Thursday, February 09, 2012

Mengunjungi Tempat Suci: Ragam Motivasi Wisata Religius

Migrasi atau hijrah, pertualangan atau rihlah, dan haji, merupakah tema yang sama tuanya dengan agama itu sendiri. [1]Dalam konteks Islam, migrasi dikaitkan dengan peristiwa migrasi Nabi dari Mekkah ke Madinah. Sedangkan pertualangan merupakan istilah yang sangat lumrah di kalangan intelektual Islam dari zaman klasik yang dikaitkan dengan pertualangan untuk memburu pengetahuan, termasuk dalam berburu hadits-hadits Nabi. Begitu juga dengan haji. Haji sebagai aktifitas perjalanan untuk melaksanakan ritual-ritual agama di Mekkah pun merupakan peristiwa historis yang sama tuanya dengan agama itu sendiri. Ia merupakan tempat yang dikuduskan sehingga banyak orang yang berkunjung ke sana, di samping dalam konteks Islam adalah merupakan salah satu kewajiban agama.

Dengan demikian, mengunjungi tempat-tempat suci, termasuk mengunjungi Mekkah, merupakan tradisi yang cukup tua. Dalam sejarah peradaban kuno, tempat suci menjadi magnet tersendiri bagi penganut keyakinannya untuk melakukan ziarah dan ritual-ritual magis. Tempat suci itu telah menjadi objek wisata turun temurun dari generasi ke generasi.

Pentingnya tempat suci, Nabi melalui haditsnya merakam perihal larangan orang untuk “memaksakan diri melakukan wisata ziarah” (syaddur rihal) kecuali mengunjui tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha).[2] Ini artinya, mengunjungi tempat-tempat suci juga menjadi tradisi orang-orang terdahulu, bahkan tidak jarang menjadi niat dalam nazar-nazar mereka.
Hingga kini, mengunjungi tempat-tempat suci, seperti masjid, makam para wali, candi, serta situs-situs suci lainnya hampir menjadi rutinitas di kalangan masyarakat. Layaknya bentuk wisata pada umumnya, mengunjungi tempat-tempat suci mungkin saja hanya murni hiburan, intertainment, bagi sebagian kalangan. Atau mungkin sekadar pelepas penat usai kesibukan yang menyita rutinitas harian seseorang. Bisa jadi juga wisata hanya hobi seseorang. Atau mungkin menjadi bagian dari ‘tugas tambahan’ bagi penganut agama yang taat. Apapun alasannya, wisata dengan ragam bentuknya telah menjadi fenomena kompleks dan global yang mencakup tidak saja dimensi agama, tetapi juga ekonomi, budaya, sosial, politik, lingkungan, dan juga pendidikan.

Secara agama, terkadang orang merasa tidak lengkap jika belum mengunjungi tempat suci tertentu. Dalam Islam, misalnya, mengunjungi ‘rumah Allah’ (Baitullah) dalam bentuk melaksanakan ibadah haji menjadi kewajiban bagi penganutnya. Begitu juga bagi penganut agama lainnya, ada tempat suci khusus yang menjadi idola dan magnet untuk selalu dikunjungi.

Begitu juga secara budaya. Secara budaya, orang dianggap kurang lengkap tradisi keberagamaannya jika tidak pernah mengunjungi tempat-tempat suci semisal makam para wali. Bahkan dalam wilayah tertentu, ziarah wali menjadi ‘kewajiban’ tahunan. Selain itu, secara ekonomi, perjalanan melakukan ziarah akan memberikan dampak ekonomi yang tidak kecil bagi daerah yang dikunjungi. Banyaknya souvenir dan para pedagang di wilayah tempat-tempat ziarah merupakan indikator nyata betapa dampak ekonomi ziarah cukup besar. Belum lagi perusahaan travel yang kian meningkat seiring dengan meningkatnya gairah wisata religius di kalangan masyarakat.

Seiring dengan meningkatnya semangat beragama di kalangan masyarakat, meningkat pula wisata yang bermotif agama. Baik itu berupa kunjungan wisata ke makam-makam suci para wali, situs-situs bersejarah yang bernuasa agama, bahkan dalam bentuk pelaksanaan ibadah umrah. Ditambah lagi sejumlah paket tambahan dalam ibadah umrah dalam bentuk kunjungan ke makam para nabi di Palestina, dan situs-situs suci lainnya di sekitar Timur Tengah. Fenomena itu menandai tren baru di kalangan kelas menengah yang ingin kian menegaskan identitas keberagamaannya.

Dalam tulisan berikut ini, wisata yang yang hendak dibidik adalah wisata-wisata yang dikategorikan sebagai wisata religius, baik berupa kunjungan ke makam-makam para wali, atau pada ritus-ritus yang dinilai suci oleh masyarakat. Kategori suci tentu saja berbeda bagi masing-masing pemeluk agama. Tapi yang jelas, mengunjungi tempat suci hampir menjadi obsesi dari semua pemeluk agama. Tempat itu suci bagi satu agama, belum tentu suci bagi pemeluk agama yang lain.

Tulisan berikut hendak mengurai tentang hubungan wisata dan agama, dan bagaimana Islam melihat praktik wisata. Tulisan ini akan dipungkasi dengan pembahasan khusus mengenai motivasi berwisata dengan mengunjungi tempat suci, atau tempat yang dianggap suci dan memiliki nilai sejarah tertentu, serta situs-situs agama lainnya.

Wisata dan Agama

Perbincangan mengenai tourism menyita banyak perhatian dari para ahli. Pendekatan yang dilakukan juga sangat beragam, tergantung spesialisasi yang dimiliki oleh pengkajinya. Salah satu di antaranya adalah kajian mengenai hubungan wisata dan agama.

Secara umum, para pemerhati tidak memilah secara tegas antara wisata dengan motivasi agama dengan wisata pada umumnya. Karena wisata tidak dilihat dari motivasinya melainkan dari aktifitas wisatawan dalam melakukan wisata. Namun sebagian ada yang memilah wisata berdasarkan motivasi yang dilakukan oleh wisatawan. Pemilahan ini terutama dilakukan oleh para peneliti dan para pekerja travel yang mempromosikan paket-paketnya dengan menggambarkan fenomena itu dengan dua cara yang berbeda: [3]dorongan (impetus) mereka yang melakukan perjalanan dengan memadukan motif agama (dominan) dan sekuler (sekunder) dan mereka yang mengunjungi situs-situs suci sepanjang perjalanan mereka. Atau, dari perspektif agama, wisata religius terpisah dari bentuk pariwisata yang lain karena ditandai dengan maksudnya, motivasinya, dan tujuannya.

Di kalangan para ahli, ada perdebatan mengenai istilah yang digunakan antara pelaku wisata biasa dengan pelaku pewisata yang bermotif agama. Dalam Bahasa Inggris, digunakan the tourist dan the pilgrim. [4] Yang pertama mengacu pada wisatawan secara umum, sementara yang kedua dimaksudkan dalam artian wisatawan dengan motif agama. Oleh karena itu, istilah haji dalam Islam kerap diterjemah menjadi pilgrimage dalam bahasa Inggris.

Al-Qur’an dan Wisata

Dalam bahasa Arab, wisata biasanya diterjemah menjadi siyahah. Siyahah dengan akar kata s-y-h ini memiliki arti pertualangan. Dalam Al-Qur’an, akar kata s-y-h berikut derivasinya disebutkan tiga kali, yaitu: al-saihuna (QS. At- Taubah [9]: 112); saihatun (QS. Al-Tahrim [66]: 5); dan fasihu (QS. At-Taubah [9]: 2), yang semuanya biasanya digunakan sebagai bentuk media mendekatkan diri kepada Allah.

Ketika menjelaskan ayat-ayat tersebut, Al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ada beberapa pendapat terkait makna al-saihun. [5]Pertama, mengikuti pandangan ibn Abbas, bahwa semua kata dengan akar kata s-y-h bermakna bepuasa (al-shiyam). Ini didasarkan pada hadits Nabi bahwa siyahatu ummati al-shaum (pengembaraan ummatku adalah dengan cara berpuasa), di samping bahwa asal kata al-siyahah adalah selalu berpetualang di muka bumi dan berkelana menjauh dari daerahnya dengan keterbatasan makanan dan minuman (ashlu al-siyahah al-dlarbu fi al-ardli wa al-ittisa’I fi al-sairi wa al-bu’di ‘ani al-mudun wa maudli’I al-‘imarah ma’a al-iqlal min al-tha’am wa al-syarab). Dalam konteks ini, orang yang berpuasa dikatakan saihun karena kemiripan dalam hal mininggalkan makanan dan minuman atau karena orang yang berkelana tidak memiliki bekal (la zada ma’ahu)

Kedua, al-saihuna adalah para pencari ilmu yang berwisata dari satu daerah ke daerah lain. Ketiga, sebagaimana dikatakan Abu Muslim, al-saihuna adalah orang-orang yang berkelana di muka bumi (al-sairuna fi al-ardl). Dalam konteks ini juga, orang-orang yang berjihad, berjuang gigih untuk mendakwahkan agama, dan orang yang hijrah bisa dikategorikan sebagai al-saihun. Singkatnya, kata al-saihuna bermakna ‘pertualangan hamba baik dalam rangka mendekatkan diri kepada pencipta-Nya dengan shalat atau berpuasa, atau juga ‘berwisata’ di muka bumi dalam rangka penghambaan dan perenungan atas kekuasaan-Nya.

Di samping menggunakan kata siya-ha, dalam Al-Qur’an juga ditemukan kata sa-ra. Banyak sekali ayat yang memberikan motivasi untuk senantiasa melakukan wisata dalam rangka perenungan akan keagungan-Nya. Ini artinya, melakukan wisata, sesungguhnya tugas dan motivasi dari agama sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Simak misalnya beberapa ayat dalam Al-Qur’an, misalnya: QS. Ali Imran [3]: 137); (QS. Al-An’am [6]: 11); (QS. An-Nahl [16]: 36); (QS. An-Naml [27]: 69); (QS. Al-‘Angkabut [29]: 20); (QS. Al-Rum [30]: 42); (QS. Saba’ [34]: 18. Selain itu juga, ada istilah lain yang digunakan adalah yadlribuna fi al-ardli (Al-Muzammail : 20)

Mesksipun bukan suatu kewajiban, sebagaimana dijelaskan Al-Razi dalam tafsirnya, melakukan perjalanan wisata merupakan anjuran dalam rangka belajar dari gagal-suksesnya orang-orang dalam menjalani ajaran agamanya. Di samping itu, mencermati langsung situs-situs sejarah masa lampau lebih memberikan bekas kepada kita ketimbang sekadar menyimak dari kisah-kisah orang (inna al-musyahadah atsar al-mutaqaddimin atsaran aqwa min atsari al-sima’i). Dalam konteks ini, Al-Razi mengutip ungkapan penyair:

إن آثارنا تدل علينا ... فانظروا بعدنا إلى الآثار

“Situs-situs sejarah” menunjukkan kepada kami, maka perhatikan dan renungkanlah situs-situs sejarah itu bagi generasi setelah kami

Jika motivasi berkelana dalam kerangka mendekatkan diri serta bentuk pengagungan kepada-Nya, maka di sinilah sesungguhnya letak pentingnya wisata, apa pun objek wisata yang dikunjunginya. Dan tentu saja, agama tidak melarangnya. Gambaran di atas dengan jelas menggambarkan kepada kita bahwa Al-Qur’an telah memberikan penjelasan kepada kita bahwa motivasi penciptaan makhluk (manusia dan jin) dalam kerangka beribadah kepadanya. Implementasi ibadah itu bisa berwujud penghambaan spiritual maupun amal-amal lainnya, termasuk di dalamnya dalam pengembaraan maupun wisata. Pengembaraan dan wisata itu sepenuhnya diarahkan dalam kerangka merenungi keagungan-Nya sambil mengambil banyak pelajaran di dalamnya. Niat dan motif inilah yang menjadikan wisata bukan suatu yang terlarang.

Tradisi Mengunjungi Tempat Suci

Semua agama memiliki tempat suci yang diagungkannya. Tempat suci itu tidak saja dibatasi pada tempat ibadah, melainkan juga situs-situs yang dinilai suci atau bernilai sejartah menurut keyakinan agama masing-masing. Hampir di setiap agama-agama, mengunjungi tempat suci menjadi tradisi para pemeluknya. [6] Termasuk juga dalam agama Islam.

Dalam Islam, di samping masjid-masjid, makam-makam para tokoh agama (wali) kerap menjadi objek wisatawan. Petilasannya pun menjadi kunjungan para peziarah. Belum lagi situs-situs bersejarah lainnya semisal kuil, museum, lembaga pendidikan yang dididirikannya, dan lain sebagainya.

Terkait dengan mengunjungi tempat-tempat suci, para wisatawan tidak dibatasi oleh sentimen agama tertentu. Tidak sedikit wisatawan beragama bukan Islam mengunjungi masjid-masjid tua. Begitu pula banyak kalangan umat Islam yang mengunjungi kuil-kuil, candi, kelenteng, dan semacamnya. Dalam kunjungan penulis ke salah satu masjid tua di Mesir, Masjid ‘Amr ibn Ash, banyak wisatawan asing yang turut mengunjunginya. Mereka harus mengenakan gaun tambahan yang disediakan oleh penjaga masjid, lantaran kebanyakan dari mereka mengenakan busana musim panas yang serba terbatas (tidak menutupi aurat). Begitu juga di makam-makam para wali dan tokoh agama. Bisa dikatakan, ziarah makam atau juga mengunjui situs-situs sejarah lainnya merupakan suatu titik temu yang istemewa antar agama. Hampir di mana-mana di dunia Islam terdapat makam-makam khusus yang dikunjungi baik oleh orang Islam maupun bukan Islam. [7]

Pada mulanya, mengunjungi tempat suci dihakimi sebagai tindakan klenik para pemuja takhayul dan khurafat. Ia hanya menjadi tradisi masyarakat pinggiran yang dinilai tak berdaya menghadapi realitas sehingga mencari tempat pelarian. [8]Dan makam para wali dinilai menjadi ‘tempat sejuk’ dalam memenuhi hasrat batiniahnya.

Namun dalam perkembangannya, tudingan semacam itu tidak sepenuhnya benar. Lantaran, seperti ditengarai Berger, [9] agama kembali diperebutkan bukan oleh kalangan masyarakat pinggiran, melainkan oleh mereka yang dihunjam modernisme. Modernisme bukannya berhasil mengesampingkan yang sakral, malah sebaliknya terjadi arus balik menuju yang adikodrati di tengah-tengah masyakarat modern.

Fenomena arus balik ini pula yang turut mewarnai kecenderungan meningkatnya fenomena wisata (religious) di kalangan masyarakat kota. Peziarah yang berkunjung ke tempat-tempat suci tidak melulu mereka yang diidentifikasi sebagai kalangan primitif, tetapi juga mereka yang diidentifikasi masyarakat modern dan terdidik.

Bhardwaj, sebagaimana dikutip Timothy dan Iverson, menjelaskan setidaknya ada dua tipe dalam ziarah yang dilakukan para pengunjung tempat-tempat suci itu. [10]Pertama, wisata yang murni dilakukan karena alasan emotif dan sentimentil. Mungkin saja berwujud sumber pengayaan spiritual di mana wisatawan itu bisa mendengarkan petuah-petuah suci tokoh agama, berpartisipasi dalam festival, mengunjungi makam terkenal atau lokasi terkenal di mana Nabi dikenal pernah tinggal, atau untuk merayakan hari-hari khusus.

Kedua, perjalanan ziarah yang berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari. Bisa jadi, perjalanan ziarah ini digunakan sebagai media untuk mencari keuntungan praktis, seperti harapan kesehatan bagi anggota keluarga, atau mengunjungi makam yang dapat membantu penyembuhan penyakit atau meningkatkan kesuburan bagi tanah pertanian mereka. Dalam konteks ziarah ini, biasanya ada peleburan tata cara antara tradisi lokal dengan keyakinan agama. Sehingga tidak jarang, model ziarah ini mendapat respon takhayul, bahkan syirik oleh sebagian kalangan.

Keragaman pola ziarah ini sangat terkait dengan keragaman motif yang dimiliki oleh oleh wisatawan bersangkutan. Sebagaimana diurai di atas, Islam dengan Al-Qur’annya memberikan dorongan untuk senantiasa melakukan pertualangan di muka bumi untuk melakukan refleksi dan mengambil pelajaran dari pengalaman generasi terdahulu, baik pengalaman gagal atau pun sukses. Singkatnya, motivasi mereka untuk mengunjungi tempat suci itu tidak tunggal, dari sekadar memenuhi hasrat ingin tahu, rekreatif belaka, penelitian, hingga dalam rangka memenuhi hasrat batiniah wisatawan. Bahkan Islam juga memerintahkan perjalanan suci ke tempat suci (Mekkah) dalam rangka ibadah haji. Ini artinya, wisata tidak melulu hanya dipahami sebagai perjalanan tuna makna, seringkali wisata justru dalam kerangka mencari makna.
[1] Ian Richard Netton, Golden Roads, Migration, Pilgramage, and Travel in Medieval and Modern Islam, (United Kingdom: Curzon Press Ltd., 1993), h. x
[2]“Janganlah kamu memaksakan dalam melakukan wisata kecuali ke tiga masjid: masjidil haram, masjid nabawi, dan masjidil aqsha”. Hadits ini melahirkan polemik di kalangan masyarakat bahwa hadits tersebut menjadi dalil larangan melakukan wisata ziarah kecuali ke tiga masjid. Namun ibn Hajar al-Asyqalani ketika menafsirkan hadits itu menjelaskan bahwa hadits tersebut merupakan larangan memaksakan diri untuk shalat di masjid, kecuali di tiga masjid. Ini artinya, wisata ziarah dengan mengunjui makam Nabi, para ulama, dan sejenisnya bukan suatu hal yang dilarang dan diluar konteks hadits yang dimaksud. Lihat Ibn Hajar al-Asyqalani, Fath al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari….juz 4, h. 190. Mengenai polemik hadits ini, lihat juga Omar Abdallah Kamel, Tradisi Tawassul: Panduan dan Etika Ziarah Kubur serta Wisata Ziarah, terj. Ulya Fikriyati, (Jakarta: Lakpesdam NU, 2008)
[3] Dallen J. Timothy & Daniel H. Olsen, “ Wither Religious Tourism” dalam Dallen J. Timothy & Daniel H. Olsen (Ed.), Tourism, Religion and Spritual Journeys (New York: Routledge, 2006), h. 272
[4] Daniel H. Olsen & Dallen J. Timothy, Tourism, Religion and Spritual Journeys, (New York: Routledge, 2006), h. 6
[5] Lihat Fahruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, dalam http://www.altafsir.com
[6] Kathryn Rountree, “Journeys to the goddess: Pilgrimage and tourism in the new age” dalam William H. Swatos, Jr.(Ed.), Religion and the Social Order: An Official Publication of the Association for the Sociology of Religion (Leiden: E.J. Brill, 2006), h. 46
[7] Hendri Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di dunia Islam (Jakarta: Serambi, 2007), h . 16. Sebut saja misalnya mengunjungi Biara St Karherine di puncak Sinai, Mesir. Tempat ini tidak saja menjadi kunjungan umat Kristiani, tetapi juga umat Islam. Ketertarikan umat Islam untuk mengunjungi tempat ini di samping karena dianggap sebagai tempat Nabi Musa memperoleh wahyu, juga karena Nabi Muhammad pernah singgah ke tempat ini dan diperlakukan secara ramah. Lihat Dallen J. Timothy and Thomas Iverson, “Tourism and Islam, Considerations of culture and duty,” dalam Olsen & Timothy, Tourism, Religion, h. 196
[8]Pandangan semacam ini juga tampak dari penilaian Guilliot dan Chambert-Loir, yang kerap mempertentangkan antara tradisi kaum primitif dan kaum terdidik. Bahkan ia menilai sebagai suatu bentuk religiositas transisi, artinya masih dalam proses menjadi lengkap. Lihat Chambert-Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali, h. 16.
[9] Lihat misalnya dalam Peter Berger, Kabar Angin dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: LP3ES, 1991)
[19] Olsen & Timothy, Tourism, Religion, h. 196

Dimuat di KARSA: Jurnal Sosial & Budaya Keislaman, Vol. XVIII No. 2 Oktober 2010. ISSN 1693 - 122X

No comments:

Post a Comment