Tuesday, August 05, 2008

Ekstremisme Musuh Agama-Agama

Dalam forum KTT luar biasa OKI tiga tahun lalu, Raja Abdullah ibn Abdul Aziz menegaskan perlunya kerja kolektif umat Islam memerangi ekstremisme dan keterbelakangan. Menurutnya, upaya ini hanya mungkin dilakukan dengan meluruskan dan membersihkan nalar dari pandangan yang menyimpang, bukan dengan tindakan kekerasan (Ahram/8/12/05).

Fenomena kekerasan yang terjadi hampir di semua belahan dunia Islam menjadi saksi betapa rapuhnya komitmen bersama, di samping rendahnya pemahaman umat akan makna persatuan dan rasa cinta. “Persatuan Islam hanya mungkin terlaksana dengan keimanan, rasa cinta, dan ketulusan dalam kata dan tindakan, bukan dengan pertumpahan darah,” tegasnya.

Penegasan serupa disampaikan kembali dalam Konferensi Dialog Antar Agama di Madrid. Menurutnya, perbedaan tidak harus menjurus pada konflik. Bahwa konflik yang terjadi dalam sejarah umat manusia itu adalah fakta, namun, itu semua bukan lantaran keragaman agama-agama, melainkan karena ekstremisme yang menghinggapi penganut umat beragama dan pengikut ideologi politik. (Asharq al-Awsath/17/7/08).

Memang fenomena ekstremisme dalam agama-agama masih menjadi api dalam sekam yang setiap saat meluap menjadi kobaran api konflik yang tak terkendali. Begitulah dalam sejarah agama-agama, konflik akibat kecuriganan satu kelompok agama terhadap lainnya, diakibatkan fanatisme yang berlebihan dari penganut agama bersangkutan.

Dalam konteks semacam ini, Raja Abdullah merasa perlu menegaskan perlunya menebar ajaran Islam yang toleran dan moderat. Karena ia sadar bahwa ada penganut Islam atau agama lainnya yang berwatak ekstrem. “Islam agama moderat dan toleran yang mengajak umatnya untuk mengedepankan dialog.” Pernyataan ini tentu menjadi angin sejuk yang berembus dari orang nomor satu di Tanah Suci Mekah, sebuah negara yang kerap distigmatisasi sebagai lahan konservatisme dan ekstremisme.

Tentu saja upaya memerangi ekstremisme tidak mungkin terlaksana tanpa komitmen kolektif negara-negara di dunia. Tanpa itu semua, mustahil untuk menyongsong masa depan damai jika masing-masing tidak memiliki keinginan politik yang sama, mewujudkan perdamaian. Dan perdamaian hanya bisa dicapai dengan cara melucuti ekstremitas yang menggerogoti agama-agama dan kebijakan politik negara-negara.

Posisi Setara

Sayangnya, harapan mulia ini harus berhadapan dengan hegemoni satu negara terhadap yang lain. Impian terciptanya komitmen kolektif untuk perdamaian dunia harus berhadapan dengan arogansi suatu negara dalam memperlakukan negara lain. Potret perseteruan Amerika Serikat dengan Iran di satu pihak, dan arogansi Israel di pihak lain, menjadi “duri” dalam proses melapangkan misi damai ini.

Hal ini ditambah dengan prilaku elite politik yang kerap menjadi isu sensitif agama sebagai manuvernya. Kasus film Fitna gubahan Geert Wilders, misalnya, menjadi contoh nyata dari ekstremisme yang diperankan politisi Belanda ini. Begitu juga perilaku kekerasan Front Pembela Islam di Tanah Air terhadap kelompok lain, merupakan fakta belum utuhnya komitmen bersama membangun perdamaian.

Padahal, upaya mewujudkan perdamaian hanya mungkin digapai bila semua diperlakukan secara setara. Perdamaian mensyaratkan posisi setara antara satu kelompok dan lainnya, antara satu negara dan negara lainnya. Adalah tidak mungkin memimpikan perdamaian di tengah situasi yang timpang dan tidak setara, terlebih di tengah hegemoni negara yang satu pada lainnya.

Di sinilah kita secara arif harus bisa menghargai adanya perbedaan. Dengan perbedaan, kita bisa mengenal yang lainnya untuk memahaminya.Tentu saja dialog-dialog dikedepankan untuk bisa saling memahami.

Usulan Mohamad Khatami akan perlunya dialog antarperadaban (dialogue of civilizations) sebagai alternatif dari prediksi naif Samuel P Huntington dengan benturan antaran antarperadaban (clash of civilizations) patut dipertimbangkan untuk menggapai dunia damai.

Peran NU

Sebagai salah satu ormas terbesar di negara yang mayoritas berpenduduk Muslim ini, Nahdlatul Ulama (NU) sejatinya ambil bagian dalam mempengaruhi kebijakan internasional untuk membangun perdamaian. Tentu saja ini diawali dengan konsolidasi internal untuk kemudian terlibat dalam penyelesaian per- soalan regional dan internasional.

Harus diakui, dalam era transisi menuju demokrasi, seperti saat ini, labilitas negara diuji dengan beragam peristiwa konfliktual. Sebagaimana diingatkan Guillarmo O’Donnel (1993), bahwa transisi menuju demokrasi tidak selalu berlangsung mulus. Pengalaman sejumlah negara yang melalui masa transisi demokrasi setelah tumbangnya rezim otoriter, tidak serta merta berhasil menjadi negara yang demokratis. Alih-alih berhasil mencapai demokratisasi, yang terjadi malah otoritarianisme baru yang tidak kalah otoriternya dengan rezim sebelumnya. Bahkan dalam struktrur politik yang mapan sekalipun masa transisi akan melahirkan krisis legitimasi sesaat. Bahkan kalau proses transisi tidak dikawal dengan konsolidasi, bukan tidak mungkin krisis legitimasi itu berlangsung abadi. Maraknya konflik kekerasan berbasis agama yang terjadi pascareformasi hingga saat ini, merupakan gumpalan konflik lama yang baru menemukan ruangnya saat ini.

Di tengah situasi semacam ini, NU sebagai organisasi sosial keagamaan, seharusnya menjadi jembatan yang memperantarai kesenjangan-kesenjangan komunikasi yang kerap menjadi pemicu konflik. Dengan modal teologis NU sebagai ormas yang berasas Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mengusung nilai-nilai moderatisme (at-tawassuth wal i’tidal), kesetaraan (al-musawah), dan toleran (at-tasamuh) ini, sangat mungkin NU berperan aktif dalam upaya membangun perdamaian dengan meminimalisasi serta mencegah kemungkinan terjadi konflik berkepanjangan.

Dengan Forum International Conference of Islamic Scholars (ICIS) III yang dilaksanakan 29 Juli-1 Agustus 2008 di Jakarta, NU diharapkan menjadi media alternatif untuk menjembatani kesenjangan-kesenjangan itu, untuk kemudian merumuskan agenda-agenda strategis guna mewujudkan perdamaian di seantero jagad ini, sebagaimana tema yang diusung, Upholding Islam as Rahmatan lil ‘Alamin : Peace Building and Conflict Prevention.

Dimuat di Suara Pembaruan, 01 Agustus 2008