Thursday, June 12, 2008

Genre Baru Intelektual NU


Jika dulu mencari sarjana di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) ibarat mencari es di tengah malam, maka kini fakta itu telah berubah. Booming intelektual yang terjadi di lingkungan NU, utamanya di penghujung tahun 80-an, menjadi fakta baru di lingkungan komunitas yang secara pejoratif dilabeli tradisional, sarungan, dan pemuja takhayul, khurafat, serta bidah. Diversifikasi pengetahuan yang dimiliki komunitas pesantren ini menandai era baru dalam gerakan intelektual dan gerakan sosial di lingkungan NU. Apa yang disebut dengan gerakan sosial dan intelektual baru ini memilih jalur kultural sebagai paradigma gerakannya.

Dengan paradigma gerakan semacam ini, komunitas baru dalam NU ini telah mampu memberikan implikasi yang besar bagi pengembangan NU serta penguatan masyarakat sipil. Selain itu, gerakan ini memunculkan gairah intelektual yang melahirkan sebuah genre baru, yaitu gerakan intelektual NU yang memiliki ciri pemikiran keislaman yang tidak konvensional dan berbeda dengan pendahulunya. Inilah yang oleh A.S. Hikam disebut dengan budaya hibrid (hybrid culture).

Tentu saja, fakta ini tidak bisa dilepaskan dari aksesnya pada pendidikan tinggi yang memunculkan kesadaran kognitif baru. Kesadaran kognitif baru ini hadir karena kreatifitas mereka yang mampu memadukan dan mengombinasikan beragam disiplin pengetahuan baru dengan disiplin ilmu yang telah diperolehnya di pesantren. Diversivikasi pengetahuan yang diperolehnya dari kampus dipadukan dengan khazanah tradisi yang ditekuninya selama belajar di pesantren.

Diaspora intelektual kalangan pesantren ini kemudian menyebabkan pembacaannya terhadap warisan intelektual yang diwarisinya berbeda dan seolah-olah telah terjadi ‘lompatan kuantum’ dalam pemikiran. Kemampuan mempertemukan dan mengintegrasikan gagasan baru dengan warisan tradisinya menjadi kelebihan generasi baru ini, bahkan tidak jarang mereka memunculkan gagasan-gagasan yang cukup progresif dan kerap kali memancing ketegangan dengan sesepuhnya.

Progresivitas dan pengebangan intelektualisme dan gerakan sosial kaum santri inilah yang menjadi fokus utama kajian buku Post Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU yang ditulis Rumadi. Diakuinya, di samping akses ke perguruan tinggi, momentum kembalinya NU ke khittah 26 pada muktamar Sitobondo tahun 1984 juga menjadi titik penting yang luar biasa dalam pengembangan intelektual di lingkungan NU (h. 110, 114). Momentum ini menjadi penting terutama guna mencairkan ‘luka-luka’ politik NU di masa lalu, sehingga NU bisa lebih leluasa bergerak serta bisa turut ambil bagian dalam peran-peran intelektualitas, kemasyarakatan, serta kritisisme terhadap negara tanpa memiliki beban politik tertentu dengan kekuatan mana pun. Situasi kondusif ini menjadi lahan subur gerakan intelektualisme di lingkungan nahdliyin, sebuah gerakan intelektual yang berbeda dengan komunitas lainnya. Apa yang disebut dengan Post Tradisionalisme yang kerap disingkat dengan Postra ini menjadi identitas dan label kelompok ini.

Memang, istilah Postra tidak sekadar mengacu pada identitas kelompok, melainkan juga pada pola berpikir dan karakter gerakan (h. 117). Term ini pada mulanya lahir ketika ISIS, salah satu LSM yang dikelola anak muda NU di Jakarta, menyelenggarakan diskusi mengamati geliat intelektual di kalangan anak muda NU pada 27 Maret 2000. Istilah ini kemudian terus meluas melalui jaringan lembaga yang dikelola anak-anak muda NU. Fenomena kristalisasi gerakan intelektualisme NU ini, menurut Rumadi, dimotivasi oleh beberapa hal. Di samping faktor perkembangan politik akibat pilihan NU untuk kembali ke khittah 1926, juga karena munculnya arus intelektulisme progresif yang terjadi di Timur Tengah yang kemudian memberikan inspirasi bagi pengembangan intelektual komunitas Postra ini.

Dengan berbekal modal sosial yang dimilikinya, komunitas Postra ini banyak mengambil manfaat dari khazanah tradisi pesantren yang kemudian diintegrasikan dengan perangkat dan cara baca baru terhadap tradisi. Baik melalui pendekatan sosiologis, antropologis, maupun politik. Singkatnya, upaya revitalisasi tradisi dengan melakukan kritik baik pada tradisinya sendiri (al-ana) maupun pada tradisi orang lain (al-akhar) inilah yang menjadi titik pijak komunitas Postra. Atas dasar ini pula, komunitas Postra mengidentifikasi dirinya berbeda dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Kalau yang pertama menjadikan tradisi untuk transformasi, yang kedua memodernisasi tradisi yang dinilai menghambat modernitas.

Namun demikian, kehadiran genre baru dalam komunitas anak muda NU ini tidak berarti menjadi rival bagi komunitas lainnya. Buku ini hendak membantah kesimpulan sebagian kalangan yang menilai bahwa kehadiran Postra merupakan bentuk baru dari rivalitas lama antara kalangan tradisional dan modernis. Juga tidak berarti bahwa kehadiran Postra ini sebagai sebentuk kelatahan anak-anak muda NU untuk mempertegas identitasnya (h. 141). Melainkan, tegas Rumadi, kehadiran komunitas dengan genre baru ini sebagai alternatif dan model pemikiran Islam yang terbentuk melalui proses dialektika yang cukup panjang antara khazanah tradisinya sendiri dengan khazanah tradisi lain (jadal al-ana wa al-akhar).

Kehadiran buku ini tentu menambah daftar panjang karya-karya yang ditulis dari dalam, setelah sebelumnya NU lebih banyak dibaca dan ditulis dari luar. Sebagai karya yang diperuntukkan untuk membaca dirinya, buku ini memang terkesan begitu kentara subjektivitasnya. Pembelaannya terhadap Postra, di mana sang penulis juga mengidentifikasikan dirinya, sangat tampak dalam uraian buku ini. Namun demikian, subjektivitas ini tidak menafikan objektivitas yang memagari karya akademis buku yang berawal dari disertasi doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Justru di sinilah kelebihan buku ini: membaca dirinya sekaligus mengkritisinya.[]


Dimuat di Majalah Gatra No. 31 Tahun XIV, 12-18 Juni 2008