Thursday, June 12, 2008

Menjadi Santri (4)

Mengaji Kitab Gundul

Setelah tiga tulisan pendek tentang menjadi santri saya posting, lalu saya terdiam. Tak lagi mampu menuliskan pengalaman masa lalu itu. Tiba-tiba saja saya terlupa kisah ketika 18 tahun yang lalu saya meresmikan diri untuk menjadi santri. Banyak yang saya alami, tapi banyak pula yang saya lupa. Memori masa lalu itu telah terlapisi banyak hal, bahkan banyak 'beban'. Sehingga ia tertindih tanpa mampu terungkap lagi.

Di sela-sela banyaknya beban yang menindih ingatan saya, saya kembali teringat ketika saya harus mengaji kitab kuning. Qala al-mushannif Rahimahullahu ta'ala wa nafa'ana bi 'ulumihi fid darain, Amin. Begitu guru, tepatnya Kiai Ishomuddin, mengawali pengajian pagi saat itu. Kitab yang dibaca saat itu adalah Kitab Shahih Muslim. Di Annuqayah, Kiai Ishomuddin dikenal sebagai kiai yang sering membaca kitab hadis untuk para santri dan masyarakat di samping Kiai Waqid Khozin (alm.). Selain Kitab Shahid Muslim, beliau juga membaca Tajridus Sharih yang juga kitab hadis, kitab 'ringkasan' Shahih Bukhari, dan beberapa kitab hadis lainnya. Dan Kiai Ishomuddin hanya salah satu dari sejumlah kiai di Annuqayah yang mengajarkan kitab kuning secara bondongan kepada para santrinya.

Pengajian kitab menjadi aktifitas lain yang menjadi keunikan sekaligus ciri dari pondok pesantren. Tidak terkecuali Pondok Pesantren Annuqayah. Ada jadual pengajian kitab pagi, dan ada pula pengajian kitab sore. Setidaknya dua waktu inilah yang memungkinkan saya untuk mengikuti pengajian di luar jadual sekolah formal. Pasalnya, di pesantren tempat saya belajar, jam 7-13.00 adalah jadual sekolah formal, ditambah lagi madrasah diniyah usai shalat magrib-isya' dan usai shalat isya' hingga jam 21.00. Selebihnya bisa digunakan untuk memasak dan mengaji kitab.

Mengaji kitab merupakan bagian terpenting dari ritual seorang yang berniat menjadi santri. Nyaris tidak dijumpai pesantren-pesantren di Jawa-Madura yang mengabaikan pengajian kitab. Jika ada pesantren yang tidak menyelenggarakan pengajian kitab, bisa dipastikan itu hanyalah pesantren papan nama. Bahkan tidak hanya di pesantren, di sejumlah langgar dan masjid di Madura menjadikan kajian kitab kuning sebagai tambahan aktifitasnya.

Ya. Mengaji kitab. Mengaji kitab bukan hanya ekstra kurikuler bagi pesantren, melainkan aktifitas inti dari pesantren itu sendiri. Begitulah saya melalui hari-hari setelah saya meyakinkan diri untuk menjadi santri. Tidak seperti teman seangkatan saya yang telah dibekali 'ilmu alat' (nahwu dan sharraf) sejak sebelum 'menjadi santri', saya hanya bermodal kitab 'awamil dan kitab ajrumiyah sekadarnya. Dan mengaji kitab telah membantu saya untuk mengeja bacaan arab gundul itu.

Oleh karena tidak semua kitab tebal itu terjilid rapi, maka ketika mengaji kitab para santri membawa jilid kecil yang menjadi materi pengajiannya. Apa yang biasa dikenal dengan kitab kurasan itu diselipkan di sela-sela selembar koran untuk mengamankannya. Dengan kitab kurasan itu, santri tidak berberat-berat untuk membawanya sekaligus praktis dalam membacanya. Memang membaca kitab kuning butuh kesabaran, ketulusan, dan keikhlasan. Dan disitulah seni dan keunikan belajar di pesantren.

Saya masih ingin bercerita banyak hal tentang menjadi santri, tapi tidak saat ini. Insya Allah di lain waktu, sambil saya mengenang dan mengingat-ingat apa yang telah saya lupakan, tapi masih saya rasakan.

Bersambung.....