Thursday, March 11, 2010

Qou Vadis Pembaruan Pemikiran Islam?

Pertanyaan ini layak diajukan lantaran gema pembaruan pemikiran Islam di berbagai belahan dunia seolah mengalami ‘titik nadir’. Ia menjadi isu yang kurang memikat media, kalangan akademik, bahkan juga para politisi. Ia menjadi isu tidak populer di tengah desain besar penjinakan Islam dan stigmatisasi Islam sebagai agen teroris. Utamanya paska tragedi 9/11, potret buram Islam seperti itulah yang lebih menarik diungkap ketimbang dinamika internal umat Islam yang hendak berbenah mengawal laju perubahan zaman.

Melalui bukunya, Réformer l’Islam: Une introduction aux débats contemporains yang edisi Indonesianya diterbitkan Mizan bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, Abdou Filali-Ansary melakukan semacam ‘perlawanan akademik’ dari mainstream akademik dasawarsa terakhir ini. Sebagaimana kita lihat, karya-karya dan riset-riset akademik pada dasa warsa terakhir ini lebih dipadati dengan isu-isu seksi seperti bangkitnya gerakan islamisme dan fundamentalisme. Isu yang mengemuka paska tragedi 9/11 hampir satu dasawarsa silam inilah yang menjadikan dunia akademis di Barat, bahkan juga di tanah air, bersibuk diri seolah menjadi fakta tunggal dari, meminjam istilah Filali-Ansary, ‘profesi penelitian’ yang membebani dunia akademik kita saat ini (h. 12). Di sinilah letak penting, kenapa buku yang dalam edisi Indonesianya ini berjudul Pembaruan Islam, Dari Mana dan Hendak ke Mana? ini menjadi penting.

Sebagaimana diketahui, ledakan modernitas yang menandai era baru dunia Islam paska keterpurukannya melahirkan kesadaran baru di kalangan para pemikir Muslim saat itu. Bermula dari krisis yang terjadi di dunia Arab-Islam akibat raibnya ruang berpikir kritis di satu pihak dan invasi Mongol ke Baghdad dan belanjut dengan ekspedisi Napoleon Bonaparte terhadap Mesir di pihak lain, dunia Arab mengalami krisis yang demikian akut.

Krisis inilah yang menjadikan dunia Arab-Islam mulai menyadari kelemahan dirinya dengan melakukan kritik diri atas kekurangannya. Kritik diri yang tanpa henti, menyadarkan ulama untuk memainkan peran utama mengkoordinasikan perjuangan melawan kekuasaan kolonial, yang akhirnya melahirkan kemenangan negara terjajah. Kegagalan itulah akhirnya melahirkan inspirasi bagi munculnya kebangkitan baru dunia Arab-Islam. Menyikapi kondisi demikian, dunia Arab-Islam meresponsnya secara beragam: mulai dari penolakan dan konfrontasi hingga kekaguman dan peniruan yang naif.

Begitu pesatnya modernisasi merasuki kehidupan masyarakat dunia ketiga, pada saat itulah mereka kembali mencari identitas kediriannya, kebangsaannya, bahkan keagamaannya. Jejalan gaya hidup dan cara berpikir ala Barat seolah telah mencampakkan ‘identitas otentik ‘ dan oleh karena itu identitas tersebut harus segera direbut kembali. Perebutan identitas ini mewujud dalam ragam bentuknya.
Beragamnya respons tersebut muncul setidaknya disebabkan dua faktor mendasar.

Pertama, dinamisme pemikiran dunia Arab-Islam modern. Kedua, beragamnya afiliasi sosio-politik, dan ideologi para pemimpinya. Karena alasan inilah teramat sulit memetakan tipologi pemikiran yang berkembang di dunia Arab baik dari awal hingga saat ini. Rumitnya tipologi ini di samping karena beragamnya gagasan yang dimiliki, intelektual Arab juga tidak terikat oleh corak pemikiran yang linear melainkan senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan tuntutan realitas.

Namun demikian, keragaman corak itu bisa disederhakan menjadi dua model pembaruan yang berbeda, bahkan kerap kali bertentangan satu dengan lainnya. Setidaknya dua model yang dicatat oleh Direktur Lembaga Kajian Peradaban Muslim Universitas Aga Khan dalam buku ini, yaitu: model pembaru yang berlindung dalam konservatisme yang ekstrem, dan pembaru yang mencoba menawarkan pandangan baru terhadap sejarah umat Islam dan terhadap tradisi-tradisi keagamaan dan politik mereka. Kedua model ini, meskipun sama dalam prinsip perlunya kembali kepada sumber-sumber, namun berbeda dalam konsep dan metode-metode yang diusulkannya (h.300). Perbedaan inilah yang melahirkan konfrontasi terus-menurus dalam rahim aliran pembaruan pemikiran Islam di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia, hingga saat ini.

Padahal pada mulanya modernisasi dianggap sebagai penyebab lahirnya model-model tersebut, namun kini masing-masing model itu menjadi penyebab kehadiran model yang lain. Dengan kata lain, pesatnya progresifitas pemikiran yang mencecarkan gagasannya di satu sisi, kemudian menumbuhkan kultur tandingan di sisi yang lain sebagai wujud perebutan identitas yang menurut yang lain telah mencederai otentisitasnya. Begitu pula sebaliknya. Dua elemen itu hadir dalam wajah yang dialektis: sama-sama merebutkan identitasnya.

Di tangan pemikir pembaruan itulah, agama ditafsirkan sebagai identitas yang gelisah di satu sisi, sementara di sisi yang lain diterjemah sebagai etika yang membebaskan (h. 309). Ujungnya perdebatan tanpa henti antara dua model ini tidak kunjung menemukan titik temu. Melalui buku ini, Filali-Ansary hendak mewartakan kepada kita bahwa dengan etika yang membebaskan, agama tidak harus tunduk pada kepentingan ideologi-ideologi sekuler, sebagaimana juga tidak taat pada kepicikan kaum ekstremis dalam menafsirkan pesan agama.

Buku ini berhasil merangkum gagasan-gagasan yang diusulkan oleh pemikir, tidak saja pemikir Muslim tapi juga non-Muslim, seperti Muhammad Ahmad Khalafallah, Ali Abdur Raziq, Abid Al-Jabiri, Jacques Berque, Burhan Ghaliun, Aziz Azmeh, Yadh Ben Achour, Ernest Gellner, Mohamed Talbi, Maxime Rodinson, Syahrur, Mohamed Charfi, Marshall Hodgson, Abdelmajid Charfi, dan lain-lain. Kehadiran tokoh-tokoh yang diudar dalam buku ini dalam rangka berdialog dengan mereka yang telah memberikan perspektif untuk membaca Islam, baik masa lalu, masa kini, dan masa depannya (h. 13). Dan kehadiran pemikir-pemikir itu, dengan latar belakangnya yang beragam, dalam rangka mempertemukan gagasan besar mereka yang telah menghadirkan ‘energi etis’ dalam menyampaikan pesan universal Islam. Tinggal bagaimana kemudian kita bisa menularkan energi ini dalam langgam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.[]