Tuesday, July 08, 2008

Ketika Kekerasan Menjadi Jawaban

Semua bersepakat bahwa tindakan kekerasan merupakan musuh umat manusia. Hanya yang kehilangan akal dan nurani yang membenarkan kekerasan, bahkan kekerasan mengatasnamakan agama sekalipun. Tapi sayangnya, kekerasan terus saja terjadi, bahkan kuantitas dan kualitasnya kian meningkat. Institut Titian Perdamaian (ITP), salah satu lembaga yang bergelut dalam pembangunan perdamaian dan mempromosikan budaya anti kekerasan, mencatat bahwa sepanjang Januari-April 2008 ini, setidaknya 246 konflik dan aksi kekerasan terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kekerasan itu dipicu banyak faktor, baik politik, perebutan sumber daya, hingga tawuran.

Meningkatnya kuantitas dan kualitas kekerasan yang belakangan cukup marak di tanah air mengindikasikan menurunnya moralitas manusia. Rapuhnya moral yang disertai raibnya kecintaan pada sesama di satu sisi, dan meningkatnya eskalasi kebencian pada sesama di sisi yang lain menjadi akar dari sejumlah tragedi kekerasan di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Kekerasan di Monas beberapa waktu yang lalu menunjukkan fakta bahwa kekerasan selalu menjadi cara menyelesaikan masalah. Persoalannya mengapa kebencian yang mengemuka sementara kecintaan memudar?

Bagi sebagian kalangan, kebencian yang kemudian diekspresikan dalam bentuk tindakan kekerasan itu tidak lahir tanpa sebab. Bagi kelompok ini, kekerasan adalah akibat dari gumpalan sebab yang tak tertahankan. Mereka putus asa, dan kekerasan adalah jawaban dari keputusasaan itu. Ali Harb, pemikir asal Libanon dalam bukunya, Azmah al-Hadâtsah al-Fâiqah: Al-Ishlâh, Al-Irhâb, al-Syarâkah, memaparkan setidaknya ada tiga faktor yang menyebakan pudarnya kecintaan dan lahirnya tindakan teror dengan kekerasan. Pertama, faktor psikologis. Secara psikologis, situasi tertekan yang diderita satu kelompok atas lainnya akibat kebijakan politik, baik nasional maupun internasional, yang begitu refresif dan tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusian menjadi pemicu lahirnya perlawanan. Tindakan kekerasan yang diarahkan pada simbol-simbol Amerika yang juga gemar membenarkan kekerasan merupakan salah satu contohnya. Sayangnya, perlawanan yang dilakukan lebih tampak sebagai ekspresi keputusasaan dan frustasi.

Kedua, faktor ekonomi. Terputusnya akses ekonomi dan raibnya ruang memperoleh rizqi menjadi faktor lain dari lahirnya kekerasan. Tidak sedikit kekerasan yang terjadi akibat perebutan akses sumber daya yang dinilai tidak merata. Distribusi sumber daya yang tidak merata inilah yang kemudian memicu lahirnya kekerasan, atau lebih tepatnya perebutan akses ekonomi.

Ketiga, faktor peradaban. Pergeseran peradaban yang begitu pesat dan cepatnya kerap kali membentur keyakinan purbanya dan meruntuhkan tradisi-tradisi yang dipeganginya. Sebagai reaksinya, kelompok yang merasa terancam ini melakukan perlawanan untuk menyelamatkannya. Terkait dengan faktor ketiga, ada faktor keempat yang perlu ditambahkan, yaitu faktor ideologis.

Faktor ideologis ini penting ditonjolkan karena tidak jarang bahwa tindakan kekerasan dan teror yang diusung sebagian kalangan dikemas dan dipoles dengan nilai-nilai keagamaan. Dalam konteks Islam, bingkai ideologi jihad menjadi dalih tindakan kekerasan yang dilakukannya.

Sakralisasi Kekerasan

Dalam Al-Qur’an, kata jihad berikut derivasinya diulang sebanyak 36 kali. Umumnya, ayat-ayat yang berbincang tentang jihad tidak menyebutkan objek yang harus dihadapi. Pengabaian objek jihad di hampir seluruh ayat yang menyinggung persoalan ini, kecuali beberapa ayat saja, bisa dipahami bahwa objek jihad bukanlah semata-mata bersifat fisik-material—semisal melawan orang kafir dan munafik. Tetapi juga hal-hal abstrak semisal melawan segala hal yang mengganggu dan menjerumuskan manusia ke belantara kebejatan.

Dalam konteks ini, Shahrur (1997: 393), pemikir asal Syiria, menegaskan bahwa jihad di jalan Allah adalah perjuangan melawan tiran, perjuangan mengampanyekan kebebasan, dan perjuangan dalam menghilangkan pemaksaan kepada siapapun dan atas dalih apapun. Sebaliknya, perjuangan menekan kebebasan manusia dan membiakkan tindakan tiranik dan kekerasan, bahkan atas dalih otoritas agama sekalipun, dianggap sebagai perjuangan di jalan para tiran. Sayangnya, fondasi moral jihad semacam itu luput dari perhatian, alih-alih dilupakan dan diabaikan. Sebaliknya yang mengemuka justru aspek kekerasan yang kemudian dilapisi sakralitas pesan-pesan agama. Dengan pemahaman yang salah kaprah itu, jihad tidak lain adalah bentuk sakralisasi kekerasan. Artinya, kekerasan menemukan makna transendennya melalui doktrin jihad yang disalahpahami.

Motivasi semacam ini kerap kali memicu tindakan kekerasan dan anarkisme dengan mengatasnamakan agama. Hemat penulis, fenomena mengatasnamakan agama untuk melakukan kekerasan sebenarnya bentuk lain dari penodaan agama. Betapa tidak, agama yang mengajarkan serta menfatwakan perdamaian dan penyelesaian dialogis diperankan dalam tindakan yang menyerang dan membenarkan kekerasan. Kesucian agama lalu terlumuri oleh tindakan oknum umat beragama yang kerap menjadikan kekerasan sebagai cara dalam menyelesaikan persoalan. Bukannya selesai, cara tersebut malah melahirkan kekerasan baru yang tak kunjung usai. Jika demikian kenyataannya, maka lingkaran kekerasan sudah pasti akan terus terjadi. Menjadikan kekerasan sebagai jawaban bukannya menyelesaikan masalah, malah kian meningkatkan eskalasi kekerasan itu sendiri. Dalam konteks ini, sejatinya cara-cara dialogis yang lebih beradab dan menyejukkan yang dijadikan strategi dalam menyelesaikan persoalan. Bukannya menjadikan kekerasan sebagai jawaban. Wallahu a’lam.©

Dimuat di Majalah Khalifah
Edisi 1/Tahun 1/2008