Sunday, July 03, 2005

Episode Sejarah Kembaraku

Pada mulanya aku hanya membayangkan keinginan, memimpikan harap, dan mengandaikan asa. Fil bad’i takunu al-ahlam. Ya, mimpi itulah yang membuatku berhasrat melalui hidup yang penuh tanda tanya, penuh keajaiban, dan terkadang kejutan-kejutan. Bisa dikatakan, mimpi adalah abstrak, tak terkenali, namun terasakan. Mimpi adalah motivasi: motivasi untuk mengubahnya menjadi nyata, mengubahnya menjadi konkret.

Begitulah aku melalui hidup ini. Dulu, di masa kecilku, tak ada harap yang demikian istemewa dalam segala aktivitasku. Setidaknya bila diukur dengan sejumlah keinginan yang kini menggelayuti benakku. Namun, bila diukur dengan kesadaran usiaku pada saat itu, tentu banyak tindakan sesungguhnya aku lakoni demi keinginan tertentu, demi kesadaran tertentu. Ku menangis ketika aku hendak mendesakkan keinginan tuk mendapatkan mainan yang kujumpai di pasar. Kadang, tangisan begitu ampuh menggiring orang tuaku untuk mewujudkan keinginanku, namun seringkali tangisan tidak begitu ampuh melunakkan rasa kasihan orang tuaku. Semakin berhasrat aku menangis, semakin barhasrat pula orang tuaku untuk tidak mengabulkan keinginanku.

Begitu pula sikap manja dan caper yang kerap aku lakukan untuk menuntut perhatian orang tua yang menurutku tidak begitu memperhatikan keinginanku. Dan banyak tindakan-tindakan lain yang menurutku aneh bila kukenang saat ini. Dan waktu memang bisa menilai berbeda atas tindakan yang kulakukan di waktu yang berbeda. Aneh pada saat ini, tapi tidak pada masa lalu. Mungkin! Atau memang tetap saja aneh atau wajar-wajar saja, baik pada masa lalu atau juga masa kini. Jangan-jangan itulah mimpiku di masa lampau yang sejatinya aku coba wujudkan di masa kini. Mungkin juga.

Kucoba mengeja ingatan masa lalu, ketika tindakanku seolah tanpa pertimbangan sadar, walau sesungguhnya itu benar-benar kulakoni dengan kesadaran: kesadaran masa kecilku yang bisa jadi dianggap tanpa sadar bila disoroti dalam konteks masa kini. Begitulah waktu yang tidak pernah menilai secara tunggal terhadap satu kejadian yang sama. Waktu itu pun terus berubah, dan aku harus siap dengan perubahan.
Kini aku bukan lagi anak-anak yang menangis ketika hendak memaksakan keinginan, tidak pula bertindak caper dan manja untuk melunakkan hati orang tua. Sayangnya aku kadang sadar bahwa diriku bisa dinilai tua dalam usia, namun tidak dalam tindakan. Kerap aku bertindak kekanak-kanakan, dan aku menyadari itu semua. Atau begitulah kompleksitas diriku yang membaurkan kekanak-kananak dengan kedewasan dalam satu ruang dan waktu. Sehingga diripun tidak tunggal dalam sikap.

Dua bulan sekian hari usiaku akan genap dua puluh tujuh tahun. Usia yang tidak muda, apalagi kanak-kanak. Usia yang sejatinya aku benar-benar bisa berubah, bisa berbenah. Usia yang seharusnya aku tidak saja menyulam mimpi yang sedari kecil aku anyam. Aku telah melewati sembilan tahun di perantauan, merajut pengalaman dan menata masa depan. Menyulam, merajut, dan menata adalah kata kerja yang mengindikasikan sebuah proses, proses panjang yang mungkin tidak pernah berakhir. Hari-hariku bekerja dalam wilayah dan proses tersebut. Kekhawatiran akan robeknya dan runtuhnya hasil sulaman, rajutan, dan tataan selalu saja membuatku galau. Tapi aku juga disadarkan bahwa dalam hidup, tepatnya dalam proses menjalani hidup, keberhasilan tidak selalu berpihak pada kita. Kegagalan tiba-tiba hadir merobek sulaman dan rajutan serta meruntuhkan tatanan yang sejak semula aku bangun dalam mengawal dan mengubah mimpi menjadi nyata. ”Kita sebenarnya ’berjudi’ dalam menjalani hidup,” batinku. Kita tidak ditunjukkan dengan kejelasan-kejelasan tentang masa depan meski kita punya sejumlah angan untuk mengemas masa depan. Ibarat berjudi, kita tidak tahu apakah keberuntungan berpihak pada kita atau sebaliknya: kesialan. Kita mungkin bisa menjelaskan bagaimana orang lain seharusnya melakoni hidup, tapi kita tidak bisa—bahkan meraba sekalipun—apa yang sebenarnya akan terjadi dalam kehidupan kita sendiri. Kita pun takluk dihadapan nasib yang konon telah ditorehkan Tuhan dalam ’Lembar Agung’ yang berisi ’Skenario Besar’ tentang umat manusia.

Nasib dinilai sebagai kebenaran paripurna, dan mengembalikan pada nasib seolah selesailah persoalan kita. ”Kita tidak perlu berbuat banyak, toh dalam Lembar Agung itu Tuhan telah mencatatkan nasib kita dalam Skenario Besar-Nya,” begitu pikir hampir banyak orang. Kita kehilangan kuasa, bahkan untuk sekadar berandai-andai tentang masa depan diri kita sendiri. Karena faktor nasib, kita tidak mampu memilih Legenda Pribadi, begitu Coelho mengistilahkan, kita. Dan nasib menjadi dusta terbesar di dunia, ujar orang tua pada Sang Bocah, Santiago. ”Pada saat tertentu dalam hidup kita, kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi pada diri kita, dan hidup kita lalu dikendalikan oleh nasib. Itulah dusta terbesar di dunia,” jelas orang tua pada Santiago sebagai termaktub dalam novel Sang Allkemis.

Ku sekadar ingin berkisah, novel yang cukup memikat dan menggairahkan kembali semangatku untuk mengubah mimpi sembari mengikuti Legenda Pribadiku ini aku kenal dari seorang karib: QSF inisialnya. Tidak perlu aku berkisah lebih jauh siapa QSF ini, dan seberapa besar sumbangannya dalam menyulamkan spiritnya dalam kembaraku. Setelah berkali-kali kubaca, kuberteriak sekuat tenaga, ”Aku bukan Santiago, Aku bukan Santiago, Aku Bukan Santiago. Aku adalah Ahmad Fawaid Sjadzili dengan segala keunikan, kekurangan dan kelebihannya.” Tapi sebagaimana Santiago, aku hendak mengembara, berkelana, untuk mengisi episode sejarah kembaraku. Dan sebagaimana Santiago, aku ditakdirkan untuk mengisi hidupku dengan menginjakkan kaki di sebuah kota yang sempat kuimpikan pada masa kanak-kanakku: MESIR. Bukan untuk mencari harta karun di Fayyum (dan secara kebetulan kepincut dengan bidadari padang pasir: Fatimah?!) sebagaimana Legenda Pribadi Santiago mengarahkan ke sana, tapi untuk memuaskan birahi intelektualku dan segala kebetulan-kebetulan lainnya. Tidak lebih dari itu. Yang jelas, ini adalah episode sejarah kembaraku, kembara yang tak mengenal akhir!!! Allahumma Arinal Haqqa Haqqan, Warzuqnat Tiba’an. Wa Arinal Bathila Bathilan Warzuqnaj Tinaban....

Tepian Empang Semanggi,
Ahad, 3 Juli 2005 9: 37

No comments:

Post a Comment