Monday, February 15, 2010

Masyarakat itu Masih Sangat Membutuhkan Tokoh Pesantren

Jika pesantren menyatu dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya tentu bukan hal aneh. Malah seharusnya begitu. Begitu juga jika pimpinan dan tokoh pesantren juga menjalin komunikasi secara cair dengan komunitas di sekitarnya. Tapi jika sudah ada jarak, apalagi ada batas-batas dengan komunitas di sekitarnya, ini satu pergeseran yang patut segera dicarikan penyelesaiannya.

Fenomena ini saya lihat ketika saya pertama kali mengunjungi salah satu pesantren tua di pasuruan, Sidogiri. Dari lokasi pesantrennya, saya sulit mencari garis batas antara pemukiman warga dengan pesantren. Pasalnya, begitu masuk ke pintu gerbang pesantren, di situ pula berjejer rumah-rumah penduduk dengan bisnis kecil-kecilan mereka. Terlihat, kehidupan mereka sejahtera berkat pesantren, dan pesantren tidak merasa dirugikan dengan keberadaan mereka. Seolah masyarakat dengan pesantren ada dalam satu nafas yang sama.

Realitas yang sama saya jumpai sekilas di pesantren Sarang, Jawa Tengah dan Babakan di Cirebon. Mungkin banyak lagi pesantren dengan realitas semacam itu, tapi itu hanya sebagian contoh dari kesempatan kunjungan saya ke pesantren tersebut.

Di beberapa pesantren lain, meski ada batas dengan masyarakat sekitar, kecairan hubungan antara pesantren dan masyarakat sekitanya masih ditemukan. Di Annuqayah misalnya, pesantren di mana saya pernah selama enam tahun menjadi santri, memang mudah membedakan batasan antara pesantren dengan masyarakat di sekitarnya meski tidak harus dengan batasan tembok dan pagar. Namun batasan itu tidak turut membatasi ‘pergaulan pesantren’ dengan masyarakat di sekitarnya.

Memang, begitulah pesantren pada awal mula didirikannya. Seperti biasa, sejarah pesantren-pesantren tua ada di pedalaman dan menyatu dengan komunitas masyarakat yang ada mendahului mereka. Dukungan masyarakat tentu menjadi modal awal keberadaan pesantren. Kalaupun ada resistensi dari sebagian masyarakat, bukan berarti tidak ada dukungan moral dan finansial dari masyarakat di mana pesantren untuk pertama kali didirikan. Resistensi itu hanyalah dinamika yang ada di masyarakat. Bahwa ada sebagian yang tidak suka dengan kehadiran pesantren itu tidak berarti menghapus banyaknya dukungan masyarakat akan hadirnya pesantren di daerahnya. Butkinya, para santri yang ada kebanyakan dari tetangga dekat wilayah pesantren.

Fakta dukungan inilah yang menjadikan betapa pesantren dengan masyarakat di sekitarnya memiliki peran masing-masing dalam membesarkan dan mendukung pertumbuhan iklim pesantren di masyarakat bersangkutan. Masyarakat mendukung perjalanan pesantren, dan pesantren memberikan ayoman dalam rangka membenahi masyarakat di sekitanya. Pembenahan yang dimaksud memang tidak melulu dalam hal spiritualitas dan peningkatan pendidikan masyarakat, tapi juga kehidupan ekonomi masyarakatnya. Tumbuhnya bisnis-bisnis kecil di sekitar pesantren seperti yang saya temui di pesantren Sidogiri itu merupakan salah satu cara pesantren memberikan dukungan bagi kesejahteraan ekonomi warga sekitarnya.

Ikhwal kecairan komunikasi kiai dan elit pesantren dengan warga sekitar juga saya jumpai di Babakan Cirebon sana. Dalam acara tahlilan salah satu kiai yang wafat beberapa tahun yang lalu di sana, saya melihat masyarakat hadir berbondong-bondong dan duduk bersama dalam majlis yang sama. Mereka berbincang tidak hanya soal kehidupan pesantren, tapi juga perihal pertanian, perdagangan, hasil tangkap ikan, bahkan juga soal pilihan politik yang saat itu dan saat ini juga mewabahi pesantren-pesantren. Tapi yang terpenting, forum ini menjadi ‘perjumpaan alternatif’ antara tokoh pesantren dan jama’ah di luar pesantren. Sebuah forum kultural yang lepas dari tendensi dan kepentingan apa-apa, karena ini adalah forum yang tidak didesain khusus dan hadir karena ada momen khusus yang mendesakkan forum ini menjadi ada. Fakta serupa mungkin juga terjadi di beberapa pesantren yang tidak bisa saya sebutkan karena saya belum mengetahuinya.

Namun demikian, ada gejala kebalikan yang terjadi di sebagian komunitas pesantren. Penjarakan dan pembatasan ‘akses’ antara masyarakat di sekitar pesantren dan tokoh pesantren mulai menjadi fakta lain dari pergeseran-pergeseran kebiasaan masa lalu pesantren. Perjumpaan antara tokoh pesantren dan masyarakat hanya mungkin terjadi dalam ‘suasana formal’. Kalau bukan karena masyarakat yang sowan pada tokoh pesantren, perjumpaan fisik antara masyarakat dan tokoh pesantren itu terjadi karena sang tokoh diundang oleh masyarakat bersangkutan. Dalam forum seperti ini, perbicangan menjadi relatif formal dan tidak terlalu cair, dan yang paling penting sangat terkait dengan kepentingan orang yang hendak bertemu.

Fakta ini memang tidak menjadi mainstream pesantren-pesantren saat ini. Tapi kalau gejala semacam ini terus dibiasakan, maka lambat laun penjarakan dan pembatasan akses ini akan menjadi tren baru yang semestinya tidak patut terjadi. Jika ini terus terjadi, kerja sama antara masyarakat dengan pesantren akan mengalami pemuaian. Padahal, pesantren ada karena masyarakat dan masyarakat juga memiliki saham yang sama bagi pengembangan pesantren. Saya kira, masyarakat masih sangat merindukan figur-figur tokoh pesantren dan mereka akan sangat tersanjung bisa duduk bersama dan berkomunikasi langsung dengan tokoh anutan mereka. Semakin sering perjumpaan mereka dengan tokoh pesantren, semakin besar pula peluang mereka untuk mendekatkan fisik dan batinnya dengan para tokoh pesantrennya. Dan jalinan semacam inilah yang seharus terus dipertahankan. Karena sesungguhnya masyarakat masih sangat merindungan figur-figur tokoh pesantren di mana mereka tinggal. Bimbingan dan ayomannya selalu mereka nantikan. Kata siapa tokoh pesantren mulai dijahui jama’ahnya? Saya belum menemukan, dan semoga tidak terjadi!