Wednesday, August 03, 2005

Coelho, Fayyoum, dan Mesir Sebagai Ardlul Hadlarah

Fayyoum. Saya mengenalmu ketika Coelho berkisah tentangmu. Berkisah tentang seorang insan yang dengan kemauannya mengejar ambisi menggali harta karun yang konon dituturkan berada di kota tersebut. Legenda pribadi yang senantiasa ia pegangi dan turuti menyusuri impi dengan segala prahara yang diyakininya pasti terjadi. Kisah tentang impi yang pasti terpenuhi selama kemauan untuk menggapainya kekal menemani. Dan Santiago, anak manusia yang mengawali karir sebagai penggembala domba itu, pun mewujudkan mimpinya. Ia pun menyulap impinya menjadi kenyataan. Menyusuri sahara dengan segala tantangan yang dihadapi, melewati piramid yang berada di Giza, Santiago akhirnya mendapatkan harta karun itu.

Fayyoum adalah wilayah bagian utara Mesir yang diberkahi kehidupan alam yang subur. Sebuah wilayah yang tidak lagi tampak jejak-jejak sahara di sana. Wilayah yang benar-benar hijau dan tentu saja subur. Saya nyaris tidak percaya bahwa wilayah itu adalah sahara, oleh karena pepohonan dan bentangan pertanian menghijau menutupi tanda-tanda sahara yang gersang nan tandus. Hanya pohon kurma dan himar yang meyakinkanku bahwa wilayah itu benar-benar wilayah sahara. Bukankah pohon kurma dan binatang himar merupakan simbol kehidupan sahara? Jika bukan karena pohon kurma dan binatang himar itu, saya pasti tidak yakin bahwa wilayah itu berada di padang sahara. Jagung, padi, zaitun, dan jenis buah-buahan serta sayur-mayur di Mesir ternyata disumbangkan dari wilayah ini, di samping wilayah perkampungan lain di Mesir. Kairo, ibu kota Mesir, hanyalah penikmat saja dari hasil pertanian dan suburnya tanah perkampungan di Mesir. Dan Fayyoum adalah satu dari beberapa wilayah perkampungan itu.

Ada apa dengan Fayyoum? Mengapa Coelho berkisah tentang wilayah ini dan menjadikan wilayah ini tempat perburuan harta karun Santiago? Saya mencoba mencari tahu, dan hari ini saya mendatangi kota tersebut. Dari Kairo, saya menuju ke arah utara melewati Giza, tempat tiga piramid besar dan Spinx berada. Kurang lebih dua jam perjalanan, saya tiba di Fayyoum. ”Di sinilah Qarun berikut hartanya ditenggelamkan,” jelas kawan yang memahami wilayah tersebut begitu Bus yang saya kendarai berada di tepi sebuah oase yang indah. Orang menyebut oase itu sebagai Buhaira Qarun (Buhaira berasal dari kata ”bahr” yang dibentuk tashghir yang berarti laut kecil). Memang, untuk disebut lautan, buhaira itu tidak terlalu tepat. Di samping tidak terlalu luas, airnya tidak asin alias tawar. Ia lebih tepat disebut sebagai danau. Di tempat itulah, kisah kawanku, Qarun yang begitu angkuh dan sombong dengan kekayaan yang dimilikinya ditenggelamkan. Tidak hanya Qarun yang tenggelam, tetapi juga seluruh kekayaannya. Bisa jadi, dari kisah inilah istilah harta karun menemukan cantolannya. Dan Coelho dalam Sang Alkemis merasa perlu mengangkat wilayah ini sebagai setting kisahnya. Kisah perburuan impi mendapatkan harta karun.

Tidak saja objek wisata sejarah sejenis buhaira Qarun, Fayyoum ternyata menjadi objek wisata santai. Di situ terdapat danau-danau dengan air mancur yang menjadi tempat pemandian bagi para wisatawan. Apa yang disebut wadi rayyan, danau rayyan, yang tempatnya tidak jauh dari buhaira qarun adalah salah satunya. Di tempat lainnya terdapat perkebunan mangga yang begitu luasnya. Tampaknya, hampir sepenuhnya suplai Mangga di Mesir berasal dari Fayyoum.

Tapi saya tidak menemukan hal yang istemewa di sana, kecuali bahwa padang pasir betapapun gersangnya tetap menyisakan produktivitas pertanian yang luar biasa subur. Padang pasir tidak selalu identik dengan kegersangan. Hal lain yang ditunjukkan padang pasir, tepatnya Mesir,adalah klaim kota peradaban. Di tepian jalan, saya menyaksikan slogan yang berjejer dengan marka jalan bertuliskan, Mishra: Ardl al-Hadlarah (Egypt, The Earth of Civilization). Saya juga sulit untuk menampik slogan ini, karena memang sejarah menunjukkan betapa peradaban Mesir Kuno yang terus diwariskan hingga kini membenarkan slogan itu. Sisa-sisa peradaban Mesir yang diwariskan hingga kini masih bertahan dan itulah mungkin yang senantiasa mempertahankan “gede rasa” orang Mesir, bahkan orang-orang Indonesia yang belajar di Mesir pun larut dalam pola semacam ini.[]

Abdurrasul, Madena Nasr
03 Agustus 2005
AFS

No comments:

Post a Comment