Saturday, January 09, 2010

Perlukah Islamisasi Sains?

Tersirat bahwa ketika membincang persoalan Islamisasi sains diam-diam kita berupaya melakukan naturalisasi nilai Islam dalam sains di satu sisi, dan pengakuan bahwa sains nyata-nyata tidak bebas nilai di sisi lain. Artinya, kita mengakui bahwa sebenarnya ada endapan-endapan nilai Barat dalam sains itu sendiri, dan untuk menetralisir nilai-nilai Barat tersebut, kita memerlukan nilai-nilai Islam yang dicobamasukkan dalam sains. Jika demikian kenyataannya, maka saya berpendapat bahwa dalam kata Islamisasi sains itu sendiri terkandung kontradiksi dalam istilah, contradictio in terminis. Kontradiksi yang dimaksud adalah seolah kita mengukuhkan asumsi sebagian besar kalangan yang mencoba menarik jarak antara agama dan sains. Dan di sinilah sebenarnya kita diam-diam mengabsahkan pertentangan antara agama dan sains.

Padahal, dalam konteks Islam, penjarakan, atau lebih tepatnya pemisahan, semacam itu tidak terjadi. Karena dalam Islam, agama mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, demikian pula sebaliknya, dalam ilmu pengetahuan tersirat pesan-pesan agama. Begitu banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mendukung kenyataan ini, misalnya terlihat dari sejumlah ayat yang diawali dengan kata afalâ yandhurûna ilâ..? (“apakah kamu tidak mengamati…?”). Ini menunjukkan dengan nyata bahwa agama (dalam konteks ini Islam) menopang tegaknya panji-panji ilmu pengetahuan. Kalau demikian, mengapa masih perlu proyek Islamisasi ilmu pengetahuan?

Untuk mengulas tidak perlunya Islamisasi sains, saya hendak mengawalinya dengan membaca proyek Islamisasi sains Ismail R. Faruqi yang dengan ambisi besar hendak membongkar hegemoni sains Barat dengan mengajukan Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai penggantinya. Sayangnya, paling tidak menurut saya, Ismail R. Faruqi gagal merumuskan metodologi yang kokoh, karena sebenarnya ia terjebak pada model eklektis dengan mengambil sebagian dan membuang sebagian hal dari Barat dan mencatutnya untuk keilmuan Islam sehingga keilmuan Islam relevan dengan kekinian atau Barat. Dalam konteks ini, Al-Faruqi dan sejumlah penggagas Islamisasi sains diam-diam mengakui keagungan sains Barat dengan sejumlah catatan dan tambahan (apresiatif-selektif), yaitu internalisasi nilai-nilai Islam di dalamnya.

Dalam bukunya, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan, Al-Faruqi dengan jelas menjabarkan kerangka kerja dan prinsip-prinsip umum Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Dengan mengamati realitas objektif umat Islam akibat koloniasasi, Al-Faruqi sampai pada kesimpulan bahwa umat Islam mengalami kemunduran dalam segala bidang dan secara psikologis umat Islam mengalami skizofrenia, sejenis keterpecahan personalitas (split personality). Umat Islam mengalami inferiority complex di hadapan Barat. Untuk mengatasi malaise intelektual di dunia Islam ini, Al-Faruqi mengusulkan kerangka kerja yang meliputi pemaduan sistem Islam dan sistem sekular (dengan menggugat pandangan dualistik yang dikukuhkan sains modern), menanamkan wawasan keislaman yang memadai dengan kewajiban mempelajari kebudayaan Islam secara utuh, dan menguasai semua disiplin modern secara sempurna. Pengetahuan tentang kekayaan Islam dan Barat sekaligus mengantarkan pada kita untuk mengintegrasikan pengetahuan baru dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai pandangan dunia Islam dan menetapkan nilai-nilainya.

Gagasan pragmatis semacam ini, sebagaimana ditunjukkan Al-Faruqi, semakin menunjukkan kelemahan umat Islam dalam ilmu pengetahuan di hadapan kedigdayaan sains Barat sehingga patut mengekor kepadanya walaupun dengan kritik. Di sini saya akan menunjukkan kelemahan-kelemahan proyek Islamisasi sains yang digadang-gadang sebagian intelektual Muslim dengan menelisik sisi ontologi, epistemologi, dan aksiologi sains itu sendiri.

Secara ontologis, hakikat sains adalah menyoal realitas fisik, alam dan manusia, secara objektif, sistematis, dan terbuka ruang untuk revisi. Artinya, produknya lebih bernuansa hipotetik. Cakupannya pada wilayah fisik-empiris menjadikan pandangan dunia sains lebih bersifat sekular-materialistis, dan karena sifatnya yang hipotetik, sains berpeluang untuk terus berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan baru. Sampai di sini, saya yakin bahwa sains adalah bebas nilai (free value), dan dalam konteks ini pula sains harus dibedakan dengan ilmuwan yang menggunakan sains. Jadi nilai-nilai yang dikandung sains itu bukanlah berasal dari sains itu sendiri, melainkan dari ilmuwan yang memanfaatkan sains. Karena konsentarasi sains hanya mengurus hal-hal yang inderawi, fisik, dan seolah mengabaikan yang non-inderawi, metafisik, maka penganjur “Islamisasi” berhasrat untuk menularkan nilai-nilai agama yang seolah dalam sains diabaikan. Jadilah apa yang disebut Islamisasi sains. Padahal, menurut hemat saya, yang perlu di-“Islamisasi” bukanlah sainsnya, melainkan ilmuwan yang mengendalikan sains. Sains tidak memberi konsekuensi apa-apa, kecuali konsekuensi ilmiyah. Ibarat cek kosong, sains akan diisi oleh orang (ilmuwan) menurut kebutuhannya.

Secara epistemologis, sains meniscayakan metode tentang bagaimana ilmu pengetahuan didapat. Munculnya aliran rasionalis yang meyakini bahwa pengetahuan dapat diperoleh hanya melalui akal melahirkan madhab pemikirannya sendiri yang bernama rasionalisme. Berbeda dengan rasionalisme, empirisme menampik keserbamemadaian akal dalam mencapai pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan manusia tidak mungkin didapat dengan penalaran rasional yang abstrak, melainkan dengan pengalaman konkret.[]

(Tulisan ini adalah bagian dari refleksi penulis terkait dengan pertanyaan Jujun J. Susiasumantri di kelas mata kuliah Filsafat Ilmu, Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2003)