Tuesday, August 02, 2005

Perpustakaan Iskandariyah: Pesona Peradaban Mesir


Dua puluh lima hari berlalu sejak saya pertama kali menginjakkan kaki di bumi kinanah, Mesir (7/7/05). Sejumlah perpustakaan di kota Kairo telah saya kunjungi. Begitu juga sejumlah toko buku ternama saya datangi. Banyak buku yang telah saya temukan, namun tidak semuanya kuasa saya dapatkan. Terbatasnya dana menjadi satu-satunya ganjalah. ”ketimbang tidak sama sekali, yang saya dapatkan lebih dari sekadar cukup,” batin saya menghibur diri. Namun masih tersisa dalam benak, keinginan untuk mengunjungi sebuah perpustakaan bersejarah, dan tentunya paling representatif di Mesir: Perpustakaan Iskandariah. Berharap untuk mendapatkan apa yang saya cari melengkapi survey bibliografis tentang studi ilmu Al-Qur’an, keinginan untuk mengunjungi perpustakaan bersejarah itu semakin menjadi-jadi. Maklum, niat utama ziarah saya ke kota seribu menara itu adalah penelitian pustaka studi ilmu Al-Qur’an di Mesir. Tentu saja, sasaran utama penelusuran itu adalah perpustakaan, di samping toko-toko buku terkemuka di Mesir.

Pagi itu, Senin (1/8/2005), saya memutuskan untuk melengkapi lawatan akademis ke kota Iskandariyah, sebuah kota yang berjarak kurang lebih 208 Km barat laut kota Kairo. Nama Iskandariyah sebenarnya diadaptasi dari nama pendirinya, Alexander The Great (l. 356 SM-w.323 SM). Dalam kepustakaan Islam, Alexander The Great lebih dikenal dengan Iskandar Dzulkarnain. Ia adalah putra Raja Makedonia, Philip II, yang dalam usianya yang masih belia telah menggantikan ayahnya dan berhasil menguasai tiga benua, Eropa, Afrika, dan Asia. Dan Iskandariyah merupakan salah satu wilayah kekuasaannya. The Great kemudian menjadi label yang disematkan kepada salah seorang murid Aristoteles ini karena keberhasilan wilayah yang dipimpinnya.
Ditemani Dararul A’la, saya menuju stasiun Ramsis, terminal dan stasiun yang menghubungkan kota-kota di Mesir. Semula saya memilih jalur Kereta Api Ekspres. Tapi apes, kereta api baru saja melaju. Segera kami putuskan untuk mengendarai bus. ’Abbud...’abbud..abbud...!, begitu kenek tramko yang melintasi lorong-lorong Ramsis menawarkan diri untuk mengantarkan kami ke terminal ’Abbud, Pulo Gadung-nya Mesir. Tiba di terminal Abbud, segera kami menuju bangunan berjejer yang terbuat triplek sarat tulisan Arab. ”Tamatta’ ma’ana fi safariyatina Ila Iskandariya, Mukayyaf/Fidiyu” (Nikmati perjalanan Anda bersama kami ke Iskandariya, fasilitas AC dan video), demikian salah satu tulisan yang terpampang di bilik itu. Tidak semua bilik terbuka, hanya satu bilik yang melayani perjalanan hari itu. Padahal di depan bilik yang hampir seluruhnya tutup itu tertulis ”Tirhab bimuqtarahatikum wa syakwakum ’ala madari 24 Sa’ah” (”pelayanan 24 jam”). Kami pun segera membeli tiket perjalanan. ”Bikam ya ’Am?” (Berapa taripnya?), tanya kawanku. ”Itnain ’Asyr Genih”, (£12/sekitar 24.000). Segera kami bayar, dan kami pun bergegas menaiki bus tersebut. Namun lagi-lagi apes, bus pertama telah penuh. Saya harus bersabar menunggu antrian bus berikutnya. Persis jam 10.00 waktu setempat, bus West Delta melaju menuju Iskandariyah.

Kurang lebih 4 jam perjalanan, kami disuguhi pemandangan Indah. Hamparan kebun pisang, kurma, dan jagung menghijaukan suasana padang pasir yang identik dengan kegersangan. Apalagi saat itu Mesir sedang bermusim panas. Melewati jalur Thanta—desa yang melahirkan banyak tokoh pemikir semisal Nashr Hamid Abu Zayd—akhirnya kami pun tiba di Iskandariyah. Saat itu jam menunjukkan pukul 14:00.
Diantarkan taksi, akhirnya kami sudah berada di depan gedung megah dengan arsitektur yang rumit untuk saya bayangkan. ”Inilah perpustakaan Iskandariyah itu,” jelas kawan saya mengusik ketertegunan. Gedung berlantai sebelas, empat lantai di bawah tanah dan tujuh lantai di atasnya begitu kokoh berdiri seolah hendak mewartakan keagungan peradaban pada masanya dan masa kini, bahkan di masa mendatang. Di depannya ada tembok bertuliskan alfabet negara-negara dunia. Setidaknya itu yang dikisahkan kawan saya. Saya akhirnya memasuki ruangan itu dengan pengamanan super ketat. Maklum, seminggu sebelumnya, Sharm Sheikh—kawasan wisata terkemuka di Mesir—menjadi sasaran bom teroris.

Dalam catatan sejarah, perpustakaan itu didirikan pada awal abad ke-3 SM pada masa pemerintahan Plotemous II. Inisiatif istana sunguh luar biasa dalam menanamkan semangat ilmiyah di Iskandariah. Dan perpustakaan ini menandai semangat ilmiyah yang disponsori istana. Oleh karena berbagai konflik yang muncul, aset perpustakaan banyak yang hilang. Berulang kali terjadi pembakaran, bahkan sejarahwan menduga perpustakaan ini raib ketika Arab menaklukkan Mesir pada tahun 640 M.
Kini, gedung perpustakaan itu dibangun kembali yang kembali diaktifkan untuk publik sejak oktober 2002. Gedung yang bersebelahan dengan Universitas Iskandariyah (al-Jami’ah al-Iskandariyah) ini memang tua bila dilacak tahun berdirinya, namun begitu ”muda” bila dilihat dari bangunan dan arsitekturnya. Memang, baru kurang lebih empat tahun terakhir perpustakaan ini dibuka untuk publik setelah mengalami renovasi besar-besaran. Warna biru dengan bentuk segitiga sama kaki, dan dilengkapi dengan halaman yang luas dan kafe ini memang sangat layak disebut sebagai perpustakaan. Ruangannya yang sejuk dengan penataan buku dan ruang baca yang apik, di tambah dengan fasilitas katalog online dan internet, semakin mengukuhkan keseriusan pelayanan perpustakaan ini. Dan yang terpenting adalah koleksi buku yang menampung ratusan ribu judul pustaka, di samping arsip-arsip yang ditulis di kertas papirus, serta peninggalan-peninggalan sejarah lainnya.

Begitu luar biasanya, perpustakaan ini tampak lebih berfungsi sebagai lawatan wisata touris ketimbang ruang baca dan riset. Mungkin saja dugaan saya keliru. Tapi, dalam kunjungan saya kali ini, kerumunan orang dan beberapa rombongan travel lebih tampak menonjol ketimbang pengunjung yang benar-benar tulus hendak menikmati kekayaan pustaka yang tersedia di sana. Memang saya menjumpai beberapa mahasiswa yang dengan penuh konsentrasi menelisik jajaran buku dan membawanya ke meja baca. Tidak banyak bila dibandingkan dengan riuhnya rombongan yang hanya mengagumi keistimewaan fisik perpustakaan itu. Tataan ruangnya yang rapi sungguh membuat nyaman pengunjung. Di setiap tempat strategis saya jumpai tulisan mengenai larangan mengaktifkan telepon seluler, bahkan ada sanksi jika itu dilanggar. Mungkin kebijakan itu dilakukan salam rangka kenyamanan ruang baca yang sejatinya hening.
Memang, selama kurang lebih 5 jam menikmati perpustakaan itu, saya tidak mendengar deringan ponsel. Tapi sayang, kebiasaan ngerumpi orang Mesir membuat suasana ruang baca yang seharusnya hening tampak berisik. Bahkan lebih mengganggu dengan deringan ponsel yang menjadi larangan perpustakaan itu. Nyaris tidak bisa dibedakan antara ruang baca dan pasar.

Sejatinya, perpustakaan tidak dijadikan ruang untuk bergemuruh, tapi berhening diri dalam konsentrasi yang utuh. Itu yang tidak saya temukan di sana. Saya jumpai suasana paradoks: perpustakaan yang ”mengharamkan” pengaktifan telepon seluler, ”menghalalkan” raungan itu sebagai cafe untuk ngerumpi. Mungkin kali ini saja kasus itu terjadi, ketika saya berkesempatan mengunjunginya.

Sebenarnya saya masih betah di sana, namun jam di tangan menunjukkan pukul 18:25. Segera saya menghubungi kawan yang lebih menikmati suasana di luar sana, dan kami pun bergegas menuju stasiun. Kali ini kami harus mengendarai kereta api ekspres setelah tadi pagi kami gagal. Alhamdulillah, tiket kereta api Ekspres Iskandariyah-Kairo masih tersedia. Memang taripnya tiga kali lipat bus West Delta yang tadi pagi kami kendarai: £35.

Sembari menunggu kereta yang sebentar lagi tiba, saya keluarkan kamera digital untuk mengabadikan suasana stasiun yang tidak lebih baik dari stasiun Senen di Jakarta. Saya arahkan ke desakan penumpang yang sedang berebut naik kereta ekonomi, di samping kepada orang yang minta dipotret. Sesekali mereka menyapa kami dengan bahasa Inggris berlogat Arab, What’s your name? Where do you come from? Malaysia? Maklum, kami berdua orang asing. Dan kami pun memposisikan sebagai pelancong dengan menjebrat-jebretkan kamera digital.

Sepanjang perjalanan pulang, saya masih belum bisa melupakan pesona perpustakaan yang sarat sejarah itu. Hingga mata merapat setelah kantuk memaksa saya untuk lelap dalam impian itu. Tiga jam kemudian, kami telah tiba di Stasiun Ramsis. Kami pun kembali ke kawasan Nasr City untuk segera mengabadikan rekaman perjalanan ini sebelum kami larut dalam suasana malam musim panas Kairo.

Madena Nasr, Cairo
02 Agustus 2005

No comments:

Post a Comment