Tuesday, June 10, 2008

Pesan Toleran Al-Qur'an



Menegaskan bahwa teks agama berperan signifikan dalam membentuk corak keberagamaan penganutnya merupakan suatu hal yang niscaya. Dalam konteks Islam, Al-Quran menjadi teks fundamental yang menempati ruang istemewa di kalangan pemeluknya. Sayangnya, pengistemewaan itu kerap diwujudkan dalam bentuk “persembahan simbolik” kepada Tuhan dengan pahala sebagai pemuasnya, atau bahkan dijadikan sebagai media yang dipertontonkan di hadapan khalayak dalam setiap ritual keagamaan. Al-Qur’an hanya ditampilkan dan diperkenalkan sisi keindahan dan keajaibannya, sementara kandungan maknanya nyaris dilupakan dan terlupakan. Al-Qur’an tak ubahnya benda antik yang terus diabadikan dalam museum dan kemudian ditempatkan dalam ruang hampa. Ia menjadi teks yang terlepas dari konteks sejarahnya.

Padahal Al-Qur’an dengan segala keilahiannya ditujukan untuk kepentingan manusia (earthly realization), dan mengembalikan Al-Qur’an kepada Tuhan jelas bertentangan dengan raison d’ etre wahyu. Proses penurunan wahyu yang merentang kurang lebih dua puluh tiga tahun cukup menjadi bukti bahwa kehadirannya adalah dalam kerangka merespons dan menanggapi realitas. Ini juga menunjukkan adanya interaksi kreatif antara teks di satu pihak dan konteks yang mengitarinya di pihak yang lain. Proses interaksi yang terjadi secara serentak ini menunjukkan, meminjam istilah Farid Esack, progresifitas wahyu dalam mencermati realitas yang dihadapinya.

Dengan menggunakan logika interaksi kreatif antara teks dan konteks di samping logika wahyu progresif dalam menyapa realitas, maka jelaslah bahwa kehadiran wahyu adalah dalam rangka membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan sekaligus mendeklarasikan keadilan untuk semua. Sayangnya, pesan-pesan Al-Quran semacam itu terkubur dan dikubur oleh hadirnya beragam tafsir yang, alih-alih membebaskan, justru sebaliknya semakin mengukuhkan penindasan dan menebar semangat intoleran.

Semangat intoleran di kalangan Islam inilah yang lebih dicermati sebagian kalangan di Barat, misalnya orang semacam Wilders. Melalui film Fitna, ia menambah daftar panjang pencitraan Islam sebagai agama kekerasan. Dalam otak pembuat film tersebut, justru Al-Qur’anlah yang menjadi pemicu dan inspirasi perilaku dan tindakan kekerasan, termasuk dalam kasus 9/11 beberapa tahun silam.

Dalam kenyataan semacam ini, kehadiran buku Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme layak diapresiasi. Dalam buku ini, Zuhairi hendak membalik pencitraan Islam sebagai inspirator atau bahkan agama yang mengajarkan kekerasan. Sebaliknya, Islam dengan Al-Qur’an sebagai kitab sucinya menyembulkan ruh toleransi dan perdamian bagi semesta. Bahkan, agama-agama hakikatnya mengajarkan kedamaian, toleransi, dan kemaslahatan. Jika saja terjadi kekerasan dengan mengusung nama agama, yang bermasalah bukan agama itu sendiri, melainkan tafsir dan pemaknaan atas agama yang kerap membenarkan kekerasan dan perilaku serta tindakan intoleran (h. 227).

Fakta bahwa Al-Qur’an mengajarkan toleransi, kedamaian dan kasih sayang terlihat dari banyaknya ayat-ayat yang menganjurkan meneladani Nabi yang mengajarkan kasih sayang, ayat-ayat yang melarang bertindak anarkis dan kekerasan, melarang menebar kebencian, melarang memaksakan keyakinan, ayat-ayat yang menjelasakan pengakuan pada agama lain, dan seterusnya. Ayat-ayat semacam inilah yang sebenarnya menonjol dalam Al-Qur’an. Sayangnya, dalam fakta keseharian, tindakan anarkis justru yang mengemuka. Pengrusakan rumah ibadah keyakinan agama dan kelompok lain masih terus terjadi. Tindakan pengrusakan itu malah dilakukan oleh mereka yang merasa paling mengerti Al-Qur’an, tapi dalam praktiknya justru melakukan tindakan yang tidak dibernarkan Al-Qur’an. Sungguh fakta yang ironis.

Di sinilah Zuhairi dalam buku setebal kurang lebih 520 halaman ini menghimbau bahwa bila ajaran toleransi raib dari penganut agama, maka elan vital agama-agama pun akan lenyap (h. 228). Ini karena ajaran toleransi adalah ruh agama-agama. Untuk itu, ia menganjurkan agar pandangan Al-Qur’an tentang toleransi senantiasa dikampanyekan untuk kemudian dihayati dan dipraktikkan dalam keseharian. Ini penting dilakukan sebagai ‘wacana tandingan’ di tengah kecendrungan tafsir intoleran yang digelorakan sebagian kalangan. Selain itu, perlunya dilakukan pembacaan ulang terhadap ayat-ayat yang kerap dijadikan dalih tindakan intoleran. Ini sangat patut dilakukan lantaran ayat-ayat itulah yang kerap dijadikan dalih perilaku intoleran. Dalam pikiran kelompok ini, ayat-ayat tersebut menjadi amunisi dalam menebar kebencian pada kelompok yang tidak sefaham dengan mereka. Di samping perlunya keteladanan dalam membangun toleransi dalam kehidupan sehari-hari

Namun di sinilah Zuhairi harus sadar bahwa upaya untuk mengampanyekan pesan damai Al-Qur’an akan senantiasa berhadapan dengan tindakan tandingan kelompok yang memedomani tindakan intoleran dengan dalih ajaran Al-Qur’an. Dan ini juga yang disadari Sayyidina Ali yang mengatakan bahwa “Al-Qur’an di antara dua sampulnya tak bisa berbicara. Sang ‘juru bicara’ itulah yang menyuarakannya: Al-Qur’an bayna daftayi al-mushhafi la yantiqu, wa innama yatakallmu bihi al-rijal. Suara-suara itu akan beragam, tergantung siapa juru bicaranya. Dengan Al-Qur’an Kitab Toleransi ini, Zuhairi menjadi juru bicara yang menyuarakan pesan toleran Al-Qur’an. []