Tuesday, January 06, 2009

Sindrom Kota dan Kenapa Kembali ke Desa?

Di akhir tahun 2008 ini, saya praktis lebih sering pulang ke ‘desa’. Desa tempat saya untuk pertama kali mengenal dunia. Tidak seperti sebelumnya, saya pulang ke desa sedikitnya satu tahun sekali, setiap kali lebaran tiba. Saya melakoni rutinitas mudik ke desa dan balik ke ‘kota’. Terlebih lagi ketika saya menikahi gadis Tuban. Lama mudik di ‘desa saya’ yang semestinya tujuh sampai sepuluh hari, kini harus dibagi dua untuk sama-sama menikmati mudik di ‘desa saya’ dan ‘desanya’.

Tapi kini berbeda. Dalam satu bulan di bulan Desember ini, saya telah dua kali pulang ke desa. Ada apa gerangan? Keunikan ini yang mendesakkan salah satu penguji dalam seleksi di sebuah perguruan tinggi negeri di Madura mempertanyakan saya yang kemungkinan besar kembali ke desa setelah lama di kota. “Berapa tahun Saudara tinggal di Jakarta?” Begitu salah satu pewawancara mengawali pertanyaannya. “Dua belas tahun,” jawab saya singkat. “Lalu kenapa Saudara berniat untuk kembali ke desa?”

Saya tertegun dengan pertanyaan lanjutan ini. Kenapa tidak?! Karena bagi saya pertanyaan itu tidak seharusnya muncul. Bahkan, pertanyaan yang seharusnya disampaikan adalah, kenapa begitu banyak kawan-kawan Saudara yang belajar di kota namun akhirnya tidak kembali ke desa? Pertanyaan ini yang seharusnya dipertanyakan. Tapi ternyata tidak. Pertanyaan ironis itulah yang saya dengar, dan saya pun tertegun.

Saya menduga, ada sindrom kota dalam benak penanya ini, atau mungkin juga di benak mayoritas orang di desa melihat orang yang telah lama beraktivitas di kota. Ini artinya, mayoritas orang desa pun tampaknya membenarkan cara berpikir semacam ini. Cara berpikir mengenai keanehan orang yang lama berkiprah di kota namun ‘tiba-tiba’ memilih beraktivitas di desa. Tiba-tiba sengaja saya bubuhkan tanda petik lantaran bagi orang jenis ini, pilihan kembali ke desa dianggap sebagai pilihan tiba-tiba, bukan pilihan by design dalam rencana kehidupannya.

Dan kondisi dan mindset berpikir semacam ini, pilihan orang untuk mengabdi di desa setalah lama beraktivitas di kota, dianggap pilihan janggal. Sehingga tanda tanya besar bagi orang yang melakukan kejanggalan ini. Sementara bagi orang yang kabur dari desa dan tanpa niatan kembali mengabdi di desanya adalah hal wajar, bahkan tidak jarang dinilai sebagai prestasi. Apakah ini hasil dari mindset penganjur urbanisasi yang tak terkendali sehingga ramai-ramai meninggalkan desa sebagai prestasi?

Di ujung yang lain, pengidap sindrom kota ini begitu nyinyir menyaksikan desanya. Ia cibir desanya sebagai biang kemandegan, dan melarikan diri dari kemandegan ini adalah keharusan. Cara berpikir yang waras tentu tidak akan menerima argumen ini. Tapi begitu banyak orang jenis ini. Dan saya berusaha kabur dari komunitas sejenis itu. Semoga!