Wednesday, December 17, 2003

Pesantren Teroris atau Teror Pesantren

Radikalisme dan terorisme kembali menghiasi head line media, baik cetak maupun elektronik, seiring dengan terjadinya pengeboman Hotel JW. Marriot beberapa waktu yang lalu, setelah sebelumnya aksi serupa juga terjadi di Legian Kuta Bali dan Bandara Soekarno Hatta. Dengan mengusung simbol-simbol agama, kelompok radikalis semakin meliarkan aktifitas gerakannya, bahkan puing-puing kemanusiaan pun diruntuhkan atas nama agama. Agama telah menjadi instrumen kelompok tertentu untuk melapangkan ambisi naifnya. Sayangnya, perilaku kekerasaan atas nama agama ini secara simplistik dikaitkan dengan kelompok agama tertentu, bahkan institusi pendidikan dalam agama tertentu. Salah satu institusi pendidikan yang dipotret sedemikian rupa adalah pesantren.

Pasca terjadinya peledakan bom di Jl. Legian Bali, pesantren menjadi soroton publik internasional. Melalui pemberitaan yang terkesan stigmatik, pesantren di-blow-up sedemikian rupa seolah membenarkan asumsi yang berkembang bahwa pesantren agen pembiakan kelompok teroris. Stigmatisasi ini akhirnya mengabsahkan aparat keamanan atau pemerintah untuk menghentikan aktifitas pendidikan di pesantren yang diduga menebar benih radikalisme. Apa yang terjadi pada desakan penutupan pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo yang diduga terkait dengan Jamaah Islamiyah dapat dijadikan contoh ketergesa-gesaan aparat dalam mengapresiasi pandangan stigmatik itu.

Bahkan, beberapa waktu yang lalu di sela-sela pertemuan tokoh Islam dan pesantren di Jawa Tengah, Kapolda Jateng, Irjen Pol Didi Widayadi, menyatakan secara tegas adanya sejumlah pesantren dan kiai yang terlibat dalam jaringan JI, sebuah ikon organisasi garis keras. Tudingan yang menjadikan pesantren dan kiai sebagai tertuduh jelas menggelisahkan banyak kalangan tidak terkecuali institusi pesantren itu sendiri. Tanpa dilengkapi dengan bukti-bukti yang akurat, dengan mudahnya aparat kita menebar bisa yang bukannya memulihkan penyakit, malah mengambuhkan kembali penyakit yang nyaris sembuh.

Persoalan yang semestinya diajukan adalah apakah radikalisasi umat itu produk pendidikan pesantren, atau karena arahan ideologi tertentu yang diyakini oleh individu santri di luar “kebijaksanaan” pesantren? Atau mungkin moralitas induvidulah yang dominan mengarahkan tindakan-tindakannya. Melacak akar-akar tradisi pendidikan pesantren penting dilakukan disini sehingga menjadi terang apakah pesantren berperan dalam menanamkan benih-benih tradisi ekstrem di kalangan para santrinya atau malah dugaan semacam itu jauh dari realitas yang sesungguhnya. Penegasan ini mutlak diperlukan agar kita terhindar pada logika generalisasi yang alih-alih menutaskan persoalan, malah melipatgandakan persoalan yang ada.

Sejarah mengungkapkan bahwa secara embrional pesantren berakar dari prakarsa para wali yang mendirikan kelompok-kelompok kajian (halaqah) dalam menyebarkan Islam. Seiring dengan luasnya dakwah para wali, pesantren pun kian menyebar ke pelbagai wilayah, khususnya pada abad ke-15 bersamaan dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa yang perlahan tapi pasti mulai mengambil alih pengaruh kekuatan Hindu-Budha yang cenderung merosot akibat jatuhnya kerajaan Majapahit. Dengan memilih lokasi pedalaman, pesantren berupaya menghindar dari bisingnya kekuasaan politik dan panetrasi “luar”. Dengan demikian, pesantren bisa dengan tenang mengkonsolidasikan dan menfokuskan dirinya pada penggalian dan pendalaman ilmu pengetahuan dan moral.

Dengan alur logikanya sendiri, pesantren memang memiliki pola-pola yang sangat ekslusif. Di samping pilihan lokasinya, juga pola hubungannya yang sangat unik. Ketaatan penuh para santri terhadap kiainya di samping bimbingan intensif kiai pada para santrinya merupakan tradisi yang berkembang di dunia pesantren. Belum lagi hubungan antarsantri yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Dengan pola hubungan semacam ini, memungkinkan jalinan yang erat antarsantri di satu pihak dan hubungan antara santri dan kiai di pihak lain.

Selain itu, materi-materi keilmuan pesantren yang lebih berpusat pada pengasahan moralitas (akhlaq), pemahaman keagamaan dan penggiatan ibadah (fiqh dan tasawuf), serta pembenahan akidah (tauhid) menunjukkan bahwa kehadiran pesantren adalah dalam kerangka pemapanan “tradisi agung” (great tradition), untuk meminjam istilah Martin van Bruiessen, melalui pendidikan, di samping sebagai medium pengendalian ideologis (ideological supervision) demi memapankan keyakian Ahlussunnah Waljama’ah.

Oleh karena itu, keputusan memilih desa dan wilayah pedalaman sebagai basis pembinanan dan pengembangan ajaran-ajaran Islam bukanlah tanpa alasan, melainkan lebih dipengaruhi oleh kebenciannya pada penjajah atau pihak-pihak yang hendak mencemari keberagamaan umat. Atas dasar kebencian pada penjajah inilah tidak jarang pesantren menjadi basis perjuangan umat dalam mengusir penjajahan di bumi nusantara. Bagaimana para tokoh agama setempat menggalang kekuatan para petani di Banten–sebagaimana kajian Sartono Kartodirjo—dalam melawan penjajah misalnya dapat dijadikan contoh betapa peran kiai di samping sebagai pembimbing moral ia juga sebagai penggalang kekuatan anti-penjajah. Peran-peran inilah yang kemudian ditularkan pada para santrinya dan juga pada masyarakat sekitarnya.

Gambaran di atas mencerminkan betapa lingkungan pesantren dengan pola-pola pergaulan dan hubungan yang unik serta muatan-muatan materinya sangatlah jauh dari kesan radikalis dan ekstremis. Adanya satu dua pesantren yang bertingkah beringas dalam menawarkan prinsipnya sejatinya dianggap sebagai perkecualian dari mainstream pesantren secara umum.

Jika demikian realitasnya, apakah citra positif pesantren yang telah mengakar ratusan tahun lamanya akan dilunturkan akibat ulah individu-individu tertentu yang melakukan tindakan tak bertanggung jawab. Tentu sangatlah naif untuk mengafirmasinya. Adanya pesantren tertentu yang memiliki kecenderungan radikalis tidak serta merta ditengarai “memproduksi” para teroris. Ketimbang menuding kelompok atau institusi tertentu sebagai supplier teroris, akan lebih bijak apabila kita mengkaji akar-akar persoalan menguapnya arus radikalisasi dan terorisme terlebih dahulu sekaligus meneliti faktor-faktor apa saja yang mengarahkan “ideologi mereka.” Bukannya penyimpulan yang simplistik dan reduksionistik yang ditampilkan, melainkan kesimpulan yang bijak yang perlu disuguhkan.

Akhirnya, satu hal yang perlu ditegaskan bahwa siapa pun seharusnya bersikukuh dalam membela prinsip (fortirer in re), namun perlu diingat bahwa pembelaan prinsip akan lebih baik apabila disuguhkan dengan cara yang arif dan santun (suaviter in modo). Demikian pula kepada aparat kita. Keteguhan prinsip para aparat kita untuk mengikis habis mafia terorisme global yang kian meradang belakangan ini tidak harus ditunjukkan dengan dengan tudingan seenaknya kepada, di antaranya, pesantren. Proses klarifikasi semestinya dikedepankan sebelum “fatwa” dijatuhkan, sehingga tidak lagi muncul bisikan, jangan-jangan ini teror terhadap pesantren. Jika ini yang terjadi, maka akan melahirkan “siklus teror” yang tak kunjung berakhir antara pesantren dan dunia di luarnya (termasuk aparat), dan penyelesaian persoalan semakin jauh dari harapan.[*]

[Dimuat di Majalah Pesantren Edisi XII/Th. I/2003]

No comments:

Post a Comment