Friday, November 21, 2003

Formalisasi Substansi Syari'at

Geliat untuk menghadirkan pesan Islam secara utuh oleh kalangan tertentu ditunjukkan dengan upaya menerapkan syariat Islam. Tidak cukup dengan penerapan syariat yang jelas merupakan kewajiban individual umat, kalangan tertentu berhasrat untuk memformalkan syariat atas dasar bahwa formalisasi syariat merupakan obat mujarab (antidote) menuntaskan rumitnya persoalan yang hingga kini terus mendera umat dan bangsa. Mereka seolah ingin menegaskan bahwa ”Islamisasi struktural” dengan memanfaatkan otoritas politik untuk mendesakkan kepentingan agama tertentu menjadi keharusan, bahkan kewajiban agama yang akan berdosa jika ditolaknya. Menolaknya dianggap sebagai penolakan terhadap sakralitas syariat yang ilahiah(divine order) sekaligus pembangkangan terhadap Tuhan sebagai ”perumus” syariat.

Semangat inilah yang terus dipropagandakan oleh sebagian umat Islam mutakhir, tidak terkecuali di Tanah Air. Dengan mengambil bentuk formalisasi, kelompok kepentingan ini begitu yakin bahwa segala sesuatu akan terselesaikan dengan medium represif yang bernama negara. Dengan demikian, negara bisa saja mengendalikan dan mengawasi keyakinan agama warganya: suatu hal yang sejatinya menjadi tanggung jawab pribadinya.

Dalam konteks negara yang menampung beragam keyakinan agama, Indonesia misalnya, formalisasi syariat jelas menimbulkan persoalan. Persoalan ini begitu kentara ketika syariat yang dimaksud menyangkut hukum publik atau hukum pidana yang berdampak tidak saja pada umat yang menganut syariat, tetapi juga—dan ini yang terpenting—pada umat lain di luar penganut syariat ini. Berbeda dengan hukum perdata yang hanya mengatur internal umat yang mengakui syariat tersebut tanpa mengikat pada kelompok di luarnya. Nyatanya, pengusung formalisasi syariat tampaknya lebih mengedepankan proyek formalisasi syariat publik yang mengatur warga negara secara keseluruhan. Di sinilah problem itu terjadi, tidak saja bagi umat Islam tetapi juga bagi penganut agama lainnya.

Dalam konteks Islam, formalisasi syariat berdampak pada unifikasi hukum. Unifikasi hukum yang diciptakan negara berujung pada terberangusnya ruang perbedaan yang sebenarnya juga disediakan oleh syariat. Sementara dalam konteks luar Islam, formalisasi syariat jelas berakibat pada pemaksakan ajaran dan keyakinan tertentu bagi kelompok lain dalam sebuah negara. Kontrak sosial yang disediakan negara hangus akibat dominasi agama tertentu yang ambil bagian dalam formalisasi syariat. Ini juga akan berujung pada retaknya perekat sosial dari sebuah negara yang dari awal mendakwa sebagai wadah peleburan (melting pot) dari beragam entitas, baik etnik maupun agama. Namun sayangnya, hal ini tidak disadari oleh para penggiat formalisasi. Mereka pun seolah melupakan pengalaman negara lain yang lebih awal mempropagandakan semangat serupa, namun akhirnya tidak kuasa melapangkan keinginannya.

Pengalaman Negara Lain

Amatlah bijak apabila kita belajar dari pengalaman negara lain yang lebih awal mendeklarasikan dirinya telah menpraktikkan syariat Islam dalam konstitusi negaranya. Tengokan sejarah ini penting bukan karena mereka telah berhasil meresmikan syariat Islam sebagai official canon dalam penyelenggaraan pemerintahannya, melainkan karena implikasinya terhadap kemungkinan demokratisasi dan penegakan hukum yang dicita-citakan oleh bangsa dan masyarakat yang majemuk.

Mengamati fenomena formalisasi syariat di beberapa negara semisal Sudan, Iran, Pakistan, Afghanistan, dan Arab Saudi, tampaknya kita tidak menemukan formulasi konseptual yang tunggal tentang rumusan syariat Islam yang hendak diformalisasikan. Negara-negara tersebut ternyata tidak memiliki keseragaman bentuk syariat Islam yang bagaimana yang hendak diejawantahkan dan bentuk syariat Islam yang mana yang hendak diterapkan. Belum lagi negara-negara yang mendakwakan dirinya menerapkan syariat Islam tidak lebih berhasil dibandingkan negara lain yang tidak begitu berambisi melapangkan formalisasi syariat. Malah di negara yang berlabel negara Islam ini badai konflik tak berkesudahan. Jangankan dengan orang di luar kelompok agamanya, dengan kelompok di internal agamanya pun kerap terjadi ketegangan.

Tampaknya kegamangan konseptual semacam itu berikut dampak-dampak sampingannya semakin mengukuhkan anggapan bahwa greget formalisasi syariat itu tidak lebih dari indikasi mengentalnya semangat Islamisasi politik. Semangat ini misalnya ditandai dengan kecenderungan untuk menghadirkan sebuah ”komunitas imagener” yang kerap dilekatkan pada komunitas muslim pertama. Kecenderungan yang bercorak romantik-atavistik yang menginginkan hadirnya kembali komunitas dan sistem politik par excellence pada masa Nabi dan empat khalifah Islam pertama, yang bagi kelompok ini dianggap mengguratkan pola-pola ideal penerapan syariat.

Bisa jadi fenomena ini menggambarkan ”strategi cari selamat” dari pengalaman kegagalan eksprementasi keberagamaan yang cenderung melacurkan nilai-nilai agama sebagaimana disebarkan sekularisme. Atau mungkin juga, fenomena formalisasi syariat hanyalah bentuk kemunafikan, atau meminjam istilah Olivier Roy dalam bukunya The Failure of Political Islam(1996), hile shar’i: akal-akalan hukum yang pada akhirnya memungkinkan umat mengelak dari larangan syariat tanpa terbebani dosa. Ini juga, misalnya, ditunjukkan dengan mengecambahnya bank-bank berlabel syariah, yang lagi-lagi menurut Roy tidak lebih dari strategi pemasaran dan bukanlah suatu alternatif pola tatanan sistem perekonomian baru. Label syariah semata-mata dijadikan sebagai produk menggiurkan di tengah-tengah fenomena bangkitnya aktivisme religius yang berambisi meng-agama-kan seluruh sistem kehidupan umat.

Jika demikian, proyek formalisasi hanyalah proyek simbolisasi dan lebelisasi keberagamaan dengan melapisi (vaneered) seluruh aspek kehidupan warga tanpa menyentuh substasi nilai-nilai agama itu sendiri. Jika ini yang terjadi, ambisi formalisasi syariat akan terkesan ilusif dalam menciptakan kesejahteraan warga secara umum dengan melampaui sekat-sekat keyakinan tertentu.

Syariat Substansial

Tidak ada yang membantah bahwa syariat adalah kewajiban agama yang mutlak ditaati. Namun persoalannya menjadi lain ketika keunikan syariat yang dimiliki kelompok agama tertentu dipaksamasukkan dalam hukum positif sebuah negara yang mewadahi beragam keyakinan. Reduksi, bahkan penunggalan, yang kemudian disertai dengan penolakan pada yang lain (rafdlu al-Ă¢khar) dapat dipastikan akan terjadi, dan ujungnya sentimen agama yang mestinya diendapkan, menguap dalam wujud pertarungan simbol. Dari pertarungan simbol inilah keretakan hubungan mesra antar-agama mulai tercemari hingga akhirnya berujung konflik atas nama agama.

Dalam konteks ini, ”proyek” formalisasi syariat yang mengedepankan ”cara” (tehnique) dalam menerapkan syariat, yaitu positivisasi syariat Islam melalui jaring-jaring kekuasaan, dipastikan menemukan ajalnya. Berbeda dengan pandangan yang mengutamakan penerapan nilai-nilai syariat (the primacy of values) yang melampaui batas-batas formalnya. Pandangan ini relatif bisa mewadahi pluralitas agama yang menjadi ikon kehidupan beragama dewasa ini.

Inilah ironi sebagian kalangan yang demikian bersemangat melapangkan formalisasi syariat, sementara mereka tidak menyadari bahwa di balik niat tulus mem-praxis-kan syariah ternyata mereka lupa ada efek negatif pula yang dimunculkan. Ketulusan untuk melaksanakan agama secara utuh ternyata tidak dibarengi dengan cara beragama (mode of religiousity) yang utuh pula. Ketaatan pribadi dengan Tuhan (ibadah ritual) tidak diiringi dengan sikap saling memahami dan menghargai sesamanya (ibadah sosial). Dan formalisasi syariat Islam jelas merentankan terjadinya kesalahpahaman antarsesama. Seharusnya bukanlah syariat yang diformalkan, tetapi substansi syariat yang mengandung pesan keadilan itulah yang diformalkan.[*]

[Dimuat di harian sore Sinar Harapan, 20 November 2003]

No comments:

Post a Comment