Thursday, April 07, 2005

Merebut Pel(uang)!

Pagi ini, saya merasa dihibur dengan hadirnya tiga kupu-kupu hitam. Memang tidak begitu indah tampilannya, tapi tingkahnya begitu lucu, seolah hendak mengajarkan satu hal, bahkan banyak hal, kepadaku. Menari-nari di ruang sempit kamarku, dan sesekali menghinggapi wajahku, sesekali mengganggu pandanganganku yang sedang mengetukkan jemari menuliskan sesuatu, dan sesekali tampak menertawakan tingkahku.

Kebijaksanaan lokal, kalau tepat istilah ini digunakan, mengabarkan bahwa “Ada kupu-kupu, ada tamu.” Tapi saya tidak terlalu peduli dengan pesan mitos semacam itu. Saya hanya tertarik dengan mengamati, tidak pada tiga kupu-kupu hitam yang sedang beterbangan di kamarku dengan ditemani irama musik padang pasir, tapi pada hadirnya cicak yang tampaknya begitu bersemangat memanfaatkan peluang menerima kehadiran tiga kupu-kupu itu. Bukan hanya satu cicak yang muncul, tetapi jumlahnya melebihi jumlah kupu-kupu yang bertandang di kamarku. Kehadiran kupu-kupu itu tidak disia-siakan begitu saja oleh sejumlah cicak yang berkejaran di dinding kumuh kamarku. Merayapi tepian dinding, dan terkadang menyelinap di belakang rak bukuku, cicak itu bersemangat untuk menerima kehadiran kupu-kupu itu. Bukan untuk menghormatinya, alih-alih memangsanya.

Sebagaimana manusia, hewanpun punya insting untuk memanfaatkan kesempatan. Dan untuk itu, ia berlomba untuk merebutnya. Saya hanya hendak mengatakan bahwa siapapun—termasuk hewan—berhak untuk pro-aktif merebut peluang. Kata orang bijak, “Kesempatan tidak datang dua kali.” Memanfaatkan peluang yang tidak hadir setiap saat itu tentu menjadi keharusan. Atas dasar merebut peluang ini, banyak di antara kita yang berlomba-lomba untuk meraihnya, termasuk tingkah cicak-cicak di dinding yang begitu bergairah memangsanya.

Memang tidak semua cara yang digunakan mirip alias sama. Beragam strategi dimainkan, bahkan tidak jarang intrik. Model intrik akan tampak nyata menyangkut peluang yang cukup “memberi gizi” bagi dirinya. Coba saksikan betapa mereka-mereka begitu giat menggalang simpati—apapun caranya—menjelang Pilkadal yang segera berlangsung. Di daerahku, di Sumenep sana, para pemain yang berseteru lahir dari rahim yang sama, dan tampaknya punya jualan yang sama. Wajar bila mereka bekerja ekstra untuk merebut peluang. Saya tidak tahu apakah semangat itu digelorakan hanya ketika hendak menangkap peluang, atau terus diabadikan dan dikelola ketika peluang itu benar-benar dihadiahkan padanya. Bagi saya, mereka bukanlah cicak yang merasa puas ketika kupu-kupu itu berhasil dimangsanya. Mereka adalah “orang besar” atau dibesarkan oleh lingkungan sosial di daerahnya, atau malah merasa dirinya besar yang seharusnya bertindak melebihi tingakah laku cicak yang tidak lagi bersemangat ketika peluang berhasil diraihnya: ketika kupu-kupu berhasil dimangsanya. Saya hanya bisa berharap bahwa manusia sejatinya lebih bijak dari hewan, bukan malah lebih dina darinya. Tapi itu hanyalah harapan saya yang tidak kuasa untuk sekadar bermimpi, apalagi memungkinkan mimpi itu menjadi nyata. []

No comments:

Post a Comment