Thursday, January 07, 2010

Tradisi Repetisi dalam Pembelajaran di Pesantren

Dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya, pesantren memiliki keunikan sendiri. Pola belajar-mengajar sepanjang waktu dengan menjadikan kitab kuning sebagai bahan ajarnya merupakan salah satu dari sejumlah keunikan lembaga pendidikan tua ini. Kitab kuning yang menjadi bahan ajarnya pun nyaris seragam dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Ditengarai itu karena kesamaan ‘asal-usul’ intelektual para pendiri pesantrennya, yang ujungnya juga berdampak pada perjumpaan kurikulum antar pesantren.

Tidak hanya ada perjumpaan kurikulum, keberadaan satu pesantren dengan pesantren yang lain juga saling melengkapi. Ada pesantren yang menfokuskan diri pada ilmu gramatikal atau ‘ilmu alat’, kajian Al-Qur’an dan tafsirnya, kajian hadis, kajian fiqih dan ushul fiqih, serta ada juga yang mengkhususkan pada ilmu-ilmu lainnya. Keunikan pesantren yang menfokuskan pada pendalaman satu disiplin ilmu tertentu ini memungkinkan para pencari ilmu memilih pesantren sesuai dengan disiplin yang diminati. Di samping juga memungkinkan para pencari ilmu yang hendak mendalami beberapa disiplin ilmu dengan menjadi santri kelana. Meskipun model santri kelana saat ini mulai hilang, namun masih ada sebagian yang melakukan semacam rihlah fi thalabil ‘ilmi dengan mendalami disiplin ilmu tertentu dengan mencari ulama yang menekuninya.

Hilangnya model kelana dalam mencari ilmu ini, salah satunya, akibat pergeseran sistem pengajaran di pesantren. Kalau dulu sorogan dan wetonan menjadi media efektif transfer pengetahuan dari kiai kepada santrinya, kini dengan dimulainya sistem klasikal tidak memungkinkan lagi aktifitas kelana dalam mencari ilmu. Sistem klasikal meniscayakan peserta didik melalui jenjang-jenjang pendidikan sesuai dengan tingkat pendidikannya. Tanpa menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu, peserta didik dianggap gagal meraih pendidikan yang dimaksud. Berbeda halnya dengan model lama yang tidak meniscayakan jenjang-jenjang khusus, di mana peserta didik dengan bebas belajar dan mencari pengetahuan pada guru-guru sesuai dengan spesialisasi dan keahlian yang hendak ditekuninya.

Dalam konteks ini, terintegrasinya sistem klasikal dan didirikannya madrasah di kebanyakan pesantren memang tidak selalu bermakna positif. (Mukti Ali: 1987) Kontrol langsung kiai dalam sistem sorogan tidak lagi terjadi dalam sistem klasikal di mana para santri dengan leluasa memilih belajar atau bahkan tidak belajar. Pengawasan dan evaluasi langsung kiai tidak terjadi dalam sistem madrasah. Namun dibalik kekurangan ini, diadaptasinya sistem madrasah dalam pesantren menjadikan kurukulum pengajaran disampaikan secara berjenjang, terstruktur, dan dengan demikian, evaluasi serta penilaian atas para santri pun terstruktur.

Idealnya, pola lama pendidikan pesantren dengan sorogan dan wetonan sebagai metode pengajaran disinergikan dengan sistem madrasah yang belakangan mulai diadaptasi di lingkungan pesantren. Dengan perpaduan ini, kekurangan masing-masing pola bisa dihindari dan kelebihannya bisa disinergikan. Dalam konteks tersebut, tepat apa yang dikatakan Mukti Ali bahwa “madrasah dalam pesantren adalam sistem pengajaran dan pendidikan agama yang paling baik.” Singkatnya, pesantren saat ini harus tetap berpijak pada prinsip “pemapanan tradisi positif pesantren sembari mengadaptasi tradisi yang lebih baik.” Hanya dengan cara semacam ini, akar tradisi pesantren tetap terawat, dan pada saat yang sama kekurangan pesantren bisa dibenahi.

Namun satu hal yang belum bergeser baik dalam model kelana maupun model klasikal adalah kemungkinan pengulangan pelajaran. Pengulangan (repetisi) pelajaran selalu saja terjadi meski tidak selalu mengulang bahan ajar yang sama. Mungkin saja bahan ajar yang digunakan berbeda, tapi materi yang diajarkan tidak berbeda dalam jenjang yang berbeda. Misalnya, ketika kelas 1 tsanawiyah, peserta didik diajarkan fiqih thaharah dengan bahan ajar kitab Fathul Qarib. Pada jenjang Aliyah, peserta didik nantinya juga akan diajarkan fiqih thaharah meskipun bahan ajar yang digunakan berbeda, yakni Kifayatul Akhyar. Demikian seterusnya terkait dengan disiplin lain yang diajarkan di pesantren.

Persoalannya, apakah tradisi pengulangan pelajaran seperti ini mengganggu dalam pembelajaran efektifitas dan efesiensi belajar mengajar di pesantren? Apa sesungguhnya hakikat pembelajaran di pesantren? Uraian berikut hendak membahas dua pertanyaan ini.

Hakikat Pembelajaran di Pesantren

Membincang hakikat pembelajaran di pesantren, setidaknya kita diajak merujuk kembali pada kitab utama rujukan pesantren dalam praktik belajar mengajar, Ta’limul Muta’allim karya Az-Zarnuji. Kitab ini menjadi rujukan sekaligus pedoman penting pencari ilmu agar bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Kitab yang diawali dengan hakikat ilmu dan keutamaannya ini menjelaskan banyak hal terkait dengan niat belajar, memilih disiplin ilmu, guru, teman, keagungan ilmu dan ilmuwan, keseriusan belajar dan mengulang-ulang pelajaran yang diperolehnya, kapan memulai belajar, dan lain sebagainya. Persoalan hakikat ilmu menjadi awal penting yang dibahas kitab ini, dan hal ini juga yang menjadi hakikat pembelajaran di pesantren.

Bagi kalangan pesantren, ilmu bukanlah untuk ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, ilmu diperuntukkan demi menggapai ketakwaan kepada-Nya. Jika ini yang menjadi hakikat pembelajaran di pesantren, maka sudah pasti, orientasi-orientasi duniawi bukan menjadi target utama pembelajaran. Karena niat menuntut ilmu, sebagaimana dituliskan Az-Zarnuji dalam kitabnya, untuk meraih keridaan-Nya dan demi tujuan-tujuan ukhrawi, di samping dalam rangka mengenyahkan segala bentuk kebodohan, menjunjung dan membela agama (Islam).

Ini menjadi dasar mengapa pendidikan agama menjadi prioritas dalam pembelajaran di pesantren. Atas dasar ini pula, munculnya pesantren pada masa-masa awal berdirinya tidak diniatkan pada orientasi tertentu yang bersifat duniawi semisal orientasi lapangan penghidupan atau jabatan tertentu dalam hirarki sosial, melainkan semata-mata pengembangan agama yang bernilai ibadah. Ini misalnya terlihat dalam bacaan doa yang populer di kalangan pesantren yang berbunyi: “Wahai Tuhanku, jangan jadikan orientasi duniawi sebagai impian utama kami, dan jangan jadikan orientasi duniawi sebagai target keilmuan kami… .”Allâhumma lâ taj’ali al-dunyâ akbara hamminâ, wa lâ mablagha ‘ilminâ". Doa ini dengan tegas menampik orietasi duniawi sebagai impian dan target pengembaraan intelelektualnya. Artinya bahwa ketulusan meraih rida Allah menjadi impian para santri dalam menuntut ilmu.

Dengan orientasi keilmuan semacam ini, maka sudah pasti kepentingan-kepentingan duniawi dianggap sebagai ‘perusak’ niat santri dalam menjalani pendidikannya di pesantren. Jika demikian, maka hakikat pembelajaran di pesantren tidak kunjung didapat, lantaran tercemarnya niat belajar oleh noda-noda pendidikan akibat kepentingan duniawi.

Pengulangan atau Pendalaman?

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, pesantren pun harus ‘sadar diri’. Perubahan era ternyatan juga berdampak pada pergeseran tradisi, bahkan orientasi dari pesantren itu sendiri. Terlebih juga pergeseran orientasi pada santrinya. Pesantren harus berbenah dan bersiasat di tengah pergeseran tradisi dan orientasi ini. Memang, dalam menyiasati perubahan tuntutan, pesantren tidak serta merta harus melakukan perombakan seluruh struktur dan tradisi pendidikan dan pembelajaran di pesantren. Pesantren dengan segala keunikannya mutlak dipertahankan, sekaligus pada saat yang sama modifikasi dan improvisasi senantiasa diupayakan.

Perlu ditekankan bahwa modifikasi dan improvisasi yang dilakukan pesantren semestinya hanya terbatas pada aspek teknis operasional-nya, bukan substansi pendidikan pesantren itu sendiri. Karena, apabila improvisasi itu menyangkut substansi pendidikan, maka pesantren yang mengakar ratusan tahun lamanya akan tercerabut dan kehilangan elan vital sebagai penopang moral yang menjadi citra utama pendidikan pesantren.

Teknis operasional yang dimaksud bisa berwujud perencanaan pendidikan yang rasional, pembenahan kurikulum pesantren dalam pola yang mudah dicernakan, dan tentu saja adalah skala prioritas dalam pendidikan. Pola perencanaan yang matang, terstruktur sembari mempetimbangkan skala prioritas dan pembentukan kurikulum yang efektif dan efisien mutlak diperhatikan sehingga pesantren mampu terus menancapkan pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat yang belakangan tampak mulai apatis, untuk tidak mengatakan alergi dengan sistem pendidikan pesantren. Di sinilah kemudian persoalan pengulangan dalam pembelajaran di pesantren kembali dipertanyakan.

Sebenarnya, pengulangan dalam pembelajaran di pesantren bukanlah penghambat efektifitas dan efesiensi dalam pembelajaran, sepanjang itu ditujukan untuk pendalaman dan penjenjangan, di samping pemberian penekanan pada latihan dan praktik. Sebaliknya, jika pengulangan itu bukan dalam rangka pendalaman dan penjenjangan, maka sudah pasti akan banyak menyia-siakan dan memboroskan waktu. Akibatnya, target pembelajaran terhambat.

Di sini pesantren harus mampu memilih dan memilah mana materi ajar yang perlu untuk terus didalami melalui pengulangan dan mana yang tidak. Sehingga, efektifitas dan efesiensi waktu bisa dikelola sedemikian rupa dan santri bisa mengetahui banyak hal dari materi yang diajarkan tanpa terjebak pada pengulangan-pengulangan yang tidak perlu.[]

Dimuat Tabloid Pondok Pesantren
Edisi Keempat, 2009