Monday, July 25, 2005

Eksotisme dan Keganasan Sahara


Perjalananku ke Kairo memang untuk riset. Tapi, seandainya mungkin, tentu aku memanfaatkan momen ini tidak saja melacak literatur yang menjadi faktor utama kedatanganku di kota seribu menara ini. Aku pun merasa perlu untuk menikmati keindahan panorama padang pasir dengan sejumlah keajaiban alamnya. Begitu aku merasa cukup mengelilingi sejumlah perpustakaan di Kairo, bukan di seluruh Mesir, pun juga aku merasa cukup mengunjungi sejumlah maktabah (toko buku) di kawasan ini, kuputuskan sisa waktu ini untuk menikmati panorama Mesir yang tidak saja dikenal dengan sungai Nilnya, tapi juga sejumlah kawasan wisata dan tempat berziarah lainnya. Bukit Sinai dan Sharm al-Sheikh satu dari sejumlah tempat bersejarah dan kawasan wisata yang kurencanakan untuk dikunjungi.

Bukan kebetulan, di penghujung kunjunganganku di Kairo, Fosgama (organisasi kekeluargaan Madura di Mesir) berencana mengadakan tour ke beberapa tempat. Tersebutlah nama Bukit Sinai, tempat Musa menengadah kepada Tuhan dan beroleh wahyu, Dahab dan Sharm al-Sheikh—dua kawasan wisata pantai di Mesir. Tepatnya tanggal 21 Agustus 2005, rombongan rihlah Fosgama bertolak dari kawasan Masakin Usman, Madinah Nasr, menuju Bukit Sinai. Seperti biasa, kunjungan ke sana dimaksudkan tidak saja untuk mengenang pengalaman spiritual Musa, juga untuk menyaksikan momen terbitnya matahari (sun rise) dari ujung bukit terjal itu.

Tampaknya tujuan terakhir inilah yang paling banyak menyita orang asing, tidak terkecuali saya, untuk ambil bagian memotret momen itu. Berpayah-payah menapaki tebing terjal yang menyita kurang lebih tiga jam menuju puncak, yang diharapkan hanya sekadar untuk menyaksikan momen terbitnya sang mentari. Setelah itu, mereka berpayah-payah menuruni puncak menuju dasar begitu mentari telah meninggi.

Dan memang betul. Hampir semua touris menghadapkan kameranya, dan saya yang juga touris pun menirukan aksi mereka, ke arah Timur, tempat mentari menampakkan senyumnya. Entahlah, saya tidak tahu apa yang istemewa. Dinilai indah, tampaknya tidak juga. Atau adakah yang sakral di sana? Mungkin saja begitu, tapi saya tidak menemukan gelagat para pelancong itu untuk mencari ”yang sakral”. Padahal, dua gedung tua berdiri persis di puncak Sinai. Dua gedung itu adalah gereja. Konon di salah satu bangunan tua itulah Musa menerima wahyunya.

Lepas dari makna historisnya, Bukit Sinai secara umum istemewa. Bukit yang terdiri dari cadas dan tampak penuh ukiran itulah yang menjadikannya bukit itu indah, bukan terbitnya mentari yang ditunggu banyak pengunjung.

Belum lepas penat dan nyerinya otot kaki selama pendakian, aku harus menuruni bukit itu. Tidak melawati jalur ketika mendaki, aku melalui jalur lain yang memang dibuat untuk jalur turun. Di sana pula aku ditunjukkan dengan peninggalan sejarah yang unik, pohon yang masih berdiri tegak meskipun usianya ratusan tahun tuanya. Memang mengering, tapi tidak merapuh. Ia tetap tegar. Di sana pula, kutemui sumur tua yang konon sumur Nabi Ayyub. Saya tidak tahu, namun begitu kisah kawan yang ”lebih tahu” tentang kawasan itu. Pun juga kujumpai seekor Khimar yang usianya jauh dari rata-rata usia hewan ”normal”. Apakah ini mukjizat? Aku tidak tahu dan tidak bisa menjawabnya. Diam dan menikmati panorama mungkin lebih baik bagiku ketimbang berpikir hal-hal yang ”aneh-aneh”.

Dengan lelah, nyaris tanpa daya, aku akhirnya menuntaskan perjalanan menuruni bukit terjal itu. Untuk sementara aku rebahkan badan di batu yang membentang luas, persis di depan gereja Saint Caterint: gereja yang menjadi nama wilayah wisata itu. Kumenunggu bis jemputan yang segera membawa rombongan menuju tempat transit sebelum menuju Sharm al-Sheikh. Tempat itu adalah Dahab, tempat wisata pantai yang juga banyak dikunjungi para touris. Di kawasan itulah, rombongan menginap untuk semalam.

Belum usai malam menyempurnakan waktunya, sebuah berita terdengar dari televesi yang ada di lingkungan penginapan itu: Tafgirat Sharm al-Sheikh!!!! Memang belum banyak kawan-kawan yang bangun, karena lelah mendaki bukit belum kunjung usai. Hanya sebagian kawan saja yang belum menunjukkan kantuk yang mendengar kabar ini. Sebagian yang lain dihubungi saudaranya yang ada di Kairo memberikan kabar bahwa terjadi pengeboman beruntun di Sharm al-Sheikh.

Begitu mentari memanasi kawasan itu, dan suhu panas pun meningkat membuat kawan-kawan berbondong-bondong ke luar kamar. Tentu suhu panas kawasan pantai itulah yang mendesakkan mereka melakukan aksi demikian. Dan mereka pun mengerti bahwa telah terjadi peristiwa pengeboman di Sharm al-Sheikh: kawasan yang sebentar lagi akan didatangi rombongan ini. Terlihat raut kecewa di wajah-wajah mereka. Betapa tidak, sebagian mereka bergabung dalam rombongan rihlah ini semata-mata ingin tahu Sharm al-Sheikh. Berbeda dengan sebagian mereka, aku sama sekali tidak tahu apa itu bukit sinai, dahab, apalagi Sharm al-Sheikh. Bagiku tak ada yang membuatku kecewa. Bahkan aku merasa bersyukur bisa bergabung dalam rombongan rihlah ini, setidaknya aku telah menambah pengentahuanku tentang kawasan wisata di Mesir. Belum lagi aku juga tahu ’uyun musa, makam nabi Saleh (?), dll. yang aku temui sepanjang perjalanan yang aku lalui.

Perjalanan panjang ini tentu mengasikkan, terutama aku yang belum 1 bulan tinggal di Kairo. Perlahan aku meninggalkan kawasan kota yang dipenuhi imarat, semacam apartemen, melewati wujud asli wilayah padang pasir. Sahara yang membentang yang tak tampak tanda-tanda kehidupan manusia di sana menghiasi pemandangan indah sekaligus mengerikan. Di kawasan sahara itulah, para militer selalu siaga menghadapi lawan yang setiap saat mengincar otoritasnya. Dan militer selalu menjadi simbol keangkuhan Timur Tengah!!!!

Madena Nasr, Cairo

No comments:

Post a Comment