Thursday, November 13, 2003

Menyoal Legislasi Syariah

Di tengah haru-biru suara sebagian kalangan untuk legislasi syariat di tanah air, buku yang disuguhkan Jamal Al-Banna menarik untuk dicermati. Paling tidak buku ini menghadirkan “suara lain” dari wilayah seberang untuk khalayak tanah air yang akhir-akhir ini begitu bergairah untuk menghadirkan model Islam yang mereka anggap sebagai “Islam Kaffah.”

Jamal Al-Banna, pemikir yang banyak bergelut dengan dunia buruh ini, lahir pada tahun 1920. Perhatian pada dunia kaum tertindas ini mendesakkan beliau untuk mendirikan Al-Jam’iyah al-Mishriyah Li Ri’âyati al-Masjûnîn wa Asrihim (1953), sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang penangan tahanan, dan Al-Ittihâd al-Islâmy al-Dawlî Li al-‘Ummal, sebuah organisasi internasional dalam persoalan buruh dan tenaga kerja. Selain sebagai aktivis yang bergelut dalam dunia praksis, Jamal Al-Banna yang juga saudara pioner Ikhwan al-Muslimin, Hasan Al-Banna, merupakan pemikir yang banyak melahirkan karya, termasuk dua buku ini, Khamsatu Ma’âyîr Li Mishdâqiyah al-Hukmi al-Islamî (Lima Kriteria Kredibilitas Hukum Islam) dan Qadhiyatu Tathbîqi al-Syarî’ah (Tentang Legislasi Syariat).

Dalam buku pertama yang terbit pada tahun 1996 ini, Jamal berupaya menyingkap setidaknya ada tiga kecenderungan dalam pemikiran hukum dalam Islam. Kelompok pertama diwakili oleh pola Khawarij yang mendeklarasikan slogan “yang ada hanya hukum Allah” (Lâ Hukma Illa Lillah) yang pengaruhnya samar-samar masih membekas hingga kini. Sebagian yang lain mengusung slogan legislasi syariat sebagai ekspresi dari pelaksanaan hukum Islam. Dan yang terakhir adalah kelompok yang meyakini bahwa hadirnya kembali khilafah Islamiyah. Bagi kelompok ini, runtuhnya khilafah Islamiyah pada tahun 1924 sebagai bentuk keruntuhan dunia Islam secara umum, dan oleh karena itu untuk membangun kembali Islam, khilafah Islamiyah mutlak dimunculkan kembali.

Bagi Jamal Al-Banna, tiga ekspresi yang muncul dalam kelompok-kelompok Islam ini gagal dalam memahami substansi hukum Islam. Dalam hal ini, sebagaimana terungkap dalam buku Khamsatu Ma’âyîr Li Mishdâqiyah al-Hukmi al-Islamî, Jamal menyuguhkan lima hal mendasar yang menjadi kriteria kredibilitas hukum Islam. Pertama, tujuannya adalah “memakmurkan bumi” (i’mâru al-ardh). Sembari membantah argumen Sayyid Qutb yang mengandaikan “otoritas ilahi” (al-hakimiyah al-ilahiyah) dalam pemerintahan dan menghujat serta menuding setiap sistem yang tidak menampilkan otoritas ilahi secara utuh sebagai jahiliyah, Jamal Al-Banna mengatakan bahwa apa yang dikehendaki oleh kelompok Qutb ini adalah model gerakan yang yang meyakini Islam to Islam (Islam untuk Islam) atau persis dengan kelompok revolusioner yang meyakini prinsip revolution to revolution (revolusi untuk revolusi). Betapapun gagal menuai hasil, kelompok ini biasanya selalu membela dan membenarkan prinsipnya, persis seorang dokter yang mendakwa berhasil dalam praktik medisnya walalupun si pasien itu sebenarnya mati.

Padahal, menurut Jamal Al-Banna, tugas pemerintah yang terlembaga dalam negara adalah menyejahterakan kehidupan di bumi, bukanlah “memberikan hidayah” yang itu menjadi tugas dan wewenang agama. Negara, tambah Jamal, adalah alat regulasi dan supervisi yang berwenang mengatur dan mengawasi praktik “penyejahteraan bumi”. Adalah bukan wewenang negara untuk intervensi dalam wilayah agama yang menjadi tanggung-jawab individu warga negara.

Kedua, iklimnya adalah kebebasan. Kebebasan atau al-hurriyah dalam arti yang seluas-luasnya hendaknya menjadi prinsip yang mutlak ditegakkan oleh siapapun, tidak terkecuali Nabi. Dan kritik menjadi bagian yang mutlak dilakukan. Sebagaimana digambarkan dalam sejarah, Nabi–demikian pula para sahabatnya—begitu menghargai “suara lain” tanpa harus membisukannya. Ini tergambar, misalnya, dari sikap Nabi yang selalu menghargai suara mayoritas betapapun berlawanan dengan pendapatnya sendiri. Kasus yang terjadi dalam perang Badar dan Uhud dapat dijadikan contoh. Atau juga kasus ketika mayoritas orang Islam membaiat Abu Bakar sebagai khalifah paska kematian Nabi, lalu ia berkata, ”Jika aku berbuat baik maka ikutilah aku, dan jika keliru maka koreksilah aku”. Inilah sikap yang ditonjolkan Nabi dan sahabatnya untuk memberikan ruang berpikir bebas kepada warganya sekaligus memberikan ruang untuk menerima kritik.

Kriteria ketiga, porosnya adalah keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam berbagai hal, termasuk di antaranya adalah keadilan ekonomi dan keadilan dalam menentukan kebijakan. Dalam konteks ini, keadilan selalu berjalin berkelindan dan hanya mungkin terlaksana dalam iklim yang bebas. Dan prinsip inilah yang mutlak dikedepankan demi terciptanya kesejahteraan warga.

Kriteria keempat, medium pengambilan keputusannya adalah syura. Syura mutlak diperlukan demi menepis dominasi suara tunggal dengan membisukan suara-suara lain dalam mempertimbangkan tepat-tidaknya keputusan. Dalam konteks ini, suara-suara itu tidak saja terbatas pada mereka yang menduduki posisi majlis syura, melainkan dalam arti yang lebih luas lagi adalah suara-suara yang direpresentasikan media massa, elektronik atau cetak.

Dan yang kelima, hukumnya adalah “risalah”. Satu hal yang membedakan prinsip pemerintahan dalam Islam adalah “risalah” yang dijadikan pedomannya. Risalah Islam tidak mengenal otoritas yang menampilkan medium represif dalam menegakkan ajarannya. Risalah Islam pun tidak membenarkan aparat bertindak semena-mena sesuai kehendaknya, melainkan dengan undang-undang yang terepresentasi dalam Alquran yang seluruhnya berporos pada nilai-nilai keadilan. Dan inilah substansi dari syariah.
Sayangnya, lima hal itu diabaikan begitu saja, dan yang dikedepankan adalah slogan-slogan kosong semisal “tak ada hukum kecuali hukum Allah” atau juga slogan yang begitu populer akhir-akhir ini, yaitu “legislasi syariat Islam”. Apa kemudian yang dikehendaki dengan slogan legislasi syariah yang kerap didengung-dengungkan kelompok Islamis di berbagai penjuru dunia, tidak terkecuali di Indonesia? Melalui buku Qadhiyatu Tathbîqi al-Syarî’ah yang terbit tahun 1998, Jamal Al-Banna mengupas persoalan legislasi syariat yang kerap memanfaatkan tangan negara dalam proses legislasinya.

Bagi kalangan pengusung legislasi syariat, sejumlah persoalan yang menimpa umat hanya mungkin tertuntaskan dengan tathbîq syari’ah. Dan syariah pun kemudian direduksi menjadi “ruang sempit” yang bernama hudûd. Padahal kata Jamal Al-Banna, pesan-pesan Islam yang tertuang dalam kurang lebih enam ribuan ayat, hany lima ayat yang menyoal sangsi tertentu (al-‘uqûbât al-muqaddarah) hanya lima ayat: had potong tangan bagi pencuri (Al-Mâ’idah: 38), dera bagi pelaku zina (An-Nûr: 2), had qadzaf (An-Nur: 4), hirâbah [“orang yang meruntuhkan sendi-sendi negara dan agama] (Al-Mâ’idah: 33), dan qishash (Al-Baqarah: 178). Lima ayat ini pun kemudian menutup “ruang-ruang yang luas” yang menyoal tentang taubat, istighfar, taqwa, amal shalih, dan sebagainya yang begitu banyak tersebar dalam sejumlah ayat kitab suci. Inilah ironi sebagian kalangan yang demikian bersemangat melapangkan legislasi syariat, sementara mereka tidak menyadari bahwa dibalik niat tulus mem-praxis-kan syariah ternyata mereka lupa ada efek negatif pula yang dimunculkan.

Ini didasarkan, tambah Al-Banna, pada kenyataan bahwa legislasi syariat kerap menuntut upaya “formalisasi” (taqnîn qanûnan muhaddadan) yang melibatkan kekuasaan negara. Padahal sejarah membuktikan bahwa apa yang diinginkan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz untuk menunggalkan hukum di berbagai wilayah yang berlainan gagal terlaksana sebagaimana juga terjadi pada Malik ibn Abdul Malik pada generasi sebelumnya. Belum lagi kisah yang tergambar dari narasi Imam malik ibn Anas yang pada pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur memintanya untuk menyebar kitab yang disusunnya—Al-Muwaththa’—ke berbagai wilayah kekuasaannya agar dijadikan pedoman tunggal. Tapi apa yang terjadi, Malik pun enggan menuruti keinginan penguasa mengingat telah berkembangnya beragam versi hukum yang didapatnya dari sejumlah riwayat hadis.

Pilihan Malik yang enggan menuruti selera penguasa saat itu dapat dipahami bahwa jika hal itu diafirmasi, maka sudah pasti penunggalan pemahaman yang terjadi dan pada saat yang sama pembungkaman pada suara-suara lain yang juga memiliki rasionalisasi yang sama. Dan iklim kebebasan sebagaimana kriteria yang diajukan Jamal Al-Banna gagal terjadi.
Menyikapi peliknya perselingkuhan yang terjadi antara pemikiran keagamaan dengan otoritas politik sebagaimana terjadi dalam proyek “formalisasi legislasi syariat,” Al-Banna, mengikuti pandangan Syalthout yang mengatakan bahwa Islam adalah akidah dan syariat, mengajukan pertanyaan retorik berikut: mana yang diprioritaskan, pemantapan akidah (ta’mîq al-aqidah) atau legislasi syariat (tathbîq al-syarî’ah)? Belajar dari pengalaman Nabi selama di Mekkah dan Madinah, dapat disimpulkan bahwa pemantapan akidah mutlak dikedepanakan sebelum kemudian legislasi syariat. Ini terlihat misalnya dengan rentang waktu yang dihabiskan Nabi di Mekkah selama kurang lebih 13 tahun hanya difokuskan pada pemantapan akidah dan selanjutnya selama kurang lebih 10 tahun di Madinah baru Nabi menerapkan syariat. Akhirnya, Al-Banna menyimpulkan bahwa akidah sebenarnya adalah jiwa dan syariat adalah tubuh di mana jiwa bersemayam.

Mengakhiri tulisannya, Al-Banna lagi-lagi mengajukan sebuah pertanyaan, apa sebenarnya yang dikendaki syariah. Dengan jawaban singkat dan padat, Al-Banna menjawab pertanyaannya sendiri: keadilan. Dan keadilan inilah yang menjadi spirit syariah. Dalam konteks Islam, sinergitas pemantapan akidah dan legislasi syariat selalu saja mengacu pada “apa yang diturunkan Allah,” dan kandungan pesan-pesan yang diturunkan Allah itu adalah “Kebenaran” (al-Haqq). Kebenaran dalam muatan ideologisnya menyumbangkan kesempurnaan keimanan dengan akidah, sementara dalam muatan praksisnya, kebenaran itu adalah keadilan. Dan dengan keadilan, kita sebenarnya menancapkan sebuah prinsip: bela kaum tertindas dan lawan kezaliman, termasuk kezaliman penguasa yang tak kuasa memahami realitas objektif warganya serta tak mampu memberikan kenyamanan bagi warganya. Di sinilah perlu diajukan pertanyaan: apakah formalisasi syariah mampu menghadirkan keadilan yang menurut Jamal Al-Banna merupakan semangat syariah, atau malah merunyamkan kedamaian warga?

(Resensi atas dua buku Gamal Al-Banna "Khamsatu Ma’âyîr Li Mishdâqiyah al-Hukmi al-Islamî dan Qadhiyatu Tathbîqi al-Syarî’ah)

No comments:

Post a Comment