Saturday, November 15, 2003

Ketika Syariat Islam Di-KHUP-kan

Euforia legislasi syariat Islam belum menunjukkan tanda-tanda usai. Alih-alih, semangat itu terus menggelora dan terus mencari ruang akselerasi untuk meloloskan impiannya, terutama momentum revisi KUHP yang saat ini masih berbentuk Rancangan Undang-Undang (RUU). Bayangan indah “masa silam” dengan mengambil format pemerintahan Nabi di Madinah, selalu saja menjadi tipe ideal kelompok pro-legislasi syariat Islam untuk meniscayakan penerapannya dalam konteks saat ini. Tidak terkecuali keinginan sebagian umat Islam di tanah air belakangan ini untuk mendesakkan formalisasi syariat Islam juga disemangati impian serupa.

Padahal, rentang sejarah yang menjaraki masa ideal dengan realitas kini tidak lagi relevan untuk disejajarkan. Ini disebabkan karena di samping sejarah masa lalu yang tidak tunggal dan tidak statis, juga kenyataan adanya keragaman pemahaman terhadap formulasi syariat yang nyata-nyata tidak tunggal pula. Munculnya beragam madzhab fiqh misalnya menjadi contoh tepat adanya pluralitas pemahaman para yuris muslim.
Persoalan inilah yang menjadikan kehendak formalisasi syariat Islam menemukan persoalan, termasuk juga persoalan menyangkut revisi KUHP yang dilakukan Departeman Kehakiman dan HAM. RUU KUHP yang digodok Direktur Jenderal Perundang-undangan Depkeh HAM ini berambisi untuk menghadirkan hukum yang khas Indonesia dengan memanfaatkan hukum adat, agama, dan hukum pidana sekular. Adanya nuansa syariat Islam yang dicobamasukkan seolah menjadi momentum signifikan bagi pendesak legislasi syariat Islam untuk semakin bergairah meloloskan cita-citanya.

Harus diakui, ambisi untuk memanfaatkan sumber hukum, baik hukum adat, hukum agama, dan hukum sekular dalam RUU KUHP ini tentu merupakan usaha positif di tengah kenyataan hukum nasional yang tidak lagi memadai dan out of date dalam konteks kekinian bangsa. Namun di balik nilai positif ini, sejumlah kendala sebagaimana diudar di atas menjadi hambatan tersendiri bagi perumusan revisi undang-undang ini. Bahkan kalau tidak diawali pengamatan, pengkajian, pengujian mendalam tidak mustahil hasil yang bakal dicapai tidak lebih baik dari perundang-undangan sebelumnya. Dan jika ini yang terjadi, kesan “proyek” dan setiap upaya revisi undang-undang akan lebih mengemuka ketimbang niat tulus menyempurnakan kekurangan yang ada.

Kendala lainnya yang patut diperhatikan adalah konsekuensi dari “Islamisasi KUHP” adalah penunggalan norma agama tertentu yang tentu saja berlawanan dengan realitas keagaman bangsa Indonesia yang plural. Realitas bangsa kita yang tidak tunggal ini tidak harus dipadatkan sedemikian rupa dengan mengabaikan “realitas lain.” Demikian pula dalam hal memasukkan norma-norma hukum dalam revisi KUHP. Kalaupun harus memasukkan norma-norma agama ke dalam rumusan revisi itu, patut diperhatikan bahwa agama yang berkembang dan berhak hidup di nusantara ini bukan hanya Islam. Norma-norma agama lain pun seharusnya dipertimbangkan keberadaannya. Persoalannya adalah ketika menyangkut revisi KUHP dengan memasukkan sejumlah unsur-unsur Islam ke dalamnya. Bahkan, upaya tersebut ditengarai sebagai entry point meloloskan mega proyek formalisasi syariat Islam yang akhir-akhir ini digadang-gadang oleh sebagian kelompok Islam tertentu.

Menanggapi upaya Islamisasi KUHP sebagaimana digodok Dirjen Perundang-undangan Depkeh HAM, Nurcholish Madjid sebagaimana dilansir Media Indonesia (14/10/2003) menyatakan bahwa masuknya syariat Islam dalam KUHP merupakan suatu persoalan, karena masalah syariat itu sendiri masih kontroversi, paling tidak di bagian mana dan pendapat siapa yang diikuti. Tentu saja kekhawatiran ini wajar saja terjadi karena dalam realitasnya rumusan syariat Islam yang ada tidaklah monolitik. Pergulatan para yuris awal Islam terbukti melahirkan varian pemikiran yang plural yang hampir tidak mungkin untuk ditunggalkan. Beragamnya tantangan yang dihadapi para yuris saat itu kemudian melahirkan aspirasi yang beragam dalam menafsir kehendak Tuhan.

Jika demikian, dimana kemudian KUHP memposisikan dirinya? Di satu sisi, kenyataan bahwa masyarakat Indonesia meyakini agama yang beragam. Di sisi yang lain, realitas internal hukum Islam yang tidak tunggal tadi. Fenomena ikhtilaf yang berkembang dikalangan ulama fiqh misalnya menggambarkan peliknya memadatkan hanya pada aliran pemikiran tertentu. Satu hal yang patut ditekankan adalah bahwa kekayaan bursa pemikiran dan gagasan anak bangsa menuju terciptanya kehidupan bangsa yang berwibawa hendaknya tidak direduksi pada penunggalan aspirasi, apalagi aspirasi yang menjebak pada lahirnya perpecahan. Pemihakan pada norma dan prinsip tertentu tidak harus menghabisi norma-norma dan prinsip-prinsip lainnya yang berbeda. Tidakkah lebih arif untuk menginternalisasikan nilai-nilai universal agama-agama ketimbang membingkai dari nilai agama tertentu?

Sembari menunggu DPR bersidang dan memutuskan rancangan KUHP ini sebijak mungkin, seharusnya pemerintah juga menimbang aspek visibilitas dan viabilitas berlakunya KUHP yang beraroma Islam ini di bumi nusantara. Tanpa mempertimbangkan hal tersebut, dapat dipastikan rancangan KUHP ini hanya menjadi produk yang tak layak guna, mengingat penerimaan masyarakat yang tidak maksimal, atau malah penolakan.
Sekadar berharap lahirnya keputusan yang tepat menyikapi beragamnya keinginan dalam masyarakat menyangkut revisi KUHP, sudah seharusnya pemerintah memikirkan bagaimana menertibkan mentalitas pelaksana dan penegak hukumnya. Tanpa memperbaiki mentalitas aparat, mustahil hukum terejawantah secara baik betapapun rumusan-rumusannya tertata dengan baik, bahkan berlandaskan nilai-nilai Islam sekalipun. Lebih parah lagi, produk hukum itu akan dikhianati sendiri oleh pembuatnya. Di sinilah “reparasi mentalitas” patut dikedepankan sebelum bersibuk mengurus Islamisasi hukum formalnya. [Dimuat di Harian sore Sinar Harapan, 14 November 2003] (*)

No comments:

Post a Comment