Wednesday, July 27, 2005

Kujumpai Imam Syafi'i Walau Hanya Pusaranya


Tidak bijak kalau hanya memandang Mesir dari segi eksotisnya semata, sebagaimana tidak lengkap tanpa mengunjungi sejumlah situs bersejarah yang bertebaran di kota Mesir ini. Tidak berlebihan jika aku mengatakan bahwa Mesir menyisakan peradaban yang luar biasa dengan orang-orang besar yang turut menorehkan perannya dalam sejarah. Peradaban dalam arti yang seluas-luasnya. Bangunan-bangunan bersejarah bertebaran di mana-mana. Masjid satu di antara peninggalan sejarah itu.


Kuawali pertualanganku hari ini (26 Juli 2005) dengan mengunjungi Mesjid yang didirikan ’Amr ibn ’Ash. Mesjid yang disebut Masjid ’Amr ibn Ash ini didirikan sekitar abad ke-9 M ini masih menunjukkan kemewahannya meskipun usianya tidak muda lagi. Aku tidak bisa mengukur luasnya berikut tiang penyangga yang mengukuhkan bangunan tua itu. Tidak seperti mesjid di Mesir secara umum, bentuk menara masjid ini terhitung sederhana. Tidak tinggi, dan bentuknya biasa-biasa saja. Memang bangunan ini tidak ”asli” lagi, karena di sana-sini gedung ini telah mengalami pemugaran. Namun nuansa antik tidak lepas dari bangunan tua yang dimakmurkan dengan kehadiran banyak pengunjung, terutama pada sepuluh hari terakhir Ramadlan. ”Jama’ahnya melimpah membanjiri halaman, bahkan jalan raya yang ada di sampingnya,” begitu kisah kawanku—Dede Permana—yang menemani pertualanganku. Entah, ada apa di penghujung bulan Ramadlan kaitannya dengan masjid tersebut. Yang jelas, pengunjung begitu ruah dan memadatinya sejak siang hari untuk sekadar mendapat tempat di areal masjid.

Kulanjutkan wisata ziarahku menuju kawasan pemakaman di kawasan Old Cairo, tepatnya di Jalan Imam Syafi’i. Di tempat itulah, kutemui—walau sekadar pusaranya—seorang imam madzhab terkemuka yang dikenal dengan qawl qadim dan jadid-nya. Beliau adalah Imam Syafi’i. Jalan-jalan yang jorok memang tidak membuat nyaman laju perjalananku. Namun semangat untuk segera menjumpai seorang tokoh terkemuka ini melupakan pesingnya bau jalan yang aku lalui.

Belum sempat menjangkau tujuan, di jalan itu pula kujumpai pusara tak terawat dan terkunci rapat bertuliskan ”Maqamu al-Imam Waki’ Muqri’u al-Imam al-Syafi’i”. Segera ingatanku terbawa pada sebuah syair Imam Al-Syafi’i yang kerap dituturkan para guruku mengenai pentingnya menghindari maksiat untuk menggampangkan ingatan dalam belajar. ”Sakautu ila Waki’ su’a hifdzi, fa arsyadani ila tarki al-ma’ashi”, begitu sebuah syair yang konon dikeluhkan As-Syafi’i pada gurunya, Waki’. Ku tertegun. Tokoh agung ini seolah lepas dari perhatian. Tapi tidak juga, di dalam ruang pemakaman yang berbentuk kamar itu tampak rapi. Mungkin sesekali kunci kamar makam Imam Waki’ itu terbuka untuk didekati secara langsung oleh para pengunjung.

Setelah kukirimkan tawasul dengan membaca surah Al-Fatihah, kulanjutkan perjalanan menuju maqam Imam As-Syafi’i yang tidak jauh jaraknya dari gurunya. Terdapatlah dua bangunan berdampingan: makam Imam As-Syafi’i dan Masjidnya. Aku pun mendekati pusara yang dirawat begitu istemewa, setidaknya apabila dibandingkan dengan pusara gurunya, Imam Waki’. Kukirimkan tawasul kepadanya, dan adzan pertanda shalat dzuhur tiba pun bergema. Aku bergegas untuk shalat berjamaan di sebuah Masjid yang berdampingan dengan makam Sang Imam itu.

Usai shalat berjama’ah, aku pun mengunjungi makam seorang tokoh Syafi’iyah terkemuka. Beliau adalah Abu Zakariya Al-Anshary yang letaknya berada di areal masjid Imam Syafi’i. Di bandingkan dengan maqam imam syafi’i yang dipagari dengan bangunan indah, dua maqam tokoh ini tidak begitu mencolok adanya perawatan. Perawatan petugas penjaga mungkin lebih diprioritaskan pada maqam Imam Syafi’I yang setiap saat didatangi pengunjung, tidak saja orang-orang Mesir yang begitu suka mendatangi kuburan-kuburan melainkan juga pendatang asing yang merasa merindukan tokoh panutannya.

Menarik mengamati kebiasaan orang Mesir yang begitu menjadikan persemayaman tokoh-tokoh besar sebagai tempat “meminta segala hal”. Ini terlihat dari banyaknya barang-barang yang dilemparkan semisal uang, sapu tangan, serban, dan bahkan surat permohonan yang dilemparkan pengunjung melalui laingi-langit pesarean itu. Belum lagi mereka mengelus dan mengecup bangunan maqam dan kerap kali secara histeris meriakkkan bacaan do’a. Pengalaman serupa juga terjadi ketika aku mengunjungi maqam Sayyid Husein di kawasan Khan Khalili di daerah Al-Azhar.

Dalam konteks penghormatan pada kuburan, orang Mesir mirip dengan komunitas Nahdliyin di tanah air. Berbeda dengan orang-orang Mesir, orang Nahdliyin tidak begitu histeris dalam menyikapi kuburan para tokoh spiritual. Mereka tidak harus menjilat-jilat pusara, mengecupnya, dan mengelus-elusnya. Tapi pandangan semacam ini akan kaprah terlihat di pekuburan orang-orang besar yang dikunjungi orang-orang Mesir. Apakah ini terkait dengan sikap empatik yang ditunjukkan mereka, atau karena tradisi yang tampak mewajibkan model pengkultusan pada pusara-pusara orang besar? Yang jelas, pertemuanku dengan Imam Syafi’i memberikan detakan tersendiri bagi denyut kesadaranku, berbeda ketika aku berkunjung ke makam Sayyid Hussein. Mungkinkah ini terkait dengan situasi ideologis yang mempertemukannku dengan Imam Syafi’i, tidak dengan Sayyid Hussein.

Sebenarnya aku hendak menemui Syekh Jalaluddin As-Syuyuthi dan Rabi’ah Al-Adawiyah yang pusaranya tidak jauh dari tempat itu. Di samping terik yang begitu menyengat, seorang kawan mengisahkan bahwa lorong menuju pusara dua tokoh terkemuka itu tidak terawat dengan rapi dan disesaki dengan anjing-anjing yang setiap langkah dapat aku temui di wilayah itu. Alasan inilah yang tidak memungkinkanku untuk mengunjungi belian, walau rindu tak kuasa kutahan. Mungkin Tuhan menakdirkan kesempatan yang lain untuk sowan kepada mereka. Insya Allah.


Madena Nasr, Cairo,
15:41

No comments:

Post a Comment