanya mengajarkan keilmuan “langit” dengan melupakan pijakannya di bumi. Menyikapi kritik semacam itu, pesantren meresponsnya secara beragam, mulai dari penolakan dan konfrontasi hingga kekaguman dan peniruan naif terhadap pola pendidikan Barat.
Oleh karena itu, tidak sedikit pesantren yang tetap pada pola lamanya dengan menolak segala hal yang berbau Barat. Bertahannya pesantren-pesantren dengan sistem salaf, misalnya, dapat dijadikan contoh fenomena ini. Sebalikya, di pihak lain, munculnya sejumlah pesantren dengan label dan simbol-simbol yang tampak modern menjadi contoh lain kuatnya pengaruh pendidikan Barat yang diusung para pembaharu bagi dunia pesantren.

Selain itu, ada faktor keempat yang turut ambil bagian dalam mengubah kecenderungan pesantren selama ini, yaitu persentuhan dengan dunia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Khususnya pada awal-awal tahun 70-an melalui proyek pemberdayaan masyarakat melalui pesantren, LP3ES mengadakan Latihan Tenaga Pengembangan Masyarakat (LTPM) dengan melibatkan sejumlah pesantren sebagai pilot project bagi rencana program selanjutnya. Hasilnya, pesantren relatif lebih terbuka dan memberi ruang bagi perubahan-perubahan. Persoalan kemasyarakatan kembali menjadi fokus perhatiannya setelah untuk beberapa saat lamanya pesantren begitu terasing dari masyarakat sekitar.

Dalam konteks inilah pesantren di samping mempertahankan kurikulum yang berbasis agama, juga melengkapinya dengan kurikulum yang menyentuh dan berkait erat dengan persoalan dan kebutuhan kekinian umat. Dan sejak itulah, modifikasi dan improvisasi sistemik di tubuh pesantren mulai tampak. Upaya improvisasi dan modifikasi tersebut tidak semata karena desakan eksternal sebagaimana dijabarkan di atas, melainkan yang terpenting adalah motivasi internal pesantren itu sendiri untuk terus berbenah menyiasati perubahan.

Menyiasati perubahan, pesantren tidak serta merta melakukan perombakan seluruh struktur dan tradisi pendidikan pesantren. Pesantren dengan segala keunikannya mutlak dipertahankan, sekaligus pada saat yang sama modifikasi dan improvisasi pun diupayakan. Perlu ditegaskan bahwa modifikasi dan improvisasi yang dilakukan pesantren semestinya hanya terbatas pada aspek teknis operasional-nya, bukan substansi pendidikan pesantren itu sendiri. Karena, apabila improvisasi itu menyangkut substansi pendidikan, maka pesantren yang mengakar ratusan tahun lamanya akan tercerabut dan kehilangan elan vital sebagai penopang moral yang menjadi citra utama pendidikan pesantren.

Teknis operasional yang dimaksud bisa berwujud perencanaan pendidikan yang rasional, pembenahan kurikulum pesantren dalam pola yang mudah dicernakan, dan tentu saja adalah skala prioritas dalam pendidikan. Selain itu, pembenahan infrastruktur pesantren patut dijadikan agenda bersama, setidaknya ini dimaksudknya untuk mengubah citra pesantren yang kumuh dan terkesan terbelakang.
Sebagaimana dijabarkan Saifullah Ma’shum, selama kurang lebih tiga dasawarsa terakhir, pesantren telah mulai menjajaki dan melakukan perubahan signifikan setidaknya pada empat aspek. [32] Pertama, perubahan menyangkut perlengkapan infrasturktur dan bangunan fisik pesantren. Sebagaimana dijumpai pada sebagian besar pesantren saat ini, gedung-gedung baru dengan perangkat fasilitas yang menopang kelangsungan pendidikan semisal komputer, laboratorium bahasa, perpustakaan, sarana olah raga, sarana kesehatan, dan semacamnya mulai tersedia. Bahkan juga dilengkapi dengan koperasi pesantren yang menjadi aset ekonomi para santri dan pesantren dalam mengembangkan daya tahannya.
Kedua, peubahan menyangkut pola pengelolaan dan menejerial pesantren. Terbentuknya yayasan dengan menejemen terbuka (open management) memungkinkan pesantren mengubah pola kepemimpinan tunggal yang mengacu pada figur kiai tertentu pada pola kepemimpinan kolektif. Pola manajemen semacam ini tidak menampik otoritas kiai yang menjadi ciri utama pesantren, melainkan mendudukkan kiai sebagai pengasuh pesantren yang terlembaga dalam dewan pengasuh. Sedangkan yayasan yang berwenang dalam pembenahan operasionalisasi pendidikan diserahkan pada kiai yunior dengan dibantu sejumlah santri. Dalam konteks semacam ini, diversivikasi wewenang relatif merata, dan keputusan tidak muncul sepihak melainkan melalui mekanisme musyawarah seluruh komponen yang ada dalam kepengurusan yayasan.

Ketiga, perubahan pada melebarnya cakupan dan tingkatan pendidikan di pesantren. Pesantren, di samping bertahan dengan pola pengajaran semisal sorogan dan wetonan, juga membuka ruang pada pendidikan dengan sistem klasikal dan berjenjang dari jenjang pendidikan terendah, semisal Taman Kanak-kanak, hingga Perguruan Tinggi. Bahkan, tidak sedikit pesantren yang mulai membuka jenjang pendidikan yang berorientasi pada ‘pendidikan umum’ semisal, SMP, SMU, dan semacamnya. Dalam konteks ini, pesantren tidak melulu mempertajam pengetahuan agama yang menjadi ciri pendidikannya, tetapi juga melengkapinya dengan disiplin keilmuan lain yang bisa menopang pengetahuan agamanya.

Keempat, perubahan pada cara bersikap pesantren yang tidak lagi tertutup. Alih-alih, ia mulai membuka diri pada perubahan-perubahan selama menopang kualitas keilmuan pesantren. Upaya pesantren membuka pendidikan yang beroreintasi vocational melalui sanggar-sanggar keterampilan dan kursus-kursus dalam kegiatan ekstrakurikuler pesantren merupakan salah satu wujudnya. Dalam konteks ini, kita jumpai sejumlah pesantren yang membuka lembaga-lembaga kursus semisal kursus menjahit, kursus komputer, kursus fotografi, dan semacamnya. [33]

Dengan melakukan sejumlah perubahan-perubahan, pesantren saat ini, dan tentu saja di masa mendatang, bisa hadir sebagai lembaga pendidikan yang masih digemari masyarakat. Meskipun demikian, Saifullah Ma’shum masih menyangsikan kemampuan pesantren dalam mengawal perubahan zaman. Bahkan, menurutnya, masuknya materi keterampilan ditambahnya dengan adaptasi pesantren dengan kurukilum yang diusulkan pemerintah malah menjadi identitas pesantren tidak lagi terlihat, malah pesantren kian menunjukkan ketidakjelasan orientasi output yang dihasilkannya. Bagi penulis, kekwatiran semacam ini tidak akan terjadi selama, sebagaimana penulis sebutkan di atas, perubahan itu menyangkut teknis operasioal pendidikan pesantren, bukan substansi pendidikannya. Substansi pendidikan yang dimaksud bukan pada tataran pemilahan antara ‘ilmu agama’ dan ‘ilmu umum’, melainkan pada disiplin keilmuan yang menjunjung moralitas (“moral-based knowledge”)dan mampu mengejawantah bagi kepentingan masyarakat. Dan tentu saja, satu hal yang tidak boleh diabaikan pesantren adalah kemampuan mengkaji fungsionalisasi Kitab Kuning. Inilah, menurut hemat penulis, yang patut dipertahankan.

Dalam upaya tersebut, penguatan basis intelektual yang diorientasikan pada penguasaan bahasa yang memadai, kontekstualisasi kitab kuning, pembiakan pusat kajian berbasis pesantren, menghidupkan tradisi ijithad, serta membangun kerja sama melalui perluasan jaringan pesantren, baik dengan masyarakat, pesantren lainnya, pemerintah, bahkan dengan lembaga-lembaga internasional mutlak dilakukan pesantren. Selain itu, pola perencanaan yang matang, terstruktur sembari mempetimbangkan skala prioritas dan pembentukan kurikulum yang efektif dan efisien mutlak diperhatikan sehingga pesantren mampu terus menancapkan pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat yang belakangan tampak mulai apatis, untuk tidak mengatakan alergi dengan sistem pendidikan pesantren.

Harus dipahami bahwa pesantren memiliki karakter dan keunikannya sendiri, dan karenanya mengabaikan karakter dan keunikan pesantren semata-mata untuk perubahan akan meghilangkan cita-rasa pesantren itu sendiri. Jika ini yang terjadi, pesantren yang masih diakui sebagai sistem pendidikan pribumi yang masih mapan hingga kini tidak lagi diminati warganya sendiri. Di sinilah, mencermati tradisi pesantren mutlak dilakukan dalam menapaki perubahan pesantren ke depan.
Terintegrasinya sistem klasikal dan didirikannya madrasah di kebanyakan pesantren memang tidak selalu bermakna positif. [34] Kontrol langsung kiai dalam sistem sorogan tidak lagi terjadi dalam sistem klasikal di mana para santri (siswa) dengan leluasa untuk belajar atau bahkan tidak belajar. Pengawasan dan evaluasi langsung kiai tidak terjadi dalam sistem madrasah. Namun dibalik kekurangan ini, diadaptasinya sistem madrasah dalam pesantren menjadikan kurukulum pengajaran disampaikan secara berjenjang, terstruktur, dan dengan demikian, evaluasi dan penilaian bagi para siswa pun terstruktur.
Idealnya, pola lama pendidikan pesantren dengan sorogan dan wetonan sebagai metode pengajaran disinergikan dengan sistem madrasi yang belakangan mulai diadaptasi di lingkungan pesantren. Dengan perpaduan ini, kekurangan masing-masing pola bisa dihindari dan kelebihannya bisa disinergikan. Dalam konteks ini, tepat apa yang dikatakan Mukti Ali bahwa “madrasah dalam pesantren adalam sistem pengajaran dan pendidikan agama yang paling baik.” [35] Singkatnya, pesantren saat ini harus tetap berpijak pada prinsip “pemapanan tradisi positif pesantren sembari mengadaptasi tradisi yang lebih baik.” Hanya dengan cara semacam ini, akar tradisi pesantren tetap terawat, dan pada saat sama kekurangan pesantren bisa dibenahi.

Memperkuat Basis Intelektual

Menapaki perubahan pesantren, banyak hal yang patut dibenahi. Satu hal penting yang patut mendapat perhatian adalah penguatan basis intelektual pesantren. Pesantren dengan kekayaan khazanahnya yang hampir seluruhnya berbahasa Arab merupakan aset yang luar biasa. Sayangnya, khazanah intelektual pesantren yang demikian melimpah itu belum, atau bahkan tidak difungsikan secara maksimal. Bejibunnya literatur yang berkembang di pesantren hanya dijadikan kebanggaan yang sama sekali belum membiaskan nilai-nilai konkret dalam menuntaskan persoalan keumatan.

Di pihak yang lain, sistem pendidikan pesantren seolah berjalan alamiah tanpa ada orientasi dan target-target yang direncanakan. Meskipun perubahan di berbagai bidang dilakukan, namun perhatian terhadap kualitas santri belum sepenuhnya dilakukan. Perhatian pada perubahan citra pesantren yang kumuh dan uncivilized tidak ditopang dengan perubahan citra kualitas santri yang dididik pesantren.
Oleh karena itu, upaya pembenahan kemampuan dan skill santri patut mendapat prioritas. Salah satunya melalui pemantapan kemapuan bahasa, tidak saja bahasa Arab yang menjadi prasyarat mutlak, melainkan juga bahasa Indonesia, dan tentu saja bahasa Inggris. Bahasa Indonesia menjadi penting karena dengan bahasa Indonesia para santri bisa mengkomunikasikan gagasannya di tingkat lokal, regional, dan nasional. Sedangkan bahasa Inggris penting digeluti agar para santri bisa mengkomunikasikan gagasannya melintasi batas-batas budayanya, di samping menimba ilmu dari wilayah yang memiliki karakter budaya yang berbeda. Dengan modal bahasa inilah pesantren masa depan bisa kian melebarkan kerjasamanya, tidak saja pada tingkat regional dan nasional, tetapi juga pada tingkat internasional. Selain itu, penggiatan tradisi diskusi dan menjadikan bahtsul masail sebagai medium udar persoalan menjadi penting sehingga santri tidak menjadi manusia yang hanya nrimo tanpa ada upaya mengkritisinya.

Persoalan bahasa merupakan persoalan krusial di lingkungan pesantren. Krusial karena persoalan bahasa, terutama bahasa Arab, menjadi hambatan tersendiri dalam penguasaan khazanah pesantren. Belum lagi kemampuan bahasa selain Arab, semisal bahasa Inggris yang semakin dirasa perlu untuk dikembangkan di pesantren. Tentu saja bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak bisa disepelekan dalam konteks ini. Adanya sejumlah pesantren yang enggan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam penyampaian materi pelajaran, dan cenderung menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa komunikasinya, merupakan salah satu persoalan itu. Bagi pesantren semacam ini, kemampuan bahasa daerah dalam mengkomunikasikan pesan-pesan yang terkandung dalam lieteratur pesantren diyakini efektif dalam pendidikannya, setidaknya sebatas memaknai kitab, sehingga penggunaan bahasa Indonesia dianggap mereduksi pemahaman kitab yang diajarkannya.

Bagaimanapun, bahasa Arab di lingkungan pesantren menjadi bahasa primer yang tidak boleh tidak dikuasai para santri. Menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa primer didasarkan karena hampir seluruh referensi yang digeluti para santri menggunakan bahasa Arab sebagai mediumnya. Begitu singnifikannya bahasa Arab di pesantren, pendidikan bahasa ini sejak dini diajarkan pada santri. Dalam konteks ini, bahasa Arab diajarkan mulai dari jenjang pendidikan terendah hingga pendidikan tinggi. Ironisnya, meskipun diajarkan sejak dini, bahasa Arab belum mampu sepenuhnya dikuasai para santri. Alih-alih menjadikan bahasa Arab—meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla[36]—sebagai “alat ungkap”, menjadikannya sebagai “bahasa pasif” saja pun belum sepenuhnya berhasil. Lebih lanjut, Ulil menjabarkan bahwa fenomena ini ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa pesantren sebenarnya mewarisi khazanah intelektual Islam masa lalu yang seluruhnya ditularkan dan dibukukan secara tertulis dengan bahasa Arab sebagai alat ungkapnya. Transmisi intelektual terlulis ini ternyata tidak paralel dengan kondisi objektif masyarakat pesantren yang masih terbiasa dengan budaya oral. Ironisnya lagi, sebagai akitifitas oral sekalipun, bahasa Arab pun belum sepenuhnya dikuasai. Adanya beberapa intelektual pesantren masa lalu yang berhasil menuangkan gagasannya dalam bahasa Arab yang memadai, semisal Imam Nawawi Banten, Kiai Ihsan Jampes, dan Kiai Mahfudz Termas, hanyalah perkecualian dari besarnya masyarakat pesantren yang melimpah ruah hingga saat ini.

Hambatan yang paling nyata dari dangkalnya kemampuan bahasa Arab, baik oral maupun tulisan, di kalangan pesantren adalah akibat metode dan kurikulum pengajarannya yang tidak tertata dan terstruktur secara sistematis. Dalam tradisi pesantren, metode dan kurikulum pengajaran bahasa Arab diberikan dengan ditopang sedikitnya dua disiplin pendukungnya. Masing-masing adalah Nahwu dan Sharraf. Dua disiplin inilah yang menjadi pintu masuk bagi para santri untuk mendalami literatur-literatur yang ada sekaligus menuangkannya secara produktif dalam wujud karya-karya tertulis.

Tidak tertata dan terstrukturnya kurikulum pesantren, utamanya dalam pengajaran bahasa Arab ini, tampak dari pemberian muatan materi dari beragam kitab yang memiliki kualifikasi isi yang nyaris serupa. Sebut saja misalnya adalah kitab Al-Ajrumiyah, ‘Imrithy, Mutammimah, dan Nadzmu al-Maqsud merupakan kitab yang dipelajari di tingkat dasar dan menengah. Sedangkan untuk tingkat atas dibekali dengan kitab Alfiyah Ibn Malik berikut komentarnya (syarah). Yang menjadi persoalan dalam konteks ini bukanlah penggunaan kitab-kitab yang digunakan tersebut, melainkan pada tidak adanya kemasan kurikulum yang tertata dan terencana, sehingga pengulangan-pengulangan tidak terhindari. Memang, pengulangan tidak selalu negatif dalam pendidikan sejauh hal tersebut menopang pemahaman dan diasumsikan sebagai pendalaman. Tetapi apabila pengulangan tersebut akibat tidak tertatanya dan sistematisnya kemasan kurikulum, maka di sinilah asal-muasal persolannya. Artinya, materi yang disuguhkan pada para santri tidak mengalami peningkatan, kecuali pada tingkat kesulitan kitab yang diajarkannya. Sementara substansi materinya tidak mengalami pengayaan dan perkembangan yang berarti.

Karena faktor itulah pengajaran bahasa Arab yang berpangkal pada penguasaan tata bahasanya pun mengalami hambatan. Hambatan yang paling tampak adalah tidak terselesaikannya seluruh persoalan gramatikal yang menopang pengajaran bahasa Arab, mengingat yang diajarkan hanya berkutat pada sebagian persoalan yang terus diulang-diulang dengan menggunakan literatur yang berbeda. Pada tingkat pertama, misalnya, santri diajarkan perbedaan kata benda (isim), kata kerja (fi’il), dan huruf dengan menggunakan kitab al-Ajrumiyah. Begitu pula pada tingkat selanjutnya, santri masih disuguhi materi yang sama, namun dengan menggunakan literatur yang berbeda. Misalnya saja, kitab ‘Imrithi atau Alfiyah Ibn Malik. Demikian seterusnya. Dalam kasus semacam itu, target materi yang hendak dicapai pada setiap jenjang pendidikan tampak kurang begitu dihiraukan. Yang menjadi prioritas dalam pengajaran pesantren adalah penyelesaian seluruh materi yang terkandung dalam kitab tanpa memperdulikan muatan isinya. Artinya, perencanaan pendidikan melalui kurikulum yang sistematis dengan menjadikan kitab kuning sebagai basis keilmuannya tidak terjadi.
Di pihak lain, bahasa Indonesia yang semestinya menjadi bahasa komunikasi sehari-hari belum sepenuhnya difungsikan oleh pesantren. Hal ini di samping karena keengganan sebagian pengelola pesantren yang terlalu khawatir akan tergerusnya bahasa daerah dalam pusaran bahasa Indonesia, juga karena adanya keyakinan bahwa bahasa Indonesia kurang memadai dalam mentransfer makna kitab yang diajarkannya. Dalam konteks ini, tidak heran jika di hampir pesantren yang masih mengonsentrasikan diri pada pengajian kitab, pemaknaan kitab dengan bahasa daerah masih menjadi pilihan. Padahal, dengan bahasa Indonesia kalangan pesantren bisa mengomunikasikan gagasannya ke ranah publik yang lebih luas baik, utamanya melalui karya-karya intelektualnya.

Di samping bahasa Arab dan Indonesia, bahasa Inggris tampak menjadi kebutuhan yang tidak terhidarkan dewasa ini. Penguasaan terhadap bahasa Inggris ini didasarkan pada pentingnya pesantren untuk membiaskan pengaruh intelektual tidak saja di tanah kelahirannya sendiri, tetapi dapat membiasakan pengaruh yang signifikan para ranah internasional. Tentu ini bukanlah satu-satunya alasan. Ada alasan lain yang jauh lebih penting yaitu pengenalan terhadap budaya lain di mana bahasa bisa dijadikan titik masuknya. Ketidakmampuan masyarakat pesantren dalam memahami bahasa Inggris, bahkan bahasa-bahasa komunikasi lainnya, bisa semakin menepikan pesantren dalam pusaran globalisme di samping kian menebalkan kecurigaan kalangan pesantren terhadap produk intelektual yang ditulis dalam bahasa Inggris, atau lebih tepatnya karya intelektual Barat tentang Islam. Mengecambahnya karya-karya intelektual tentang Islam yang ditulis dalam bahasa Inggris hanya mungkin ditanggapi secara apriori, tanpa dikenali lebih jauh muatan isinya. Akibatnya, pesantren hanya mampu menolak tanpa mengenali apa sebenarnya yang hendak ditolak. Alih-alih mengkritisinya, mengenali isinya saja belum mampu. Dalam konteks inilah, kemampuan berbahasa, baik Indonesia, Arab, dan juga Inggris menjadi keharusan intelektual masyarakat pesantren.

Memang akhir-akhir ini ada gairah baru di kalangan pesantren untuk mengembangkan bahasa. Ini bisa jadi terjadi karena kesadaran yang mulai tumbuh dari kalangan pesantren atas peran penting bahasa. Munculnya lembaga pengembangan bahasa asing di sejumlah pesantren merupakan wujud kesadaran ini. Hadirnya lembaga-lembaga tersebut di sejumlah pesantren terbukti memberikan warna lain di pesantren, walaupun pada kenyataannya, lembaga-lembaga tersebut kurang dikembangkan secara lebih serius. Kekurangseriusan ini bisa dilacak pada karakter umum pendidikan pesantren yang menurut Abdurrahman Wahid mengalami setidaknya tiga problem mendasar. [37] Pertama, tidak adanya perencanaan terperinci dan rasional atas berlangsungnya pendidikan. Termasuk juga dalam perencanana pengajaran bahasa di pesantren. tidak adanya perencaan sistem pendidikan akan menghambat dan mengurangi target capaian yang dikehendakinya. Kedua, belum adanya kebutuhan untuk menyusun kurikulum dalam pola yang mudah dicernakan dan dikuasai oleh anak didik. Pesantren tampaknya masih terlalu terpikat dengan kepelikan muatan materi, dan justru kesulitan itulah yang dibanggakan. Jadi jenjang pendidikan di pesantren hanya diukur dengan tingkat kesulitan kitab yang diajarkan ketimbang kesesuaian substansi materi yang diajarkan. Ketiga, tidak adanya skala prioritas antara hal-hal yang benar-benar diperlukan dan yang kurang begitu diperlukan pada setiap jenjang pengajaran. Dampaknya, tidak ada nilai ukur yang jelas yang bisa dijadikan standar evaluasi keberhasilan dan kegagalan anak didik.
Khususnya terkait dengan pembenahan kurikulum pengajaran, Abdurrahman Wahid[38] mengajukan solusi yang patut diperhatikan dalam penyusunan kurikulum pengajaran, yang di antaranya adalah menghindari pengulangan sepanjang tidak dimaksudkan untuk pendalaman dan penjenjangan, di samping pemberian penekanan pada latihan dan praktik. Dengan upaya semacam ini, pendidikan dapat berlangsung efektif, efesien, dan pemborosan waktu dapat dihindari.

Dengan mengamati karakter umum pesantren yang hingga saat ini masih terjadi di sejumlah pesantren, maka perlu ada keseriusan dan ketulusan pengelola pesantren untuk membenahi pola pendidikannya, termasuk dalam pengajaran bahasa, baik Indonesia, Arab, dan Inggris. Dengan demikian, ketertinggalan pesantren tidak terjadi, bahkan pesantren mampu tampil secara kompetitif di era global ini. Tentu saja, pengembangan penguasaan dan kemampuan berbahasa, baik bahasa Arab atau Inggris, bukan semata keinginan dilabeli “modern”, melainkan didasarkan pada kesadaran diri masyarkat pesantren akan pentingnya bahasa, terlebih di era globalisasi saat ini.

Selain itu, tradisi diskusi dan ‘udar masalah’ (bahtsul masail) merupakan tradisi intelektual pesantren yang usianya setua pendidikan pesantren itu sendiri. Bahkan bisa dikatakan bahwa aktifitas diskusi atau juga udar masalah merupakan bagian integral dalam pengembangan intelektual di lingkungan pesantren sejak awal. Dalam literatur pesantren, istilah bahtsul masail hampir tidak ditemukan, walaupun pola semacam ini biasa juga dilakukan. Sejumlah istilah yang kerap disebutkan dalam literatur pesantren adalah “curah pendapat” (al-mudzakarah wa al-munadzarah), “udar masalah” (mutharahah), atau juga musyawarah. Ini terlihat dalam kitab yang begitu populer di kalangan pesantren, yaitu Kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Syekh Al-Zarnuji.

Dalam kitab tersebut, Al-Zarnuji menjelaskan bahwa siswa atau penuntut ilmu harus melakukan curah pendapat dan udar masalah secara santun, terbuka, serta niat tulus untuk menyingkap kebenaran dan menutupi ketidaktahuan. Bagi Al-Zarnuji, curah pendapat dan udar masalah salah satu manefestasi musyawarah. Dalam musyawarah, jabarnya lebih lanjut, kebenaran dapat terungkap selama dilakukan secara tulus, terbuka, dan santun, bukan dengan cara memaksakan pendapat dan permusuhan. Dalam konteks ini, “debat kusir” (mujadalah) sama sekali tidak dibenarkan, karena dalam debat kusir, bukannya kebenaran yang diharapkan, tapi kemenangan argumentasi.
Bahkan Al-Zarnuji meyakinkan bahwa curah pendapat dan udar masalah lebih berhasil ketimbang mengulang-ulang pelajaran secara personal. [39] Bagi Al-Zarnuji, curah pendapat dan udar masalah merupakan medium signifikan dalam peningkatan basis intelektual di pesantren, bahkan di seluruh lembaga pendidikan lainnya. Memang, pengkajian personal terhadap materi pelajaran merupakan hal yang penting dan bermakna, namun itu akan akan lebih bermakna apabila ditopang dengan aktifitas kolektif untuk mengkaji persoalan secara kolektif. Oleh karena itu, tidak salah apabila orang bijak mengatakan bahwa “mengkaji persolan secara kolektif sesaat akan lebih bermakna ketimbang mengkaji persoalan secara personal sebulan” (muthârahah sâ’atin khayrun min tikrâri sahrin). [40]

Aktifitas udar masalah ini menjadi penting guna menempatkan santri tidak saja sebagai objek pembelajaran, melainkan juga subjek yang saling belajar. Dalam aktifitas ini, santri bertindak subjek pembelajar yang saling belajar dengan sesamanya, bahkan dengan gurunya. Biasanya, santri yang terlibat dalam aktifitas ini adalah santri senior yang dianggap relatif menguasai materi kajian kitab kuning. Karena objek kajiannya tidak lebih berkisar pada pendalaman kitab kuning yang dipelajarinya. Tentu saja, metode ini bertujuan agar para santri terlibat aktif dalam proses pembelajan, bukan objek pasif yang hanya menerima tanpa reserve materi yang disampaikan gurunya. Dalam konteks ini, dialektika pemikiran berlangsung produktif, dan tumbuhnya pemikiran-pemikiran kritis-analitis bisa diharapkan. Memang, sekilas mengamati perkembangan tradisi diskusi di sejumlah pesantren, tampaknya bahwa apa yang dikenal dengan tradisi musyawarah ini masih lebih ditekankan pada perbincangan gramatikal ketimbang muatan dan kandungan kitab. Meskipun para santri bermaksud mengkaji kandungan materinya, namun mereka kerap terjebak pada perdebatan panjang mengenai status gramatikal. Ini tidak selalu negatif, tetapi melulu menyibukkan dalam perdebatan gramatikal malah mengesampingkan perhatian utama pada kandungan dan isi kitab yang dikajinya.

Selain itu, satu hal yang patut ditegaskan bahwa aktifitas diskusi ini akan lebih mengena apabila dalam praktiknya para santri mensinergikan persoalan-persoalan riil di lapangan dengan otoritas teks, dalam hal ini kitab kuning, yang dimilikinya. Hanya dengan cara demikian, curah pendapat dan udar masalah tidak hanya menjadi perbincangan intelektual yang jauh panggang dari api. Dan kitab kuning yang menjadi santapan para santri tidak hanya berkutat di “menara gading”, melainkan juga ambil bagian dalam problem-problem riil masyarakat di sekitar pesantren.

Mendekatkan Makna Kitab Kuning

Dalam tradisi pesantren, kitab kuning merupakan ciri dan identitas yang tidak bisa dilepaskan. Sebagai lembaga kajian dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman (al-’ulum al-syar’iyah), pesantren menjadikan Kitab Kuning adalah identitas yang inheren dengan pesantren. Bahkan, sebagaimana ditegaskan Martin van Bruinessen, kehadiran pesantren malah hendak mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab kuning itu. [41]

Kitab Kuning pada dasarnya merupakan istilah yang dimunculkan kalangan luar pesantren untuk meremehkan kadar keilmuan pesantren. Bagi mereka, kitab kuning ditengarai sebagai kitab yang memiliki kadar keilmuan yang rendah, out of date, dan penyebab stagnasi intelektual. [42] Sungguhpun dinilai negatif, bahkan pejoratif, istilah kitab kuning tampak mulai diamini, bahkan oleh kalangan pesantren itu sendiri. Munculnya istilah “al-Kutub al-Shafra’” sebagai terjemahan Arab dari kitab kuning merupakan wujud pengakuannya.

Istilah kitab kuning sebenarnya dilekatkan pada kitab-kitab warisan abad pertengahan Islam yang masih digunakan pesantren hingga kini. Kitab kuning selalu menggunakan tulisan Arab, walaupun tidak selalu menggunakan bahasa Arab. Dalam kitab yang ditulis dalam bahasa Arab, biasanya kitab itu tidak dilengkapi dengan harakat. Karena ditulis tanpa kelengkapan harakat (syakl), kitab kuning ini kemudian dikenal dengan ‘kitab gundul’. Secara umum, spesifikasi kitab kuning itu memiliki lay out yang unik. Di dalamnya terkandung matn (teks asal) yang kemudian dilengkapi dengan komentar (syarah) atau juga catatan pinggir (hasyiyah). Biasanya, penjilidannya pun tidak maksimal, bahkan disengaja diformat secara korasan sehingga mempermudah dan memungkinkan pembaca untuk membawanya sesuai dengan bagian yang dibutuhkan. [43]

Dalam konteks ini, kitab kuning bisa dicirikan sebagai berikut: a) kitab yang ditulis atau bertulisan Arab, b) umumnya ditulis tanpa syakal, bahkan tanpa tanda baca semisal titik dan koma, c) berisi keilmuan Islam, d) metode penulisannya yang dinilai kuno, dan bahkan ditengarai tidak memiliki relevansi dengan kekinian, e) lazimnya dipelajari dan dikaji di pondok pesantren, c) dicetak di atas kertas yang berwarna kuning. [44]

Namun demikian, ciri semacam ini mulai hilang dengan diterbitkannya kitab-kitab serupa dengan format dan lay out yang lebih elegan. Dengan dicetak di atas ‘kertas putih’ dan dijilid secara lux, tampilan kitab kuning yang ada sekarang relatif menghilangkan kesan “klasiknya”. Namun bukan di sini persoalannya, karena secara substansial tidak ada perubahan yang berarti dalam penulisannya yang masih tetap tak ber-syakl. Karena wujudnya yang tak bersyakl inilah pembaca dituntut untuk memiliki kemampuan keilmuan yang maksimal. Setidaknya, pembaca harus menguasai disiplin ilmu Nahwu dan Sharraf di samping penguasaan kosa kata Arab.
Dalam tradisi pesantren, kitab kuning dianggap sebagai kitab standar dan referensi baku dalam disipilin keilmuan Islam, baik dalam bidang syariah, akidah, tasawuf, sejarah, dan akhlak. Sayangnya, kekayaan warisan intelektual ini hanya bisa diselamatkan keberadaannya tanpa mempertimbangkan aspek relevansinya. Upaya kontekstualisasi kitab kuning sehingga relevan dengan persoalan umat menjadi kebutuhan yang mendesak sehingga kitab kuning bisa operasional dalam keseharian umat.

Dalam pengamatan sekilas, seolah ada jarak psikologis antara kitab kuning di satu sisi dan realitas masyarakat di sekitarnya. Tidak adanya singkronisasi keilmuan yang berbasis kitab kuning ini dengan kenyataan riil umat yang menjadikan kitab kuning harus dikontekstualisasikan. Mengingat pentingnya kitab kuning sebagai sumber informasi keilmuan Islam sekaligus sebagai kekayaan kultural (tsarwah tsaqafiyah), maka dalam upaya kontekstualisasi patut dipertimbangkan, khususnya pada dua hal, yaitu pengembangan metode pengajaran dan kritik metodologis. Dua hal inilah yang hendak dijabarkan dalam uraian berikut.

Sofistifikasi Metode Pengajaran

Perkembangan kepustakaan ilmu-ilmu keislaman berkembang seiring dengan diadaptasinya warisan kultural umat manusia di luar disiplin keislaman. Pada mulanya, tidak pemilahan yang tegas antara keilmuan Islam dan keilmuan bukan Islam. Klasifikasi keilmuan yang dualistik ini muncul pada era belakangan, seiring dengan pemiliah antara ilmu agama (al-ulum al-syar’iyah) dan ilmu non-agama (al-‘ulum ghayr al-syar’iyah), suatu hal yang tidak terjadi pada awal perkembangan Islam. Akibat klasifikasi semacam ini, keseimbangan antara perkembangan keilmuan Islam dan keilmuan “bukan” Islam tidak terjadi. Ilmu non-agama pun disingkirkan. Dalam posisi ini, umat Islam hanya dipersilahkan untuk mengonsumsi warisan kultural yang dianggap baku yang direkomendasikan pondok pesantren. Akibatnya, dalam perkembangan lebih lanjut, kita mengenal kehadiran istilah antara literatur yang mu’tabar dan tidak mu’tabar, literatur yang absah dibaca dan disosialisasikan gagasannya dengan literatur yang tidak absah dibaca.

Kalau kita sedikit melihat pada masa lalu, dinamika intelektual yang terjadi pada masa abad pertengahan Islam, sungguh merupakan bukti sejarah yang luar biasa. Beragam disiplin keilmuan yang digali dari Al-Qur’an bermunculan tanpa ada garis demarkasi yang memilah antara ilmu umum dan agama. Semuanya terintegrasi menjadi sebuah “ilmu” yang sama pentingnya. Namun sayangnya, kreatifitas semacam itu tidak berlangsung mulus hingga saat ini. Proses penyempitan wilayah keilmuan pun berlangsung di dunia Islam, dan pesantren dalam hal ini pun diam-diam berperan dalam penyempitan itu.

Di samping faktor penyempitan wilayah keilmuan di pesantren, hal yang paling krusial adalah menyangkut metode pengajaran. Khazanah Kitab Kuning yang demikian melimpah dan diintroduksi oleh pesantren ternyata belum bisa melahirkan “prosusen-produsen” ilmu. Masyarakat pesantren tidak lebih sebagai “konsumen” ilmu yang belum mampu meramu kekayaannya menjadi karya-karya produktif lainnya.
Dalam konteks ini, pesantren seharusnya mulai mengevaluasi metodologi pengajian dan pengajarannya dengan ketulusan mengevaluasi yang lama dan mengadaptasi yang baru tanpa harus menghilangkan akar budayanya.

Dalam tradisi pesantren, sistem pengajaran a la wetonan dan sorogan masih dianggap sebagai metode pengajaran yang efektif. Konon, model pengajaran semacam itu diilhami dari model pembelajaran Nabi kepada para sahabatnya di Madinah. Pada saat itu, Nabi menggunakan masjid Nabawi sebagai pusat pembelajaran bagi kumunitas sahabat tentang dasar-dasar agama dan urusan duniawinya. [45]

Sungguhpun dalam perjalanannya, seiring dengan diperkenalkannya sistem klasikal, pesantren mulai menerapkan sistem pendidikan berjenjang dengan sistem evaluasi berjenjang pula. Pesantren pun mendirikan madrasah-madrasah yang tidak lagi menfokuskan pada “pengetahuan agama”, tetapi juga “pengetahuan umum.” Diperkenalkannya sistem klasikal melalui madrasah ini tidak selalu positif dalam pemapanan tradisi intelektual pesantren, karena tampaknya kehadiran sistem klasikal ini meraibkan tradisi kembara yang begitu siginifikan dalam pemantapan keilmuan para santri. Dalam tradisi kembara, para santri mendalami sebuah disiplin keilmuan langsung kepada kiai di sebuah pesantren yang dikenal ahli di bidangnya. Namun, dengan hadirnya sistem madrasah, para santri dituntut untuk all out belajar di pesantren tertentu hingga jenjang-jenjang itu usai dilalui. Namun demikian, dalam sistem klasikal sekalipun, model sorogan dan wetonan juga kerap digunakan, di samping hafalan dan diskusi. Tentu saja, masing-masing model memiliki kelebihan dan kekurangannya.

Dalam model sorogan, baisanya para santri membacakan kitab di hadapan guru atau kyai, dan guru atau kyai menyimak sambil memberikan masukan-masukan hal yang dianggap penting untuk kemudian dicatat oleh sang santri. Sementara dalam model wetonan, praktis santri menyimak kitab yang dibaca sang kyai sembari sang santri mencatat maknanya. Baik model sorogan dan wetonan sama-sama mengabaikan aspek dialogis, karena tidak ada ruang bagi santri untuk mempertanyakan ganjalan-ganjalan yang dialaminya. Dalam dua model tersebut, praktis santri menerima apa adanya dari penjelasan kyai. Sementara santri dikondisikan tidak kritis, dalam dua model ini guru juga tidak bisa menerima umpan balik dari para santrinya. [46] Sehingga baik guru (kyai) ataupun muridnya (santri) tidak memperoleh tambahan pengetahuan yang berarti. Kelebihannya, dua model pengajaran ini efektif dilakukan dalam konteks jumlah materi yang melimpah sementara waktu yang tersedia terbatas, di samping juga efektif digunakan untuk pelajar pemula yang belum begitu tertuntut untuk membekali diri secara mandiri.
Begitu pula dalam model hafalan. Hafalan yang menjadi ciri pengajaran di pesantren tidak selalu dinilai negatif dalam proses pendidikan. Dalam kasus tertentu, menghafal menjadi keharusan bagi santri, terutama menyangkut argumen-argumen naqli dan kaidah-kaidah penting. [47] Memang, melulu menekankan pada hafalan justru tidak mendidik santri berfikir dinamis. Namun, melulu mendidik santri untuk berfikir dinamis tanpa ditopang tradisi hafalan yang memadai juga kurang efektif.

Aspek lain yang penting diperankan dalam pengajaran pesantren adalah diskusi. Dengan diskusi, para santri tidak hanya berdiam diri dengan menerima sejumlah informasi tanpa ada ruang untuk menyoalnya. Malah dengan diskusi para santri bisa saling menguji pemahaman, atau saling membantu memberikan pemahaman mengenai kitab kuning yang sedang dan akan dipelajarinya.

Beragam metode pengajaran ini akan efektif apabila dipraktikkan secara integreted dengan mengesampingkan sisi-sisi kekurangannya. Artinya, model sorogan, wetonan, hafalan, dan diskusi hendaknya dipadukan dalam sistem pengajaran kitab kuning di pesantren. Memang ada sisi dari kitab kuning yang perlu dihafal, didiskusikan, dan dibaca bersama-sama sehingga ia benar-benar dipahami. Hanya dengan memadukan beragam model tersebut, pegajaran kitab kuning bisa berlangsung efektif.

Selain menyangkut model pengajaran, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menyangkut kritik metodologis. Dalam tradisi yang masih menjadikan akurasi silsilah sebagai panduan kredibilitas keilmuan, tradisi penalaran biasanya kurang begitu berperan. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang begitu kental pengakuannya pada akurasi silsilah. Menurut Hussein Muhammad, nalar pesantren sebagimana tampak dari kitab-kitab yang diajarkan menggunakan pola pemikiran ahlul hadis. Kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan berpijak pada aspek lahiriah dan riwayat teks tampak menonjol, dan akibatnya kritik atas teks ditabukan. [48] Di pihak lain, upaya mempertimbangakan aspek sosiologis dalam mengkaji kitab kuning pun dianggap janggal. Padahal mencermati situasi sosial di mana teks kitab kuning itu muncul penting dalam upaya menempatkan kandungan teks itu dalam situasi yang berbeda. Sayangnya upaya semacam itu diabaikan oleh kalangan pesantren. Kuatnya tradisi riwayat ditambah dengan pengabaian pembacaan sosiologis itu berdampak pada lumpuh tradisi penalaran di kalangan pesantren. Lumpuhnya tradisi penalaran ini berefek lanjut pada penerimaan santri terhadap pengetahuan yang diperolehnya. Seolah pengetahuan itu turun dari langit dan tidak absah didekati oleh nalar dan pertimbangan sosiologis. Padahal, dalam sejarah keilmuan islam, tradisi penalaran, sebagaimana tradisi riwayah, sama-sama berperan penting.
Lumpuhnya penalaran ini juga ditengarai akibat orientasi keilmuan pesantren yang masih menitikberatkan kajiannya pada apa yang oleh Tholhah Hasan disebut ilmu-ilmu terapan. Ilmu-ilmu terapan yang dimaksud Tholhah adalah ilmu-ilmu yang perlu diketahui untuk segera diamalkan dalam kehidupan sehari-hari semisal fiqh, tasawuf dan ilmu alat, terutama nahwu dan sharraf. [49] Menurut Tholhah Hasan, orientasi keilmuan yang didominasi pada pendalaman ilmu-ilmu terapan inilah yang mengakibatkan lemahnya kreativitas dalam mencandra realitas sosial ketika dihadapkan dengan teks-teks kitab kuning.

Dampak lebih lanjut, santri tidak mampu menangkap ide-ide yang terdapat dalam kitab kuning oleh karena ketatnya penjagaan terhadap formalitas tekstualnya, sehingga ketika dibenturkan dengan persoalan riil di lapangan mereka tidak mampu mengontekstualisasikan ide-ide kitab kuning yang dipelajarinya. Tholhah menyontohkan bahwa orang dapat saja menjadi lebih hafal dengan nisab unta dengan segala rincian zakatnya sampai kepada ‘ibn labun’ atau ‘ibn makhad’ dari pada memecahkan persoalan zakat cengkeh dan tambak udang windu. [50] Oleh karena itu, transformasi orientasi keilmuan pesantren ditambah dengan pembenahan metodologi penggalian kitab kuning merupakan program yang mendesak untuk dilakukan. Dengan demikian, kitab kuning bukanlah benda antik yang berjarak dengan kenyataan melainkan bagian dari kenyataan itu sendiri. Di sinilah kontekstualisasi kitab kuning dapat dicapai.

Oleh karena itu, upaya mengembangkan tradisi keilmuan di pesantren terus saja dilakukan. Sejumlah upaya semisal perubahan dan penyesuaian kurikulum pendidikan pesantren mulai dilakukan. Pembenahan internal pesantren dengan melakukan segala perbaikan infrastruktur dan program-program pengembangan intelektual pun mulai dilakukan. Citra pesantren sebangai lembaga pendidikan yang kumuh lambat laun bisa ditepis. Namun bukan itu saja yang penting dilakukan pesantren, lebih dari itu adalah perbaikan kualitas akademik pesantren yang seharusnya menjadi prioritas utama.

Tradisi keilmuan pesantren yang berpijak kepada kitab kuning merupakan keunikan sekaligus keistemewaan pesantren. Cibiran terhadap kitab kuning yang konon menjadi penyebab kebekuan umat hendaknya tidak mengerdilkan nyali putra pesantren untuk terus berperan dalam transformasi keilmuannya. Seharusnya, dari tradisi keilmuan yang berbasis kitab kuning yang cukup melimpah itulah kualitas akademik pesantren bisa terus dikembangkan.

Upaya semisal kontekstualisasi (tasyîq) kitab kuning dengan membenturkannya dengan realitas kekinian sebagaimana dilakukan sejumlah kalangan alumni pesantren telah berhasil menyemarakkan gelombang intelektual yang relatif massif. Hanya dengan cara demikian, kekayaan tradisi pesantren terus digelorakan dan dibunyikan dalam lingkungan budaya yang jauh berbeda dengan masa lalunya. Di sinilah peran pesantren sesungguhnya untuk merawat akar tradisinya sekaligus pada saat yang sama mengontekstualisasikan dalam situasi kekiniannya.

Untuk melakukan transforamsi pendidikan pesantren, akar tradisi itu hendaknya terus dikelola sedemikian rupa sembari pada saat yang sama dibenahi secara bertahap. Sebagaimana diketahui, desakan trasformasi keilmuan pesantren tidak melulu didasarkan atas desakan internalnya yang hendak berubah, melainkan juga desakan eksternal di luar pesantren semisal kecenderungan masyarakat dan situasi politik yang mengitarinya. Namun demikian, proses transformasi pendidikan pesantren tidak serta-merta secara radikal diubah, melainkan dilakukan secara bertahap. Karena, sebagaimana dikatakan Sahal Mahfudh, jika kita bertindak secara radikal dalam perubahan pesantren, maka akan menghilangkan dinamika positif itu sendiri. Bahkan Sahal Mahfudh mengusulkan bahwa dalam transformasi keilmuan pesantren harus ditekankan pada merawat cara lama yang masih relevan dan mengembangkan cara baru yang lebih baik (al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah). Karena sikap gegabah dengan menerima hal baru dan menolak pola lama hanya akan mengasingkan pesantren dari akar tradisinya yang telah berhasil menjadikan pesantren bertahan hingga kini.

Tentu saja, kita bisa dan harus melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian sehingga pesantren tidak asing bagi masyarakat saat ini. Dalam konteks ini, perlu ada target-target sehingga proses transformasi berlangsung aman. Meminjam prinsip-prinsip menejerial, perubahan itu dipolakan dengan mengikuti prinsip SMART: specific (tertentu), measurable (terukur), activities (sarat aktifitas), realistic (realistis), dan time schedule (terencana dalam ukuran waktu). Artinya, dalam proses perubahan harus diperhatikan adalah ada target tertentu yang terukur dan sesuai dengan kemampuan pelaku perubahan, di samping aktifitas-aktifitas konkret yang direncanakan secermat mungkin dan itu mungkin untuk dilakukan. Dengan upaya semacam ini, perubahan dan pembenahan, termasuk pembenahan kualitas keilmuan pesantren dapat diupayakan secara maksimal.Wallahu a’lam. div class="footnote">
[1]Pesantren berakar pada prakarsa “Wali Songo” dalam menyebarkan Islam dan mendirikan ribath dan halaqah. Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2001), h. 221. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.

[2]Soebardi and Woodcroft-Lee, “Islam in Indonesia” dalam Raphael Israeli (Ed.), The Crescent In the East: Islam In Asia Major, (London: Curzon Press, 1982), h. 183

[3] Karel A. Steenrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta, LP3ES, 1994, h. 20-23. Namun demikian, van Bruinessen membantah anggapan ini. Asumsi bahwa pesantren merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan serupa pada masa pra-Islam tidak ditopang dengan bukti-bukti akurat. Malah sebaliknya, ada alasan kuat untuk mengatakan bahwa corak pesantren yang ada pada abad sembilan belas tidak dapat ditemukan sebelum pertengahan abad delapan belas. Lihat Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana, (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 19 (catatan kaki no. 3)

[4]Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (2), Jakarta: Gramedia, h. 129. Memang, secara historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung “orisinalitas” budaya Indonesia. Lihat Moehamad Habib Mustopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan, (Yogyakarta: Jendela, 2001), h. 157. Bandingkan dengan Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga, 1992), h. 38

[5]Lombard, Nusa Jawa (2), h. 130-135

[6]Saifuddin Zuhri, Al-Maghfur-lah K.H. Abdul Wahab Chasbullah Bapak dan Pendiri Nahdlatul-Ulama, (Jakarta: YAMUNU, 1972), h. 107; Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 24

[7]Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 61-62

[8]Mengenai fenomena pesantren di abad ke-15 dan perannya sebagai pusat keagamaan, lihat H.J.De Graaf dan TH. G. TH. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), h. 34 (catatan kaki no. 18)

[9]Menurut Mahmud Yunus, Maulana Malik Ibrahimlah yang mula-mula mendirikan pesantren sebagaimana kita kenal sekarang. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Wijaya, 1995), h. 231; Zuhri, Al-Maghfur-lah K.H. Abdul Wahab Chasbullah, h. 106

[10]Alwi Shihab, Islam Sufistik, h. 23, Marwan Saridjo, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1983), h. 22, dan Muhammad Syamsu As., Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, (Jakarta: Lentera, 1999), h. 47-54

[11]Syamsu As., Ulama Pembawa Islam di Indonesia, h. 38-39

[12]Syamsu As., Ulama Pembawa Islam di Indonesia, h. 47-49

[13]Zamakhsyari Dhofier, “Pesantren dan Thoriqah”, dalam Dialog, edisi khusus, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama RI, Maret 1978, h. 17. Bandingkan dengan C. Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bhrata, 1973)

[14]Moeslim Adurrahman, “Sufisme di Kediri” dalam Dialog, edisi khusus, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama RI, Maret 1978,

h. 23[15]Dhofier, “Pesantren dan Thoriqah”.

[16]Asyraf atau alawiyyin adalah sebutan untuk para keturunan Rasulullah SAW, atau setidaknya mereka yang mengklaim dirinya memiliki garis nasab yang berujung pada salah satu anak cucu Rasulullah SAW (ahl al-bait).

[17]Untuk keterangan lebih lanjut, lihat Shihab, Islam Sufistik, h. 18-21

[18]Abdurrahman Wahid, “Asal Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren” dalam Majalah Pesantren, Oktober-Desember 1984, h. 7-9. Bandingakan dengan Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Mizan: Bandung, 1999)

[19]Bruinessen, Kitab Kuning, h. 27

[20]Dhafier, Tradisi Pesantren, h. 136

[21]Bruinessen, Kitab Kuning, h. 41

[22]Misalnya melalui pengeluaran resolusi 1825 yang bertujuan membatasi jumlah jamaah haji. Segera setelah Belanda mencabut resolusi-resolusi tahun 1825, 1831 dan ordonansi tahun 1859, jumlah jamaah haji melonjak. Jemaah haji yang telah kembali ke tanah air itulah yang kemudian menjadi guru-guru Islam dan kemudian mendirikan sejumlah pesantren. Zamakhsyari Dhafier, Ibid., h. 13. Di samping itu, pembatasan dalam melakukan ibadah haji juga diterapkan pemerintah Hindia Belanda karena beberapa kekhawatiran. Pengalaman gerakan Paderi di Minangkabau pada sekitar tahun 1804 membangkitkan ingatan mereka bahwa gerakan tersebut terjadi setelah pemimpin-pemimpinnya pulang dari Mekkah, di samping kenyataan bahwa sejumlah pemberontakan yang terjadi di tanah air dipimpin oleh mereka yang telah menyelesaikan ibadah haji. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 30-31

[23]Hal ini dijelaskan secara detail dalam Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta, Pustaka Jaya, 1984), khususnya Bab V, “Kebangunan Agama”, h. 207-225

[24]Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang,( Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), h. 37

[25]Dalam penelitiannya, Mustopo menyimpulkan bahwa Islamisasi di Jawa karena faktor perdagangan. Barulah setelah itu para penyebar yang terdiri dari para ulama itu melakukan tugasnya setela komunitas muslim tumbuh. Ini berarti bahwa penyebar Islam yang dikenal dengan Wali bukanlah pendiri kekuasaan komunitas Islam. Mereka melakukan dakwahnya setelah komunitas Islam itu tumbuh. Lihat Mustopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur, h. 139

[26]Pesantren dan tarekat merupakan lembaga yang memiliki misi yang sama, yaitu menyampaikan dan melestarikan tradisi Islam dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Kalau pesantren lebih mengkhususkan misinya pada transmisi tradisi Islam di kalangan generasi muda agar mereka siap mengambil peran-peran aktif dalam masyarakat tanpa mengabaikan tujuan jangka panjangnya, mencari keselamatan dunia dan kebahagiaan di akhirat, maka tarekat lebih mengutamakan transmisi tradisi Islam di kalangan tua agar mereka siap menghadapi hidup di akhirat kelak di saat usianya menjelang. Lihat A.G. Muhaimin, “Pesantren and Tarekat in The Modern Era: An Account on The Transmission of Tradisional Islam in Java” dalam Studia Islamika, Vol. 4, No. 1, 1997, h. 6

[27]Laode Ida, Anatomi Konflik: NU, Elit Islam, dan Negara, (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), h. 13

[28]KH. MA. Sahal Mahfudh, ‘Madrasah dari Masa ke Masa’ dalam Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 266-267

[29]Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 26

[30]Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, h. 65

[31]Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 106

[32]Saifullah Ma’shum, “Transformasi Pendidikan Pesantren” dalam Saifullah Ma’shum (ed.), Dinamika Pendidikan Pesantren: Telaah Kritis Keberadaan Pesantren Saat Ini (Jakarta: Yayasan Islam Al-Hamidiyah dan Yayasan Saifuddin Zuhri, 1998), h. 32-34

[33]Dapat disebut sebagai contoh adalah pondok pesantren Annuqayah yang berdiri sejak 1887 ini. Lihat Tim Penyusun, Satu Abad Annuqayah: Peran Pendidikan, Politik, Pengembangan Masyarakat (Sumenep: PPA, 2000), h. 31-38

[34]Mukti Ali, “Meninjau Kembali Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Ulama”, dalam PESANTREN, No. 2/Vol. IV/1987, h. 21

[35]Mukti Ali, “Meninjau Kembali Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Ulama”

[36]Ulil Abshar-Abdalla, “Pesantren dan Budaya Tulis” dalam Membakar Rumah Tuhan: Pergulatan Agama Privat dan Publik (Bandung: Rosda Karya, 1999), h.134

[37]Abdurrahman Wahid, “Pendidikan Tradisonal di Pesantren” dalam Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 57-59

[38]Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, h. 121

[39]Syekh Ibrahim ibn Ismail, Syarh Ta’lim al-Muta’allim li al-Zarnuji (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.t.), h. 30

[40]ibid

[41]Bruinessen, Kitab Kuning, h. 17

[42]Affandi Mochtar, “Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum” dalam Marzuki Wahid, dkk (ed.), Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Bandung: Mizan, 1999), h. 221-222

[43]Masdar F. Mas’udi, “Mengenal Pemikiran Kitab Kuning” dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah (Jakarta: P3M, 1985), h. 55

[44]Muhammad Tholchah Hasan, “Masalah dan Prospek Kitab Kuning di Indonesia” dalam Majalah Aula, Februari 1986, h. 29

[45]Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1999), h. 145

[46]Husein Muhammad, “Kontekstualisasi Kitab Kuning: Tradisi Kajian dan Metode Pengajaran” dalam Marzuki Wahid dkk (ed.), Pesantren Masa Depan, h. 281

[47]Wahid dkk (ed.), Pesantren Masa Depan, h. 282

[48]Wahid dkk (ed.), Pesantren Masa Depan, h. 272

[49]Muhammad Tholhah Hasan, “Metode Pengajian Kitab di Pesantren: Tinjaun Ulang” dalam PESANTREN No. 1/Vol. VI/1989, h. 29

[50]Hasan, “Metode Pengajian Kitab di Pesantren, h. 29-30

[51]KH. MA. Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), h. 39

No comments:

Post a Comment