Monday, January 11, 2010

Isu-Isu Polemis dalam Diskursus 'Ulumul Qur'an di Mesir Kontemporer

Kajian mengenai Al-Qur’an dan disiplin ilmu yang menopangnya menjadi perhatian yang cukup memikat. Selain karena Al-Qur’an merupakan kitab suci yang dipedomani oleh penganutnya, juga karena Al-Qur’an menyisakan banyak misteri yang membuat orang terpikat dan tertantang untuk mengkajinya. Posisinya yang demikian penting inilah yang memikat perhatian yang demikian besar sejak era Rasulullah Saw hingga kini. Perhatian itu diwujudkan dengan pencatatan Al-Qur’an ketika untuk pertama kalinya disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw kepada umatnya, pembukuan menjadi mushaf, penafsiran, dan perumusan disiplin keilmuan dalam kajian Al-Qur’an. Manifestasi perhatian yang luar biasa ini terwujud dengan melimpahnya karya-karya kesarjanaan yang berupaya membentangkan kandungan maknanya (tafsir), di samping karya-karya inteletektual seputar ‘ilmu bantu’ dalam memahami Al-Qur’an. Ilmu bantu yang dimaksud adalah ‘ulumul Qur’an.

Dalam bentuk perumusan ilmu bantu untuk memahami Al-Qur’an, ara sarjana telah menyusun karya yang melimpah. Kepentingan untuk merumuskan dasar-dasar epistemologis dalam mendekati dan memahami Al-Qur’an ini dirasa perlu guna membantu orang yang hendak mengkaji dan memahami Al-Qur’an secara akurat. Apa yang kemudian dikenal dengan ‘ulumul Qur’an ini ibarat ‘kunci’ untuk memasuki bahtera maha luas pesan Al-Qur’an.

Kemunculan‘ulumul Qur’an ini bukanlah kreasi paska kenabian, melainkan seiring-sejalan dengan diseminasi Al-Qur’an melalui Nabi kepada para sahabatnya. Artinya, sebagaimana dalam menafsirkan Al-Qur’an, Nabi pun berperan dalam memperkenalkan‘ilm al-Qur’an yang kemudian diterima oleh para sahabatnya untuk kemudian ditularkan pada generasi setelahnya. Dengan demikian, secara embrional, ‘ilmu al-Qur’an bermula sejak Nabi mengajari para sahabatnya dan demikian seterusnya. Data yang diajukan untuk mengukuhkan argumen ini adalah penjelasan Ibn Khaldun bahwa Nabi Muhammad Saw menjelaskan ayat-ayat yang global (mujmal), memilah mana ayat yang di-mansukh dan yang me-mansukh. Beliau memberitahu para sahabatnya dan mereka pun tahu dan memahami konteks historis yang melatari turunnya ayat. Informasi ini cukup untuk mengatakan bahwa perumusan ilmu bantu dalam memahami Al-Qur’an setua dengan Al-Qur’an itu sendiri.

Dalam perkembangannya, kajian tentang ilmu Al-Qur’an mengalami proliferasi yang luar biasa pesatnya. Tidak saja di tempat turunnya, Mekah dan Madinah, kajian tentang ilmu Al-Qur’an juga meluas hingga wilayah tetangga sebagai konsekwensi pembebasan-pembebasan wilayah (futuhat) yang dilakukan para sahabat dan tabiin dalam menyebarkan Islam. Di wilayah ketika Islam tumbuh, di situlah kajian Al-Qur’an dan ilmu pendukungnya menemukan ruangnya. Demikianlah, seiring dengan perluasan wilayah Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan, kajian Al-Qur’an mengalami semacam sofistifikasi dalam materinya.

Begitu pula yang terjadi di Mesir. Seiring pembebasan Mesir, maka pada saat itu pula berlangsung Arabisasi di Mesir. Al-Qur’an merupakan bagian terpenting yang dibawa Arab ke Mesir dan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya. Keberhasilan dalam melakukan pembebasan kota Mesir ini secara perlahan juga diikuti dengan proses Arabisasi dan Islamisasi wilayahnya. Abdullah Khursyid al-Bari menyebutkan bahwa masuknya orang Arab pada tahun 20 H hingga berdirinya dinasti Fatimiyah merupakan era sejarah penting dalam kehidupan masyarakat Mesir. Pada masa-masa itu, Bahasa Arab menjadi bahasa orang-orang Mesir, dan secara perlahan Islam menjadi agama sebagian besar orang Mesir. Dalam proses Arabisasi dan Islamisasi itulah, Al-Qur’an menjadi ‘oleh-oleh’ terpenting yang dibawa tentara Arab ke Mesir.

Melalui para tentara Islam yang notabene adalah para sahabat Nabi terkemuka itu, Islam dibawa dan Al-Qur’an sebagai kitab pedomannya. Mereka tidak saja membawa Al-Qur’an dalam ingatan, melainkan juga ada yang membawa catatan-catatan yang tertulis pada kulit kayu, tulang binatang, dedaunan dan semacamnya. Di antara tentara tersebut yang juga pencatat Al-Qur’an adalah ‘Abdullah ibn Sa’d ibn Abi Sarah, ‘Uqbah ibn ‘Amir, ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash, Ghurfah ibn Haris al-Kindi, dan Wardan (budak ‘Amr). Mereka itulah yang menyebarkan Al-Qur’an di Mesir sebelum ‘mushaf resmi’ ‘Ustman sampai dan tersebar di sana.

Meskipun demikian, bukan berarti di Mesir tidak terdapat catatan tertulis dari Al-Qur’an secara lengkap. Karena ternyata dari catatan sejarah telah ada sejumlah mushaf yang dimiliki para pencatat Al-Qur’an sepanjang masa sejak pembebasan Mesir hingga terbitnya ‘mushaf resmi’ yang disebar pada masa pemerintahan ‘Us\ma>n ibn ‘Affan. Mereka itu adalah ‘Abdurrahman ibn Muljim al-Muradi (w. 40 H) dan ‘Abdullah ibn Malik (w. 77 H). Yang pertama oleh ‘Umar ibn Khaththab diangkat secara resmi sebagai ‘pengajar Al-Qur’an dari Mesir’ (iqra’ al-Mishriyyin al-Qur’an). Dua orang ini diduga memiliki mushaf Mu’az ibn Jabal yang diperoleh ketika mereka berguru ke beliau di Yaman.

Selain itu adalah Mushaf ‘Uqbah ibn ‘Amir (w. 58 H). Sebagaimana sahabat yang memiliki keahlian dalam menulis untuk mencatat Al-Qur’an yang diterimanya, ‘Uqbah yang sempat menjadi mufti negara di Mesir pun memiliki catatan pribadi dari Al-Qur’an. Apa yang disebut dengan Mushaf ‘Uqbah ini merupakan wujud perhatian orang Mesir terhadap Al-Qur’an. Di samping itu, Abdullah (w. 65), putra ‘Amr ibn ‘Ash—sang pembebas Mesir—juga memiliki catatan mengenai Al-Qur’an yang diterimanya langsung dari Nabi Muhammad Saw. Naskah Mushaf ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash berbeda dengan naskah yang dimiliki Ibn Mas‘ud dan Mushaf Ustman, dan bahkan dengan mushaf yang berkembang di sana saat itu (abad ke-2 H).

Pencatat lainnya adalah ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w. 68 H). Pada masa pemerintahan ‘Utsman, Ibn ‘Abbas memasuki Mesir. Dalam kunjungannya ke Mesir itulah, naskah yang dimiliki Ibn ‘Abbas juga dibawa. Demikianlah, melalui para sahabat yang melakukan pembebasan Mesir itulah, di samping sahabat yang mengunjungi Mesir, transmisi ajaran Islam disebar ke penduduk setempat, tidak terkecuali pengenalan Al-Qur’an dan pengkajiannya. Para sahabat itulah yang menjadi peletak ‘mazhab Mesir’ (madrasah Misr) dalam bidang keagamaan.

Selain itu, di samping sejumlah sahabat yang membawa mushaf masing-masing saat pembebasan Mesir, ada juga di antara mereka yang sejumlah pembaca dan penghafal Al-Qur’an atau dikenal sebagai qurra’. Mereka itulah yang mengenalkan Al-Qur’an kepada masyarakat Mesir. Dengan demikian, pengenalan masyarakat Mesir terhadap Al-Qur’an terjadi sejak saat itu dan kian berkembang di masa kemudian.

Sebagaimana dalam sejarah perkembangan ‘ulum al-Qur’an secara keseluruhan, maka perkembangan ilmu Al-Qur’an di Mesir juga bermula dari format pembahasan ilmu Al-Qur’an sebagai bagian dari tafsir yang diperoleh dan disampaikan secara lisan dan belum terdokumentasi secara tertulis. Sebut saja misalnya tafsir-tafsir yang diriwayatkan ‘Atha’ ibn Dinar al-Huzali (w.126 H), ‘Ubaid ibn Suwaih} al-Anshari (w. 135 H), ‘Abdullah ibn Wahb (125-197 H), ‘Abdullah ibn Shalih} (137-223 H), dan ‘Abd al-Ghani ibn Sa‘id al-Tsaqafi (w. 229 H). Mereka itulah yang membentuk komunitas sendiri dalam tafsir, atau dikenal dengan madrasah mis}riyyah.

Kecuali itu, Abu Ja‘far Ah}mad ibn Muhammad al-Nahhas (w. 338 H) mengawali sejarah tertulis ilmu Al-Qur’an, tidak saja sebagai bagian dari tafsir sebagaimana dalam kitabnya Ma’an al-Qur’an, tetapi juga kajian tematik dari tema-tema yang terkait dengan ilmu Al-Qur’an sebagaimana dalam bukunya, Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh. Selain itu, dapat disebutkan juga Muh}ammad ibn ‘Ali Abu Bakr al-Adfawi (304-388 H). Al-Adfawi di samping memiliki kitab tafsir yang berjumlah 120 jilid, juga memiliki karya yang berjudul Al-istighna’ fi ‘Ulum al-Qur’an. Menurut kesimpulan Manna‘ al-Qaththan, kitab Al-Istighna’ ini merupakan karya tematik menyangkut salah satu bagian ilmu Al-Qur’an.

Dalam perkembangan selanjutnya, abad ke-4 H, dapat disebutkan sosok ‘Ali ibn Ibrahim Sa‘id yang dikenal dengan Abu al-Hasan al-Hufi (w. 420 H). Beliau di samping menulis sebuah buku tematik tentang ilmu i‘rab al-Qur’an dengan judul Kitab I‘rab al-Qur’an yang terdiri dari 10 jilid, juga menulis kitab yang merangkum beragam disiplin ilmu Al-Qur’an atau kerap disebut dengan ‘ulum al-Qur’an. Kitab itu berjudul Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an dan terdiri dari 30 jilid. Kitab ini, jika tepat disebut sebagai kitab ‘ulum al-Qur’an, mengawali genre baru dalam penulisan dan pembahasan disiplin ilmu Al-Qur’an yang merangkum beragam disiplin ilmu Al-Qur’an. Genre ini yang kemudian juga diikuti oleh generasi berikutnya.

Sebut saja misalnya Badr al-Din al-Zarkasyi. Beliau lahir di Kairo tahun 745 H dan wafat dalam usia yang tidak terlalu tua, 49 tahun, pada tahun 794 H. Di antara karya yang ditinggalkan adalah Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an yang merangkum 47 pembahasan mengenai disiplin ilmu Al-Qur’an. Sebagaimana ditegaskan al-Zarkasyi, bahwa 47 pembahasan ini mungkin saja dikembangkan lebih banyak lagi. Hemat penulis, kitab ini merupakan karya terlengkap dalam disiplin ilmu Al-Qur’an pada masanya.

Jejak al-Zarkasyi ini diikuti oleh Jalal al-Din al-Suyuthi. Beliau dilahirkan di kota Asyuth, Mesir pada tahun 849 H. Melalui karyanya Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Suyuthi hendak melengkapi ‘kekurangan’ yang dilakukan pendahulunya. Secara tegas, al-Suyuthi menyebutkan bahwa struktur pembahasan dalam Al-Itqan mengikuti apa yang dilakukan al-Zarkasyi dalam Al-Burhan. Hanya saja, al-Suyuthi bermaskud memadukan bagian yang perlu dipadukan, memerinci hal-hal yang perlu dijabarkan lebih lanjut, dan menambahkan hal-hal yang penting ditambahkan. Oleh karena itu, ia melengkapi kitab ini menjadi 80 pembahasan dari 47 pembahasan yang telah dilakukan al-Zarkasyi.

Karya mutakhir yang mengakhiri era penulisan ‘ulum al-Qur’an di Mesir awal adalah Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an karya al-Zarqani. Beliau adalah Muhammad ibn ‘Abd al-Azim al-Zarqani, salah seorang pengajar di Universitas Al-Azhar. Buku yang selesai ditulis pada tahun 1943 ini bagian dari respon penulis akan kebutuhan mahasiswanya, di samping kebutuhan umat Islam akan bacaan alternatif.

Gambaran umum perkembangan‘ulum al-Qur’an masa-masa awal di Mesir cukup menjelaskan bahwa pada mulanya, sebagaimana juga perkembangan ulum al-Qur’an secara umum di dunia Islam, disiplin ini menjadi bagian dari tafsir atau setidaknya menafsirkan Al-Qur’an dalam perspektif i’rab-nya (tata bahasa). Ini menunjukkan bahwa baik antara tafsir dan ‘ulum al-Qur’an, bahkan dengan hadis, menjadi bagian integral dalam penulisan disiplin ‘ulum al-Qur’an di masa-masa paling awal dalam sejarah perkembangan ‘ulum al-Qur’an, tidak saja di Mesir, tetapi juga di seluruh belahan dunia Islam.

Kecenderungan ini berbarengan dengan munculnya karya-karya tematik menyangkut salah satu disiplin ilmu Al-Qur’an. Karya-karya dengan jenis ini terspesialisasi dalam satu kajian mendalam pada sebuah disiplin ilmu Al-Qur’an tertentu, seperti ilmu nasikh-mansukh, ilmu asbab al-nuzul, ilmu qira’at, ilmu gharib Al-Qur’an, i‘rab Al-Qur’an, i‘jaz Al-Qur’an, aqsam Al-Qur’an, dan lain sebagainya, dan keberadaannya didasarkan pada kebutuhan praktis saat itu. Karya-karya ini yang mengilhami kecenderungan lain dalam penulisan disiplin ‘ulum al-Qur’an di masa selanjutnya.

Dari sejumlah inisiatif dalam penulisan disiplin ‘ulum al-Qur’an yang terspesialisasi dalam disiplin-disiplin ilmu mandiri seiring dengan era kodifikasi keilmuan dalam Islam, maka tantangan lain yang dibutuhkan ulama adalah menghimpun menjadi satu dokumen utuh. Munculnya karya semacam Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya al-Zarkasyi dan Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya al-Suyuthi dapat dijadikan contoh.

Karya yang lahir dari situasi keterpurukan Islam, baik secara politik, sosial, dan budaya inilah yang mengantarkan spesialis ilmu Al-Qur’an untuk menghimpun dalam satu kesatuan yang utuh dalam kemasan yang praktis dan ringkas. Dengan pola dan kecenderungan semacam ini, umat Islam bisa menguasai materi-materi tersebut dengan waktu yang singkat. Singkatnya, kehadiran karya jenis ini merupakan representasi ‘situasi psikologis’ terancam, sehingga diperlukan upaya defensif dalam konteks konsolidasi internal, dengan menghadirkan karya yang bertujuan sebatas ‘mengamankan agar tidak hilang’ dalam satu kesatuan yang utuh.

Semangat serupa juga terjadi pada karya al-Zarqani yang juga menyusun karya utuh mengenai ‘ulum al-Qur’an. Semangat untuk bertahan dari serangan pemikiran Barat dalam mendangkalkan pemahaman dan keyakinan umat Islam terhadap kitab sucinya, menjadi salah satu motivasi beliau untuk menyusun buku utuh dalam ilmu Al-Qur’an ini. Di samping juga untuk kepentingan pragmatisme akademis, yaitu sebagai bahan ajar di perguruan tinggi.

Demikian terus berlanjut pada era kontemporer. Perkembangan ilmu Al-Qur’an di Mesir kontemporer, menurut hemat penulis, sporadis dan sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan. Indikasi ini muncul di masa-masa transisi antara apa yang penulis sebut sebagai ‘era awal’ dan ‘era kontemporer’. Era transisi ini ditandai dengan kaburnya pola penulisan yang tidak lagi mengikuti alur penulisan di masa awal yang bermula dari corak penulisan ilmu Al-Qur’an sebagai bagian dari tafsir, kemudian menjadi karya tematik, dan menjadi disiplin yang utuh yang terhimpun dalam kategori ‘ulu>m al-Qur’an.

Dalam konteks ini, penulis melihat bahwa karya al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, merupakan karya transisi yang menjembatani era awal Mesir dengan era kontemporer. Kecenderungan transisional ini terlihat dari corak penulisannya yang tidak memperdulikan gaya penulisan yang rumit. Yang terpenting adalah sampainya gagasan dengan mudah kepada pembaca.

Kenyataan bahwa corak dan kecenderungan karya-karya pada era transisi ini bersifat sporadis, akan berlanjut pada era kontemporer. Potret umum ‘ulum al-Qur’an di Mesir kontemporer mewarisi corak umum karya-karya ‘ulum al-Qur’an pada masa transisi. Ini terlihat dengan lahirnya sejumlah karya akademis yang ditulis untuk kepentingan yang beragam, baik sebagai diktat kuliah di kampus-kampus Mesir, atau sebagai karya yang memang ditulis untuk memperkaya khazanah kajian ilmu Al-Qur’an.

Dari sejumlah karya yang sempat penulis lacak, karya-karya ‘ulu>m al-Qur’a>n di Mesir kontemporer memiliki corak yang beragam. Corak yang paling menonjol adalah penulisan disiplin ilmu Al-Qur’an dalam dokumen utuh yang mereka beri judul ‘ulum al-Qur’an atau ‘ulum al-tafsir, kumpulan beragam disiplin ilmu Al-Qur’an secara utuh yang menjadi prasyarat memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Jenis karya ini meliputi karya yang ditujukan sebagai bahan ajar di perguruan tinggi (muqarrar) atau karya akademis untuk melengkapi kajian-kajian Al-Qur’an.

Kedua, corak penulisan karya ilmu Al-Qur’an secara tematik atau al-‘ulum al-Qur’an al-mutakhashshishah. Corak karya ini hanya menfokuskan pada disiplin tertentu dalam ilmu Al-Qur’an, semisal asbab al-nuzul, al-naskhu, al-qishshah, dan semacamnya. Ketiga, corak polemik. Buku jenis ini secara tegas mencantumkan dalam judulnya bantahan, kritik, atau cemooh terhadap karya lain dalam disiplin yang sama. Keempat, corak penulisan ilmu Al-Qur’an secara ensiklopedik. Corak ini di samping menghimpun beragam isu dalam ilmu Al-Qur’an, juga menjelaskan istilah-istilah tematik dalam Al-Qur’an. Karya dengan corak semacam ini, seperti memang ditegaskan secara eksplisit oleh penulisnya dengan istilah mausu’ah.

Secara umum, muatan ‘ulum al-Qur’an yang berkembang belakangan ini di Mesir tidak bergeser dari era-era sebelumnya. Bahkan tidak sedikit, dari karya yang ada hanyalah ‘pengungkapan ulang’ dari buku-buku induk sebelumnya. Secara umum, karya-karya itu dipilah menjadi tiga kecenderungan sesuai dengan posisi karya itu masing-masing: kecenderungan konservatif, kecenderungan kritis, dan kecenderungan agitatif.

Kecenderungan konservatif yang dimaksud adalah orientasi pengkaji dan penulis ‘ulum al-Qur’an yang merasa cukup dengan ‘mengungkapkan ulang’ pendapat ulama-ulama dan pemikir ilmu Al-Qur’an di masa lampau. Tidak ditemukan ‘rasa kritis’ dalam karya-karya itu. Contoh dari kecenderungan ini sangat banyak, bahkan karya model ini sangat dominan.

Sedangkan kecenderungan kritis yang dimaksud adalah orientasi pengkaji dan penulis yang tidak semata-mata merasa cukup dengan pengetahuan yang diperoleh oleh pemikir di masa lampau—alih-alih mengemas ulang dalam bahasa yang mudah—tetapi juga mengkritisi dan mendudukkan persoalan itu dalam ruang dan waktunya. Pada saat yang sama, kecenderungan ini juga melengkapi pisau analisanya dengan perangkat baru, perangkat yang mungkin belum dimiliki dan belum ada di masa lampau. Adapun kecenderungan agitatif adalah karya-karya yang bernuasa kritis namun terjebak penghakiman.

Dari sejumlah karya itu, dengan segala corak dan kecenderungannya, gagasan-gagasan yang dimunculkan tidak selalu sama, bahkan tidak jarang terjadi debat intelektual. Dalam konteks perkembangan ‘ulum al-Qur’an di Mesir kontemporer, perdebatan juga terjadi. Dengan mengkaji dua contoh kasus debat intelektual menyangkut isu kisah dan nasakh dalam Al-Qur’an, perdebatan terjadi secara diametral. Uniknya, debat di antara dua ekstremitas ini dikukuhkan dengan argumentasi normatif yang sama. Perspektif dan kepentingan yang berbeda saja yang melahirkan kesimpulannya juga berbeda. Sayangnya, dari debat itu, terlihat ada kecenderungan saling menyingkirkan. Ini terjadi karena kepentingan dan ideologi penulis karya-karya ‘ulum al-Qur’an sangat kuat berpengaruh dalam polemik intelektual. Adalah kepentingan untuk menyucikan Al-Qur’an menjadi starting point dalam polemik yang berlangsung. Masing-masing mendakwa bahwa dirinya berpijak pada keinginan untuk menyucikan Al-Qur’an. Dari kepentingan ini, mereka saling berebut makna dengan saling meruntuhkan argumentasi kelompok lainnya dan saling menguatkan kelompoknya sendiri. Perbedaan paradigma merupakan salah satu faktor yang menjadikan produk pemikirannya berbeda. Paradigma yang berbeda itu tidak jarang juga ditopang dengan otoritas agama dan politik yang mendakwa menjadi ‘penjaga’ agama dan pengelola stabilitas politik akibat perbedaan pandangan. Tidak jarang juga, strategi meruntuhkan lawan menggunakan medium bahasa yang menggambarkan realitas yang demikian negatif terhadap potret gagasan lawan, atau sebaliknya menggambarkan realitas yang demikian positif terhadap gagasannya dan kelompoknya.

Dari potret dan dinamika kajian ilmu Al-Qur’an yang berkembang di Mesir kontemporer menunjukkan bahwa betapa mungkinnya Al-Qur’an dibaca dalam beragam perspektif. Perspektif yang beragam itulah yang melahirkan keragaman corak dalam penulisan dan pembahasan ilmu Al-Qur’an, dan pada akhirnya tidak jarang melahirkan debat intelektual yang sengit di kalangan pengkaji ilmu Al-Qur’an di Mesir. Selain karena perspektif, juga karena faktor Al-Qur’an yang menjadi objek kajian. Sebagai objek kajian, Al-Qur’an membuka ruang konflik terbuka di kalangan pengkajinya, dan akan sangat mudah menggiring pada pemujaan yang luar biasa bila sesuai dengan pandangannya. Sebaliknya, menghujat bahkan mengafirkannya, bila tidak sesuai dengan pandangannya. Potret semacam ini nyata dalam debat intelektual dalam diskusrsus ‘ulum al-Qur’an di Mesir.[]

(Edisi singkat dari tesis magister di UIN Syarif Hidayatullah. Versi singkat yang dilengkapi dengan catatan kaki dimuat di Jurnal Studi Al-Qur'an (JSQ), Edisi 5 Vol. II, No. 2, 2007)