Monday, June 27, 2005

Resonansi ….Labilitas….dan Kurebut Kembali Akal Sehat Itu

Melebur dalam dunia perasaan seolah aku dihadapakan pada sebuah labirin penuh kelok dan tanjakan. Belum lagi lubang dan benjolan lorong yang setiap langkah terasa menyentakkan. Tiba-tiba aku merasa tenggelam dalam curam dan sesekali aku merasa terbang tanpa tambang. Begitu nuansa batin ketika perasaan kubiarkan larut dalam suasana liar tanpa nalar. Resonansi, labilitas, dan apa lagi namanya menyeruak dalam senam rasa yang nyaris tanpa kendali, bahkan tanpa emosi.

Perih lirih dan senyum ranum silih berganti. Dan begitulah hidup yang pernah dan sedang kulalui saat ini. Begitu kelam hadir, sirnalah benderang. Begitu pula sebaliknya. Stabilitas dan disiplin rasa tampak tidak (akan) pernah kudapati.”Atau memang demikian hidup?,” begitu batinku. Jika demikian, di mana kemudian letak komitmen? Di mana letak janji setia? Atau di situlah komitmen dan janji setia dibutuhkan dalam mengawal resonansi dan labilitas rasa? ”Mungkin saja begitu!,” seruku menghibur diri.

”Tapi...”, ku kembali sangsikan keyakinanku itu. Lalu, apakah komitmen dan janji setia itu dideklarasikan untuk dilanggar dan dikhianati atas nama hukum alam yang meniscayakan labilitas dan resonansi rasa itu? Memang, Jujur-dusta dan komitmen-khianat kerap hadir dalam diri seseorang, bahkan yang taat beragama sekalipun.

Begitu tipis garis pemisah antara keduanya. ”Bahkan lebih tipis dari kulit bawang,” begitu celetuk kawanku. Seolah tidak ada relevansi antara ketaatberagamaan seseorang dengan tindakan yang dilakoninya. Persoalan ini akan berujung pada ketegangan perennial antara yang seharusnya (das solen) dan kenyataannya (das sein). Dan orang, termasuk yang taat beragama sekalipun, hanya bisa bersabda pada tataran yang seharusnya, namun tidak bisa mengejawantahkan dalam tindakan nyatanya. ”...Lima taquluna ma la taf’alun? Kabura maqtan ’inda Allah an taqulu ma la taf’alun,” begitu Teks Suci yang gemar difatwakan orang-orang suci itu. Begitu mudah menfatwakan, namun begitu sulit memberikan teladan.

Wahai Tuhanku, maafkan daku yang lemah, durjana, dan sarat dosa ini. Aku tidak bermaksud melakukan gibah dan membincang perilaku keji orang, orang yang aku sebut taat beragama itu. Sama sekali tidak. Aku justru hendak mengikuti ketaatan mereka kepada-Mu, bukan mengikuti teladan keji mereka yang selalu membawa nama-Mu. Sesungguhnya aku hanya hendak mengaca diri dan menyadarkan diri dalam menepis kepalsuan tindakan yang kerap aku lakukan, persis sama dengan tindakan para orang suci itu. Aku sadar, memang sulit menjembatani resonansi dan labilitas rasa, sebagaimana aku merasa sulit menentukan pilihan-pilihan yang Kau gelarkan pada hambamu. Betapa tidak, kerap kali kuterjerembab dalam pilihan yang begitu memikat hatiku, tapi tidak menurut-Mu. Sebaliknya, aku enggan menjatuhkan pada pilihan yang menjijikkan bagiku, tapi tidak menurut-Mu.

Mungkin aku terlalu angkuh, gegabah, sombong, dan takabbur. Tapi begitulah yang hadir pada diriku. Labilitas, resonansi, dan apalagi namanya selalu menguntit upayaku untuk tunduk pada-Mu, untuk memanfaatkan anugerah-Mu. Memanfaatkan akal sehat yang menjadi pertanda keagungan manusia—hamba yang Kauciptakan dalam sebaik-baik bentuk ini. Dan dalam suasana batin yang labil ini, sebenarnya Engkau hendak mengujiku, menguji hamba-Mu. Menguji sebarapa jauh hamba-Mu ini bisa merebut kembali akal sehat yang kerap ditundukkan oleh perasaan. Ya Muqalliba al-Qulub, Tsabbit Qalby ’Ala Dinik..

Pinggiran Semanggi, 26 Juni 2005

No comments:

Post a Comment